01 November 2008

1 NOPEMBER 2008

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Aku terjebak di tengah kendaraan yang amat semerawut. Klakson berbunyi memekakkan telinga. Ada suara sirene. Beberapa mobil yang terparkir di sisi kiri dan kanan membuat jalan tersumbat hanya untuk satu kendaraan saja. Dan tak ada yang mau mengalah. Di perempatan, lampu jalan padam. Asap kendaraan menyesakkan dadaku. Raungan gas yang diputar penuh. Suara umpatan. Seorang penjual bakso mendorong gerobaknya, menyeberang ke tengah jalan, tanpa peduli kiri kanan. Dan tiga buah becak yang terparkir tepat di sudut jalan seakan tidak peduli, tetap tak bergeming. Maka sempurnalah kemacetan ini. Semuanya tak terkendali. Semuanya tak ingin diatur dan mengatur diri. Semuanya hanya ingin mencari keuntungan sendiri. Ah, jalan macet. Udara cerah. Malam minggu. Awal Nopember. 2008.

Apa arti kemajuan bagi kita? Apa arti dunia modern bagi kita? Apa arti pendidikan yang kita terima sejak usia dini hingga saat ini? Apa arti pemikiran-pemikiran dan ceramah-ceramah menawan yang setiap saat kita terima? Yang setiap hari memenuhi halaman-halaman koran dan majalah? Apa arti semua itu jika pada akhirnya, yang kita tahu hanyalah bagaimana berusaha hanya untuk memenangkan kepentingan kita saja? Jika kita tetap merasa bahwa aturan ada hanya untuk mengatur orang lain dan bukan kita? Aku terjebak di tengah kemacetan ini, sambil menonton aksi-aksi kendaraan dan para pengguna jalan lainnya yang tak satu pun mau mengalah. Maka bukannya persoalan-persoalan teratasi, namun menjadi kian kusut dan tak terkendali. Jika kepentingan kita yang paling utama, dan kita tak ingin untuk saling mengalah, akhirnya kita takkan kemana-mana. Yang ada hanya kekusutan. Dan kita terjebak tanpa mampu bergerak. Demikianlah kehidupan kita akan menjadi macet di titik dimana kita gagal untuk saling mengalah dan berbuat sesuatu bagi orang lain. Takkan ada yang bisa mengurai kekusutan ini selain diri kita sendiri.

Berada di antara impitan kendaraan yang menggeber gas dan membunyikan klakson dengan menggebu-gebu, tiga orang bocah lelaki cilik, dan salah satunya nampak menggendong bayi perempuan kecil yang mungkin adiknya, maju memotong untuk menyeberang jalan. Saat aku merasa heran mengapa orang tua anak-anak itu membiarkan saja mereka berkeliaran di tengah keliaran lalu lintas malam itu, kendaraan-kendaraan lain nampak memberikan jalan. Tak ada geberan gas. Tak ada suara klakson yang menjerit-jerit seakan tak sabaran harus mengalah. Tiga bocah cilik itu menyeberang dengan aman, salah satunya nampak tersenyum kepada seorang pengendara motor yang memutar kemudinya untuk melonggarkan jalan bagi mereka. Di tengah kesemerawutan jalan malam ini, tiga orang bocah cilik dan seorang bayi telah membuat pengendara yang tak sabaran menjadi sadar kembali. Bahwa ada sesuatu yang jauh lebih utama daripada hanya mementingkan diri dan kepentingan sendiri. Yang jauh lebih utama daripada sikap tak mau mengalah dan ingin menang sendiri. Maka salah seorang bocah kecil itu pun tersenyum pada mereka. Tersenyum dan berterima kasih.

Awal Nopember. Malam minggu. Udara cerah. Jalan macet. Namun ada yang jauh lebih penting dari segala pengejaran waktu dan perburuan ambisi yang membelit kita, yang membuat kita saling menyikut dan tak mau saling mengalah agar tidak merasa kalah. Selalu, ya selalu ada senyum syukur dan terima kasih atas perhatian yang telah kita berikan kepada orang-orang lain. Bahkan kepada bocah-bocah cilik sekalipun. Maka untuk apa segala umpatan, gerutu, geberan gas, pekak klakson itu? Jika kita mau saling mengalah, jalan akan terbuka bagi kita masing-masing. Berikanlah jalan, dan kita pasti akan menemukan jalan pula. Sabarlah, maka kita pasti akan tiba di tujuan kita. Semuanya hanya masalah waktu. Ya, semuanya hanya masalah waktu saja. Bocah kecil itu tersenyum kepada kami. Dan kami pun ikut tersenyum kepada mereka......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...