19 Mei 2009

MENIKMATI SENJA HARI

Betapa indahnya langit di senja hari. Larik berwarna jingga dan nila naik menembus ambangan awan yang berarak. Dan matahari, setengah terbenam, bagai bulatan bola yang perlahan-lahan memasuki lautan luas yang berwarna biru gelap. Sedikit percikan buih putih, berlari memanjang dari gelombang yang dengan lembutnya membilas pantai. Dan manusia-manusia, sendirian – berpasangan – berkelompok, duduk sambil memandang panorama ini dengan takjubnya. Dan siapakah kita, selain dari satu titik debu yang bergerak, satu titik noktah yang sanggup merasakan dan menikmati keindahan ini?

Sendirian duduk menikmati suasana yang demikian merasuk jiwa, aku menikmati hidupku sendiri. Aku menikmati keberadaanku di dunia ini. Menikmati nafasku, perasaanku, pikiranku. Aku, ada sekarang di sini, menikmati pesona alam ini, sambil menyerap seluruh keindahannya ke dalam diriku sendiri. Dan di dalam jiwaku, aku merasakan alam yang menyatu dengan segenap kehidupanku. Aku adalah alam itu. Tak bisa lain, selain dari perasaan bahwa alam itu ada karena aku ada, karena aku hidup, karena aku bisa menikmatinya. Kesadaranku adalah kesadaran alam secara keseluruhan. Satu.

Betapa indahnya langit di senja hari. Panorama yang mengusir segala keletihan hidup setelah berjuang sepanjang hari demi untuk mengejar impian-impian kita. Demi untuk menyambung kehidupan kita. Demi untuk sesuatu yang kita rasakan wajar dan pantas kita perjuangkan. Senja menampilkan diri dengan sempurna untuk membasuh segala keresahan, ambisi, nafsu, kekecewaan maupun rasa putus asa karena kegagalan kita. Bahwa ada yang layak diperjuangkan, itu mungkin benar bagi kita, namun lihatlah, alam masih memberikan dirinya dengan cuma-cuma tanpa menuntut apapun untuk itu.

Maka siapa pun yang mengatakan bahwa dia mampu menaklukkan dan menguasai alam, akan kecewa. Alam selalu setia memberikan dirinya, memberikan keindahan dan kepermaiannya buat semua mahluk yang mampu merasakan kehadirannya. Tanpa menuntut bayaran. Tanpa menuntut apapun juga. Alam memiliki dirinya sendiri. Memiliki kebebasannya sendiri. Bahkan memiliki kita semua, mahluk-mahluk yang lemah, namun merasa sanggup untuk menguasai dan menaklukkan dia. Suatu kemampuan yang patut dipertanyakan. Suatu pemikiran yang patut diragukan. Alam tak pernah membuat kita merasa sadar pada dirinya, sebab kesadaran itu ada pada diri kita semua. Kita semua.

Camar terbang melayang. Lepas mengambang bagai kapas. Mengapung di luasan langit senja. Menyusuri larik-larik cahaya. Menembus masuk ke bulatan matahari yang nampak seakan terbenam ke dasar laut. Tetapi jauh tinggi di atas, camar-camar itu sadar. Bahwa matahari tetap bulat. Bahwa ada banyak hal yang tak diketahui atau tak disadari oleh mahluk-mahluk yang hidup di bumi. Bahwa kebenaran yang dilihat oleh mereka belum tentu kebenaran yang dilihat olehnya. Bahwa langit hanya berbatas dalam imajinasi pikiran. Pikiran yang bisa teramat sempit sesuai dengan daya jangkau pandangan kita.

Alam luas lepas tanpa batas. Pikiran kita terbatas pada apa yang mampu kita ketahui. Dan langit. Dan laut. Dan matahari. Dan bulan. Dan planet. Dan bintang-bintang yang belum nampak, namun kita tahu bahwa mereka ada. Semesta luas terbentang dalam angan dan lukisan imajinasi kita. Serta yang tidak terbayangkan sama sekali karena ketidak-tahuan kita tentangnya. Jadi siapakah kita? Jangan-jangan kita hanyalah mahluk sok tahu yang tidak tahu apa-apa namun mengaku mengetahui segala sesuatu. Jauh di luar diri kita, jauh di luar segenap kesadaran kita, jauh di luar alam semesta yang seakan tak terbatas ini, Sang Pencipta mungkin sedang tersenyum pada kita. Tersenyum dan memaklumi kepandaian kita. Kepandaian yang semu. Kepandaian yang maya. Kepandaian yang tanpa arti.

Betapa indahnya langit di senja hari. Malam menjelang tiba, dan camar terbang tinggi di atas, masih menikmati bulatan indah dari matahari yang menerangi dan menghangati tubuh mereka. Sementara kita perlahan menyaksikan lenyapnya sang cahaya itu. Dan kegelapan perlahan menenggelamkan pandangan kita ke dalam ketak-nampakan. Dimanakah mereka sekarang? Apakah mereka masih terbang melayang, bebas lepas dan memasuki aura kecemerlangan baru? Tahukah kita apa yang sedang mereka alami saat ini? Apa kegembiraan mereka? Suka cita mereka? Ah, tirai gelap sang malam telah turun, namun lihatlah, betapa indahnya planet dan bintang-bintang yang mulai menampakkan dirinya dengan sukarela. Ternyata, tak ada yang patut disesalkan. Hidup berjalan sebagaimana mestinya. Hidup berjalan dengan teratur dan damai. Hidup. Alam. Dunia. Kita. Adakah yang harus disesalkan atas keberadaan kita? Haruskah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...