Leve fit,
quod bene fertur onos
Apakah
sebenarnya penderitaan itu? Berawal dari keinginan untuk memperoleh
keuntungan yang banyak agar dapat hidup lebih dari saat itu, dia
menanamkan sebagian besar dana yang dimilikinya ke dalam investasi
logam mulia yang menawarkan keuntungan yang sangat menggiurkan. Dana
miliknya yang sebenarnya hanya pas-pasan dilepaskannya sambil
berharap agar dapat menghasilkan penghasilan yang lebih besar dan
lebih cepat. Tetapi penghasilan yang diharapkannya ternyata menguap
begitu saja saat perusahaan yang menerima dananya ternyata hanya
perusahaan bodong. Dia pun bangkrut sehingga terpaksa harus
kehilangan tidak hanya uang yang dimilikinya, tetapi juga rumah yang
ditempatinya untuk membayar segala pinjaman usahanya karena dia tak
memiliki dana lagi.
Maka dia dan
keluarganya terpaksa harus hidup di rumah kontrakan. Lalu, musibah
berubah menjadi bencana saat istrinya menderita kanker ovarium yang
ganas. Sementara untuk berobat sangat mahal, mereka tidak lagi punya
apa-apa. Dua anak mereka yang masih kecil pun memerlukan biaya
pendidikan yang makin menambah beban keuangan mereka. Demikianlah,
hidup mereka berjalan dalam kesulitan yang luar biasa, tidak punya
apa-apa dan mereka terpuruk dalam kemiskinan sehingga setiap hari
menjadi satu beban pikiran yang sedemikian pelik dan tak terpecahkan.
Istrinya yang sakit hanya dapat menerima penyakitnya tanpa mampu
untuk berbuat apa-apa selain dari menjalaninya dengan pasrah.
Karena telah
kehilangan semua usahanya, dia hanya hidup sebagai makelar rumah dan,
walau sesekali dia berhasil menjual dan menghasilkan komisi yang
cukup besar, penghasilannya tak pernah mencukupi untuk membayar semua
kebutuhan keluarga mereka. Begitulah waktu berjalan hari demi hari,
dan pada akhirnya istrinya meninggal dan dia harus hidup bersama dua
anaknya dalam situasi yang kian sulit dan tenggelam dalam kemiskinan
sehingga sering dia tak punya uang sama sekali bahkan untuk membeli
makanan. Anak-anaknya hanya menyelesaikan SMA dan tidak lagi mampu
dibiayainya untuk melanjutkan pendidikan mereka ke perguruan tinggi.
Kini, bersama
kedua anaknya, yang sulung seorang gadis telah bekerja sebagai SPG di
sebuah counter di Mall sementara yang bungsu laki-laki menjadi
pengangguran yang setiap malam begadang bersama teman-temannya di
lingkungan kediaman mereka yang kumuh, mereka setiap hari menjalani
waktu hanya agar dapat tetap hidup. Lalu bencana lain hadir ketika si
bungsu tertangkap karena telah melakukan perampasan dan setelah
menjalani sidang pengadilan, dipenjara sebagai narapidana. Entahlah,
kadang-kadang dia memikirkan jalan hidupnya dengan penuh perasaan
sesal, tetapi waktu tak mungkin diputar kembali dan dia sadar bahwa
yang dapat dilakukannya hanya menerima dengan pasrah semua itu.
Maka apakah
penderitaan itu? Di hari-hari ini, ketika aku bertemu dengan bapak
itu, dengan kulit wajah yang makin berkerut dan rambutnya yang
memutih dalam usianya yang masih 50-an tahun, dia selalu
mengembangkan senyuman sambil sesekali melontarkan humor-humor yang
dapat membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Setiap hari minggu,
dia selalu hadir dalam misa pagi di gereja, berjalan kaki dari rumah
kontrakannya bersama putrinya yang berjarak cukup jauh, tetap penuh
dengan semangat dan bahkan hampir tak pernah menampakkan betapa
sesungguhnya dia telah menjalani hidup dalam kesengsaraan dan
ketidak-berdayaan untuk menerobos semua kesulitan mereka.
Dan bapak itu
sesekali, saat diminta untuk memimpin ibadah saat doa lingkungan,
selalu menyampaikan pesan yang penuh semangat dan terkadang lelucon
yang tak terduga. Bagi kami kebanyakan, hidupnya seakan berjalan
tanpa masalah. Hidup bapak itu seakan normal dan biasa saja sama
seperti kehidupan kami pada umumnya. Tetapi siapakah kami ini?
Sosok-sosok yang setiap saat berjumpa dan saling menyapa dengan
hangat, apakah yang telah kami alami? Apakah yang sedang kami
pikirkan? Adakah sungguh bahwa kami memang hidup dengan tanpa beban
sama sekali? Tidak. Karena jika orang-orang tidak tahu apa derita
yang sedang aku alami, apa pikiran yang saat ini menyusahkanku, pasti
juga aku tak bisa dan takkan tahu beban-beban orang lain, sesamaku.
Bahkan mereka yang paling akrab sekali pun.
Demikianlah,
berawal dari kisah hidup bapak itu, yang sejarahnya aku dengar dari
sanaknya sendiri yang kukenal, aku menyadari bahwa setiap orang pasti
dapat atau sedang menderita tetapi penderitaan itu tidak harus
diterima dengan rasa sesal yang berkepanjangan. Atau bahkan dengan
putus asa. Atau dengan menyalahkan orang lain, lingkungan atau bahkan
Tuhan. Tidak. Derita ini untuk dijalani dan diterima sebagaimana
adanya dan kita tetap dapat bersyukur kepada Tuhan paling tidak
karena kita telah diberi kesempatan untuk hidup itu sendiri. Bahkan
kita tetap dapat bersyukur atas kesempatan itu. Beban yang dipanggul
dengan kerelaan hati akan membuat hidup ini menjadi lebih ringan.Dan
karena itu hidup menjadi lebih bermakna.
Kita harus
menerima kehidupan kita apa adanya. Segala yang telah terjadi akibat
dari keputusan kita sendiri merupakan resiko yang tak dapat kita
tolak dan karena itu tak perlu membuat kita putus asa lalu kehilangan
harapan dan menghentikan hidup kita begitu saja. Sebab hidup adalah
perjuangan yang memang tidak mudah tetapi layak, sangat layak, untuk
dihadapi dan dijalani. Untuk itulah kita ada. Untuk itulah kita
diberi karunia kehidupan. Hanya mengeluh atas apa yang telah terjadi
takkan bisa mengubah situasi. Bahkan dapat membuah hidup kita menjadi
lumpuh dan kita pun gagal melihat keindahan yang setiap saat berada
di seputar kita. Gagal menikmati kehidupan itu sendiri.
Penderitaan
sesungguhnya adalah penolakan kita terhadap situasi hidup yang
mengungkung kita. Dan jika derita itu diakibatkan oleh keputusan kita
sendiri, bisakah kita menyalahkan orang lain? Untuk apa? Tidakkah
setiap resiko atas keputusan kita harus kita hadapi dengan penuh
tanggung-jawab? Jika kita menerima segala yang telah dan sedang
terjadi, jika kita menyadari bahwa apa pun yang telah dan sedang kita
alami sekarang merupakan akibat dari perbuatan dan keputusan kita
sebelumnya, dan hari kemarin tak mungkin kita ulang kembali, kita
tetap dapat dan harus bersyukur karena pengalaman kita dapat menjadi
pelajaran yang sangat berharga baik bagi diri kita dan juga terutama
bagi sesama kita.
Sekarang,
setiap saat aku berjumpa dengan bapak itu, aku merasa menemukan satu
harapan. Bahwa hidup yang dijalani ini tidaklah sia-sia. Aku sadar
betapa hidup ini penuh dengan kesulitan dan setiap orang, setiap
wajah yang kutemui setiap hari, selalu menyembunyikan rahasia
penderitaan mereka masing-masing, namun hidup tetap harus dijalani
dengan penuh rasa syukur karena, kegagalan atau keberhasilan,
tidaklah sepenting dibandingkan dengan hidup ini sendiri. Kita selalu
dapat belajar dari masa lalu, baik masa lalu kita maupun masa lalu
sesama kita, sambil membuat dan melakukan keputusan kita sendiri
untuk dijadikan sebagai pelajaran baru lagi. Sebab memang, dalam
hidup selalu harus ada keputusan yang selalu kita buat dan
laksanakan. Tanpa itu, kita hanya menyia-nyiakan anugerah kehidupan
kita. Hanya menyia-nyiakan.
Tonny
Sutedja