17 November 2008

LOSARI, SABTU DINI HARI

Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Aku duduk di atas tanggul tepian pantai Losari setelah lelah berlari mengitari sepanjang jalan Penghibur dan Metro. Sabtu dini hari. Jalanan ramai dengan puluhan insan yang melakukan aktivitasnya masing-masing. Belasan pasang muda mudi kulihat berjalan bergerombol, sambil ngobrol dan bercanda. Belasan orang lainnya nampak sedang berlari-lari dengan nafas yang terengah-engah, berusaha mempertahankan laju kecepatannya. Wajah-wajah yang tak bisa kukenali karena tersamar dalam kegelapan waktu pukul lima dini hari. Namun dapat kurasakan semangat mereka, semangat untuk hidup, semangat untuk menikmati hidup, semangat untuk tetap bertahan hidup.

Di trotoar, belasan anak-anak kecil juga kulihat sedang berjalan pelan, memunguti gelas dan botol plastik bekas minuman yang dibuang secara serampangan. Dengan tekun mereka mencari dan memunguti sampah-sampah plastik itu sambil riuh bercerita dan tertawa. Di tengah jalan beberapa mobil dan motor melintas pelan. Lalu, dari sebuah mobil mewah yang berjalan cukup kencang, terlempar keluar dua buah botol plastik minuman ringan. Dengan riuh, beberapa dari anak-anak kecil itu berlarian ke tengah jalan tanpa memperdulikan kendaraan lain yang melintas, tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri, berebutan botol plastik yang dibuang tersebut. Seorang pengendara motor kulihat mengerem kendaraannya secara tiba-tiba sambil mengomel. Tapi tak ada yang peduli. Setelah mengambil botol-botol itu, anak-anak kembali ke atas trotoar, masih dengan tertawa-tawa riang.

Sabtu dini hari. Hari masih gelap. Fajar belum lagi tiba. Namun di sepanjang pesisir jalan Penghibur ini kehidupan menggeliat dengan segala keriuhan dan keceriaannya. Aku duduk sambil menyaksikan segala kejadian yang ada di depanku. Udara yang masih terasa cukup dingin menyegarkan paru-paruku. Puluhan atau mungkin ratusan wajah melintas di depanku, tenggelam dalam kegelapan, menyimpan rahasia kehidupannya masing-masing. Aku hanya salah satu dari gerombolan wajah yang saling berbaur, saling beraktivitas, namun dengan pikiran dan kesendiriannya masing-masing. Siapakah kita? Bagaimanakah kita bisa hidup? Mengapakah kita harus ada? Rombongan anak-anak kecil berjalan dengan perlahan dan tenag setelah sejenak tadi nampak riuh memperebutkan botol-botol plastik yang dibuang secara serampangan dari atas sebuah mobil mewah yang melaju kencang.

Jauh di sebelah barat, di batas antara laut dan langit, tak nampak sesuatu apapun selain kelam. Dan samar-samar suara gelombang terdengar menghempas di pesisir tanggul ini. Beberapa kerlap-kerlip cahaya timbul tenggelam di ujung sana, mungkin berasal dari perahu nelayan yang sedang melaut untuk mencari ikan. Sedang di sebelah timur, pada ujung atap gedung-gedung yang berdiri kaku, kulihat secara perlahan langit mulai menampakkan semburat jingga di tepi beberapa kumpulan awan yang mengapung. Ah, fajar akan segera tiba. Namun, di atas jalan raya depanku, suasana masih gelap. Dan puluhan atau bahkan ratusan wajah terus mengalir, bergerak dari ujung ke ujung, mencari kesegaran diri di sabtu dini hari ini.

Duduk di atas tanggul pantai Losari, merasa terasing dari lautan wajah yang bergerak, duduk di antara puluhan insan lainnya yang sedang beristirahat dan merenung sambil memandang ke seputarnya, tiba-tiba aku merasa kehilangan diriku. Ya, siapakah kita di antara mereka? Siapakah kita yang mungkin merasa paling berbahagia atau paling bersusah hati? Siapakah kita yang mungkin merasa paling penting dan karena itu sering menganggap diri kita sebagai pusat dari kehidupan? Tidakkah kita hanya setetes air di antara lautan yang sedemikian luas ini? Setetes air yang memang ada namun tak perlu membanggakan keberadaannya. Sebab kehidupan lain toh, sama pentingnya dengan kehidupan kita sendiri. Hanya sering tak kita rasakan. Sering kita lupakan. Karena kita hanya terpaku pada kehidupan kita sendiri. Kita. Dan anak-anak kecil itu, dengan riangnya mengejar-ngejar botol-botol plastik yang sudah kita anggap sampah, hingga tak peduli dengan keselamatan mereka, mungkin agar dapat menjualnya untuk memperpanjang kehidupan mereka. Kenalkah kita pada mereka? Kenalkah mereka pada kita?

Di pesisir Losari, sabtu dini hari, langit mulai kelihatan cerah. Sebuah hari baru telah tiba. Sebuah harapan baru akan hadir. Dan aku hanya satu tetes air di antara lautan kehidupan yang sedemikian luas ini. Hanya setetes air saja. Tetapi, saat aku bangkit berdiri dan mulai berjalan untuk kembali ke rumahku, tiba-tiba aku pun sadar. Inilah aku. Walau hanya setetes air yang nampak tak berarti, bagaimana pun, aku ada dan hadir, untuk membentuk sebuah lautan luas dalam kehidupan ini. Ya, tanpa setetes air ini, adakah kehidupan dapat terbentuk? Kita selalu punya arti, bagaimana pun kecilnya kita. Sebab tanpa kita, takkan ada hidup. Dan untuk itulah kita berguna dalam kehidupan ini. Kita selalu berguna.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...