05 November 2008

ANAK KECIL DALAM HUJAN

Malam pukul 21.00. Hujan deras mengguyur. Jalan Veteran terasa sepi dan gelap. Entah mengapa, banyak lampu jalan yang padam. Sementara genangan air nampak mulai memenuhi tepian jalan. Aku lewat amat pelan sambil memperhatikan sekelilingku dengan seksama. Malam itu malam minggu, namun tak nampak orang-orang yang biasa berkumpul untuk menonton balapan liar seperti yang biasa terjadi di malam-malam minggu yang cerah. Dan menjelang perempatan Jalan Landak Baru dan Lama, aku melihat sesosok tubuh seorang anak, usianya mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun, meringkuk di sudut pintu sebuah ruko yang tertutup rapat. Dengan hanya berselimut sebuah kain spanduk, nampak seperti spanduk kampanye seorang calon walikota dalam Pilkada beberapa waktu lalu, anak itu kulihat tertidur dengan nyenyak. Malam yang dingin dan deru hujan yang deras tak sanggup untuk mengganggu keasyikan anak itu dari lelapnya. Aku lewat bersama beberapa kendaraan dan dua buah becak, melintas jauh di tengah jalan, menghindari genangan air di sisinya, sambil melirik ke arah anak itu sekejap. Hanya sekejap. Lalu anak itupun menghilang dari pandanganku.

Jauh meninggalkan anak itu, terlindung dari udara malam yang dingin dan basah, di dalam kamarku yang hangat dan terang, aku kembali memikirkan anak tadi. Siapakah dia? Dimanakah orang tuanya? Saudara-saudarinya? Keluarganya? Mengapa sampai dia harus tertidur di atas trotoar depan sebuah ruko tanpa perlindungan sama sekali? Dimanakah kepedulian mereka-mereka yang mengenalnya? Teman-temannya? Apakah yang diimpikannya saat tertidur lelap dalam hujan dan dingin di sudut pintu depan ruko itu? Pedulikah dia dengan hidupnya? Apakah dia sedih, kecewa dan merasa putus asa menghadapi kehidupannya sendiri? Sendiri? Berapa banyakkah anak-anak lain yang mengalami nasib seperti dirinya? Anak-anak yang mungkin tak diinginkan, disisihkan dan dilupakan oleh kita semua? Yang sesekali mungkin kita sadari keberadaannya saat kita merasa dirugikan oleh tindakan anak-anak yang tersisih itu, saat mereka melakukan hal-hal yang menyentuh kepentingan kita? Namun, jika tidak, tak pernah kita anggap ada dan tak pernah kita pikirkan kesepian-kesepian mereka, kemiskinan-kemiskinan mereka, ketak-berdayaan mereka menghadapi dan menerima hidup yang bagi mereka terasa amat keras dan pahit. Ya, keras dan pahit, jika kita mau memikirkan dan mengambil posisi mereka sekali-sekali saat melihat anak-anak itu berjuang untuk bisa tetap hidup.

Di dalam kamarku yang hangat dan terang, sambil mendengarkan alunan musik dan ditemani secangkir teh hangat, tiba-tiba aku merasa risau dengan hidup ini. Berapa banyakkah rasa sepi dan tak berdaya yang pernah kualami? Berapa banyakkah hasrat dan ambisi yang masih ingin kuraih dan kureguk? Mengapa semuanya terasa tak pernah cukup? Mengapa jika hasrat, ambisi dan cita-cita yang ingin kuraih itu mengalami kegagalan, seringkali aku mengalami kekecewaan, kekesalan dan kemarahan yang membuat aku sedih, tak berdaya dan bahkan terkadang merasa putus asa? Bagaimana pula dengan pemikiran, perasaan dan penghidupan anak kecil yang tadi kulihat di emperan ruko itu? Sedihkah dia? Kecewakah dia? Ataukah ini suatu perbandingan yang tidak masuk akal? Tidak masuk akal? Bukankah anak itu juga seorang anak manusia seperti diriku? Sementara aku berdiam di sebuah rumah yang dapat melindungiku serta menghangatkan tubuhku, jauh dari cucuran air hujan, anak tadi meringkuk dengan lelap walau aku tahu bahwa terkadang tempias air hujan yang turun deras sesekali membasahi tubuhnya yang kecil itu. Membasahi tubuh kecilnya yang menggigil kedinginan tanpa mampu ditemani secangkir teh hangat seperti yang saat ini kuhirup dengan enak. Kuhirup dengan enak dan rakus....

Maka sambil menulis renungan ini, aku mendengarkan suara lirih dari Ralph McTell: "So how can you tell me, you're lonely. And say for you that the sun don't shine.... (Streets of London). Ya, bagaimana kita dapat berkata bahwa kita menderita, kita kesepian, kita gagal, kita kalah, kita sakit, kita patah hati, kita putus asa, lalu mungkin ingin menghabisi hidup ini, jika kita tak pernah merasakan kehidupan mereka-mereka yang tak memiliki apa-apa. Mereka-mereka yang setiap malam tak punya tujuan, tak punya kata pulang, tak memiliki perteduhan, tak seorang pun yang menghangatkan hati dan tubuhnya, tak memiliki apa-apa sama sekali. Dan anak kecil dalam hujan tadi masih bisa tertidur dengan nyenak. Nyenyak sekali. Bahkan hujan deras dan dingin pun tak mampu untuk mengusik mimpi-mimpi yang sedang dialaminya. Tidakkah malam ini kita pantas memimpikan dia?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...