19 Mei 2009

MARINUS

"Hidupku mengalir lurus saja. Saat kesulitan tiba, ya kuhadapi. Saat kegembiraan datang, ya kunikmati. Persoalan-persoalan pasti selalu ada. Dan sering tak mampu kuselesaikan dengan baik. Namun, apa lagi yang harus kulakukan selain dari menerimanya. Sebab kemampuanku terbatas. Maka jika ada masalah yang tak bisa kuselesaikan, aku takkan menyesali diri. Aku percaya, suatu saat persoalan itu akan berlalu juga. Dan demikianlah yang terjadi dalam pengalamanku selama ini. Maka kubiarkan hidupku mengalir lurus saja..."

Demikian kata-kata seorang guru tua, saat kami berbincang-bincang di rumahnya yang sederhana. Aku datang mengunjunginya untuk mengambil tulisan kenangannya mengenai sekolah kami untuk keperluan buku reuni. Seorang anak lelaki kecil, cucunya, bergelajut di pangkuannya sambil memainkan handphone. Matanya yang bulat nampak berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum padanya. Dan dia pun tersipu malu sambil memeluk kakeknya. Suasana ruangan tamu itu amat terang. Dan hanya ada satu set sofa tempat kami duduk dan berbincang.

Tubuhnya yang kurus, nampak tidak berubah banyak dengan saat dulu dia masih mengajar bahasa indonesia padaku. Rambutnya sebagian mulai beruban. Tetapi nampak semangat untuk mengajar masih tersisa dalam jiwanya. Dan mungkin, inilah saatnya aku mengaca diri. Mengenang kembali perjalanan waktu setelah menyelesaikan sekolah menengah atasku. Adakah sisa-sisa kebijaksanaan yang telah kuterima dulu dari pak guru tua ini masih membekas dalam hidupku? Gagal atau berhasilkah aku menerapkan apa yang selama ini telah kuterima darinya? Dan lebih jauh lagi, gagal atau berhasilkah pak guru tua yang saat ini berada di depanku memberikan pelajaran hidup untukku?

Dan saat itu juga tiba-tiba aku sadar. Bahwa sesungguhnya ada hal yang jauh lebih dalam daripada hanya menerima ilmu pengetahuan dari seorang guru yang pernah membimbing kita. Ya, ilmu pengetahuan hanya sekedar satu sisi mata uang logam, agar kita mampu mengetahui dan memahami suatu bidang dengan lebih jelas dan lebih baik. Namun bersamanya, ada sisi lain yang membentuk karakter, daya juang dan semangat kita untuk menghadapi kerasnya dunia luar. Bekal bagi kita bukan, dan memang bukan, hanya sekedar ilmu tetapi juga dari sifat-sifat sang guru, dari cinta kasih dan sentuhan jiwanya, pada akhirnya akan membentuk jiwa kita pula. Sadar atau tidak, seorang guru yang baik selalu akan meninggalkan jejak pada sifat, kehendak dan perbuatan kita selanjutnya. Jejak yang tak mudah dihapuskan. Jejak yang tak mungkin dihapuskan.

Demikianlah pikiranku mengambang saat kami saling bertukar kisah tentang masa lalu. Banyak hal yang kukenang kembali. Rasa takut karena tak memahami apa yang diberikannya saat itu. Rasa khawatir karena tak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikannya. Rasa bersalah karena tidak sempat belajar saat ujian telah di depan mata. Ah, dimanakah perasaan-perasaan tersebut kini? Tidakkah semuanya pada akhirnya akan berlalu dan tenggelam dalam ingatan? Aku berusaha untuk mengenang kembali wajah pak guru ini semasa dulu dia mengajar aku. Wajah yang tentu masih muda, segar serta penuh semangat pengabdian. Sementara kami, murid-muridnya yang bengal, pernahkah memikirkan apa yang akan kami alami jauh setelah kami menyelesaikan masa sekolah kami? Pernahkah kami memikirkan hal itu?

"Hidupku mengalir lurus saja....." Dengan tenang, dengan wajah yang masih kelihatan menyimpan kesabaran terhadap anak-anak muridnya, guru tua itu memandang kepadaku. Dan sesungguhnya, saat itu aku sadar, semangat yang telah kuterima dari padanya itulah yang telah membuat aku menulis. Yang telah membuat aku merasa ringan saat telah melepaskan segala perasaan dan pemikiranku dalam kalimat-kalimat yang kususun ini. Sungguh, seorang guru bukan hanya menyerahkan ilmunya, tetapi juga telah menyerahkan dirinya sendiri bagi murid-muridnya. Maka pantaskah kita melupakan guru-guru kita itu?

Ah, saat aku berpikir demikian, tiba-tiba aku memandang ke wajah sang cucu, wajah kanak-kanak yang kelihatan lugu, sepasang mata yang berbinar-binar serta pandangan malu-malu yang ditunjukkannya kepadaku. Dan di dalam ruang tamu yang sederhana ini, aku tiba-tiba mendapatkan rasa damai. Masa lalu tidak perlu disesali. Apa yang telah terjadi, terjadilah. Sebab hidup memang begitu. Ya, hidup memang begitu, renungku. "Hidupku mengalir lurus saja......"

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...