11 Mei 2009

SANG GADIS REMAJA

"Aku adalah aku. Ya, aku ingin menjadi diriku sendiri. Bukan bentukan ayah ibuku. Bukan bentukan orang lain. Aku punya perasaan sendiri. Aku punya pemikiran sendiri. Aku adalah aku" kata gadis remaja itu kepadaku. Kami bertemu di suatu sore, di resto cepat saji di sebuah Mal yang ramai di kotaku. Beberapa waktu yang lalu, dia menghubungi aku lewat email, menanyakan pendapatku tentang keputusannya dalam menghadapi keinginan-keinginan orang tuanya yang ingin membentuk dirinya sesuai dengan harapan mereka. Bukan harapannya sendiri.

Sejenak aku menatap ke arah lalu lalang orang-orang yang melewati kami. Ada yang berjalan sendirian. Ada yang berpasangan. Dan ada pula yang bergerombol. Beberapa SPG nampak berdiri di depan gerai-gerai toko pakaian dan asesoris yang bederetan di sepanjang lorong mal ini. Suasana terasa hiruk pikuk, dan di sini tak nampak secuil pun kesedihan ataupun ratapan. Tetapi siapa yang dapat menebak apa yang ada di balik wajah-wajah itu? Walau kehidupan nampak berjalan normal, walau senda gurau dan tawa ria nampak bergema dimana-mana, siapa yang tahu isi hati seseorang?

"Ayah ingin membentuk aku sesuai apa yang diharapkannya. Dia ingin aku menjadi seorang sarjana tehnik, dia ingin aku menjadi seseorang yang dia sendiri gagal mencapainya. Tetapi tidak, aku ingin menjadi penulis. Aku ingin memasuki dunia sastra. Aku ingin belajar untuk menjadi diriku sendiri. Masalahnya adalah, ayah tak mau menanggung biaya selain dari apa yang diinginkannya sendiri. Jadi bagaimana? Aku toh belum mampu mencari uang sendiri. Dan jika pun aku lalu bekerja, apakah aku punya waktu lagi untuk meraih cita-citaku itu? Mengapa orang tua kadang menjadi penghalang dan bukannya menjadi jelan keluar bagi anaknya? Mengapa? Apa memang harus begitu?"

Aku terdiam mendengar kata-katanya yang mengalir bagai sungai. Dapatkah aku menjawabnya? Siapakah yang benar jika masing-masing merasa dirinya benar? Orang tuanya mungkin mengharapkan agar gadis remajanya kelak memiliki penghidupan yang lebih baik dengan menjadi seorang sarjana tehnik. Tetapi bagaimana jika anaknya tidak merasa bahagia dengan jalan yang dipilihkan oleh mereka itu? Bukankah pada akhirnya, masing-masing akan hidup dengan dunianya sendiri? Dapatkah kita membentuk orang lain, bahkan walau itu adalah anak-anak kita, menjadi apa yang kita harapkan, dan bukan menjadi apa yang mereka harapkan? Mengapa kita tak mampu untuk memberikan kepercayaan kepada anak-anak kita sendiri? Mengapa?

"Anakmu bukan milikmu. Mereka milik kehidupan yang rindu pada dirinya sendiri. Mereka lahir lewat kau tetapi tak berasal darimu. Mereka bersamamu, namun bukan milikmu..." Demikian tulis Kahlil Gibran dalam bukunya, Sang Nabi. Ya, mereka adalah buah hati kita, kesayangan kita, bahkan harapan kita, namun apakah karena itu kita merasa berhak untuk membentuk kehidupan mereka sesuai dengan pemikiran kita? Bukankah setiap kehidupan, setiap insan, memiliki dan berhak memutuskan apa yang baik bagi diri mereka? Walaupun mungkin hal itu tak sesuai dengan keinginan dan harapan kita sendiri. Walaupun mungkin hal itu dapat membuat kita kecewa. Tetapi bukankah kita kecewa hanya karena keinginan kita sendiri tak tercapai? Tak mampukah kita melihat kegembiraan dan kebahagiaan di mata anak kita sendiri, saat keinginan mereka dapat tercapai? Atau demikian terkungkungkah kita pada kebenaran pemikiran dan niat kita saja?

Demikianlah sore itu, menjelang malam tiba, remaja itu meninggalkanku dengan setumpuk pemikiran. Tidak, tak ada jawaban yang mampu kuberikan kepadanya. Nasehat dan arahan hanya akan bersuara hampa saja. Semuanya tak tergantung pada kata. Dengan sedih aku memikirkan, betapa kehidupan kita sering tak berjalan sesuai dengan harapan kita. Keinginan sang ayah tak sejalan dengan keinginan sang anak. Dan keinginan sang anak pun tak sejalan dengan keinginan sang ayah. Kupikir, yang diperlukan oleh mereka adalah bagaimana saling memahami. Bagaimana saling mengenal satu sama lain. Dan itu tidak mudah. Ya, tidak mudah selama kita masing-masing terkurung dalam kebenaran pemikiran kita saja. Dan merasa paling benar. Ya, paling benar.

Lalu lalang manusia tetap mengalir bagai air saat aku duduk sendirian sekarang. Ada wajah-wajah yang nampak ceria, ada wajah-wajah yang nampak tanpa ekspresi, ada wajah-wajah yang kelihatan sendu. Ah hidup, betapa seringnya kita bersikap seakan-akan, seakan-akan semuanya baik, seakan-akan semuanya lancar dan mulus, seakan-akan semuanya indah. Tetapi mengapa tidak? Bukankah itu semuanya tergantung pada kita saja? Ya, semuanya tergantung pada kita. Pada kita sendiri.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...