18 Mei 2009

SALSA

Tiga sosok tubuh itu bergerak lincah di bawah pendaran lampu-lampu spotlight yang berputar-putar mengelilingi ruang itu. Suasana gegap gempita dalam keremangan. Bunyi dentuman bass dari lagu yang, entah apa judulnya, menghentak tubuhku untuk ikut bergoyang. Tawa dan seruan memenuhi udara bercampur dengan irama musik dan percakapan yang simpang-siur. Makanan betebaran di sekeliling ruangan, terhidang di atas meja-meja panjang dan mengepul hangat. Aku memandang ke wajah-wajah para remaja yang berseliweran di depanku. Wajah-wajah yang demikian ceria, penuh kegembiraan dan tanpa beban. Semangat muda. Semangat yang belum menerima banyak hambatan dan cobaan. Semangat yang masih membara dengan harapan dan daya juang.

Malam itu, aku menghadiri sebuah acara ulang tahun putri temanku. Tujuh belas tahun yang manis. Tujuh belas tahun yang dipenuhi gairah dan kegembiraan hidup. Semangat yang seakan tak memiliki beban sama sekali. Hidup mengalir bagaikan air di sungai yang tenang dan datar. Dimanakah kesulitan hidup? Dimanakah kesedihan, kekecewaan dan rasa putus asa itu? Tampaknya semua menguap bersama irama lagu yang menghentak jiwa. Semua terbenam dalam pendaran lampu yang berkelap-kelip dan berputar mengelilingi ruang itu. Dan saat menyaksikan, dan merasakan gairah yang datang menggelombang dalam jiwaku, aku tergetar. Semangat, bisikku, semangat. Disini tak ada rasa sepi. Disini tak nampak jiwa-jiwa yang merana. Semuanya mengalir bersama harapan dan tawa ria. Hidup adalah gelombang samudera yang menghempas pantai, menantang apa saja yang berani menghadangnya.

Waktu seakan berhenti di sini. Waktu seakan meninggalkan kemiskinan, kesunyian, kekecewaan dan keputus-asaan yang ada dalam jiwa-jiwa kami. Bagaikan serpihan debu yang disembunyikan di bawah karpet yang mewah, menyala dalam warna-warni gemerlap, lembut bagai sutera. Senyuman kebahagiaan, tawa ria kegembiraan, percakapan penuh semangat tentang hidup yang enteng. Ah, enteng. Beberapa orang pramusaji kelihatan berjalan mengelilingi ruang itu sambil mengumpulkan dan membawa piring-piring makan kotor kami. Mereka bergerak dengan pelan dan hati-hati seakan khawatir akan menyobek tirai-tirai mimpi yang ada pada jiwa-jiwa kami. Bergerak dengan was-was akan disalahkan jika ternyata sebuah kekosongan tersibak dan menampakkan borok-borok dalam jiwa kami. Aku memandang wajah-wajah mereka. Aku memandang wajah-wajah para undangan. Aku memandang wajah-wajah kami. Aku memandang ke dalam jiwaku sendiri. Ah, siapakah aku saat itu?

Tiga sosok penyanyi membawakan sebuah lagu tentang payung. Payung di musim kemarau. Betapa sianya. Betapa tak berfungsinya. Ah, tidak gumamku, tidakkah payung juga berguna saat matahari terik menerpa kulit kita? Tidakkah payung bisa bermanfaat untuk melindungi kita dari sengatan cahaya yang membutakan pandangan? "ela..ela...ela...umbrella..." Tubuh-tubuh yang lincah, suara-suara yang padu, baju-baju yang seronok, pantulan cahaya bergerak berkilauan, warna-warni memenuhi ruangan ini dengan aneka gaya dan tampilan. Terang. Gelap. Terang. Jauh, sungguh jauh dari kehidupan kami sehari-hari. Sungguh jauh dari perasaan sedih, kebosanan dan kepapaan kami. Semua itu kami cecerkan di atas lantai ruang sambil menikmati irama musik, menikmati hidangan berlimpah, menikmati hidup yang berbeda. Menjadi apakah aku kini?

Jauh, ya seakan jauh di luar, walau hanya sejarak pintu keluar saja, beberapa sosok tubuh duduk bersimpuh sambil menengadahkan tangannya, mengharapkan sedekah harapan untuk melanjutkan kehidupan mereka. Jauh, ya seakan jauh di luar, walau hanya berbatas sebuah tangga pendek dan gerbang kaca, kehidupan nyata terbentang dengan segala rasa sepinya, segala ketidak-mampuan untuk menghadapi kenyataan, segala kekecewaan karena ketidak-pedulian, segala keterpaksaan, kekerasan dan kehidupan yang demikian kuat menghadang. Ah, yang manakah sesungguhnya dunia mimpi kita? Apakah kita ada di ruang ini utnuk menikmati kegembiraan ataukah hanya untuk melarikan diri dari kesesakan kehidupan nyata yang kita alami sehari-hari?

Maka di sinilah aku. Menikmati suasana yang dibuat agar kita menjadi lupa dengan beban sehari-hari. Mencoba tidak mengingat rasa gamang dan ketak-berdayaan kita. Berada di depan para penyanyi yang membawakan lagu tentang cinta, tentang semangat, tentang segala hal yang jauh dari jangkauan dan mungkin hanya ada dalam mimpi kita. Di tengah wajah para undangan yang kelihatan ceria dan penuh canda tawa. Di tengah para pramusaji yang nampak tersenyum seakan hanya untuk menjalankan tugas-tugas mereka. Di tengah pantulan dan gemerlap cahaya yang berpijaran. Di tengah hamparan makan yang terhidang dengan lengkap dan berlimpah. Jauh, ya sungguh jauh dari kehidupan nyata kami sehari-hari. Amat jauh......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...