15 November 2008

MENANTI CAHAYA BARU

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

(NISAN – Chairil Anwar)


 

Tubuhnya terbaring hampir tanpa gerakan. Hanya mata dan suaranya yang sesekali terdengar memanggil dan berbicara kepada kami, yang menandakan bahwa ibu ini masih hidup dan tetap memiliki kesadaran yang baik. Sementara itu, kaki, lengan dan badannya membengkak, dan nampak selang infus yang terpasang menembus dadanya, serta selang oksigen yang memasuki hidungnya. Ya, ibu tua ini praktis tak mampu lagi berbuat apa-apa. Sel-sel kanker telah menyebar dan menggerogoti seluruh organ-organ tubuh dalamnya, membuatnya lumpuh dan hanya bisa menanti suatu keajaiban untuk sembuh kembali.

Aku sering memandang ibu itu saat mengunjunginya di ruang ICU. Matanya sesekali terbuka, memanggil perawatnya untuk minum, lalu dipejamkannya kembali. Tetapi aku tahu, bahwa dia tidak tidur. Tidak. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Tetapi aku lalu bertanya-tanya pada diriku, jika aku ibu itu, jika aku yang berada dalam kondisi yang sama dengannya, apakah yang sedang kupikirkan? Apakah yang harus kupikirkan? Jika aku tahu bahwa waktuku sudah dekat, jika aku sadar bahwa sekarang tak ada apa lagi yang bisa kulakukan selain menanti, menanti datangnya ketak-sadaran abadi, menanti kematianku sendiri, apakah yang mampu kupikirkan? Aku tidak lagi menguasai tubuhku, dan hanya kesadaranku yang tersisa untuk tetap berpikir, ya, apakah yang dapat kupikirkan saat itu?

Aku melihatnya dengan terharu. Matanya yang terpejam, ada setetes bintik air di ujung pelupuk matanya yang terkatup, wajahnya yang tua dan berkerut, rambutnya yang dipilin mulai memutih, tubuhnya yang terbungkus selimut putih, dan kedua tangannya menjulur yang nampak besar membengkak dan cairan yang sesekali keluar dari pori-porinya, dengan telapaknya yang membuka seakan meminta sesuatu. Apa yang sedang dimintanya? Tidak, tak ada yang sakit, katanya, jika aku menanyakan padanya, adakah yang sakit pada tubuhnya. Tak ada yang sakit. Dan dia hanya menanti. Menanti, sama seperti kami yang sesekali datang mengunjunginya, menanti. Apa lagi yang dapat dilakukan selain dari menanti, bukan?

"Bukan kematian benar menusuk kalbu. Keridlaanmu menerima segala tiba" ya, tiba-tiba aku teringat pada sajak Chairil Anwar untuk neneknya ini. Bukan kematian yang bisa menggetarkan kita namun bagaimana saat-saat kita harus menghadapinya, terutama jika kita mengalami situasi yang sama dengan ibu ini. Saat kesadaran kita masih amat baik, saat kemampuan berpikir kita masih amat jernih, tetapi tubuh kita sudah mulai kehilangan kehidupannya, mulai rusak dan membusuk, dan kita sadar bahwa tak ada sesuatu pengobatan pun yang bisa dilakukan lagi untuk mencegah kematian raga ini. Tak ada sesuatu lagi yang bisa kita lakukan, selain menanti. Menanti. Dan menanti.

Dan menanti adalah suatu keajaiban. Ya, menanti adalah suatu keajaiban. Pada saat itu, kita dapat merasa takut dan khawatir akan apa yang nanti kita hadapi. Atau kita mungkin juga tidak peduli dan pasrah saja melawan kelemahan raga ini. Atau mungkin kita enggan untuk kalah, dan tetap berupaya untuk bertahan hidup dengan melawan kerusakan raga kita. Apapun yang saat itu kita rasakan dan pikirkan, pada akhirnya tetap merupakan suatu keajaiban dalam makna kehidupan ini. Kesadaran kita, daya pikir kita, pengharapan kita, akan diuji secara total dalam menerima dan menghadapi kenyataan hidup itu.

"Hidup hanya menunda kekalahan.....sebelum pada akhirnya kita menyerah" demikian tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang lain, Derai-Derai Cemara. Aku melihat ibu ini, aku merasakan pergulatan dan perjuangannya menghadapi kelemahan raganya, rasa sakit dan deritanya dalam menerima dan menghadapi penyakitnya, persiapannya dalam menjalani dan menghadapi perjalanan menuju akhir, tiba-tiba aku merasa bahwa hidup bukannya menunda kekalahan, tetapi sesungguhnya hidup ini hanya menunda kemenangan kita. Ya, kemenangan melawan rasa sakit dan derita tubuh. Kemenangan dari problem-problem dan kesesakan hidup. Kemenangan dari keberadaan fisik di dunia fana ini.

Waktu berlalu. Tepat di depanku, ibu tua ini nampak memejamkan matanya. Wajahnya tenang. Ada setetes cairan di ujung pelupuk matanya. Rambutnya yang beruban nampak dikelung rapi. Dia sedang menanti. Berpikir dan menanti. Sementara di luar gerimis jatuh rintik. Tiba-tiba aku merasa sunyi dalam hati. Hidup, ya hidup ini, pada akhirnya harus kita hadapi sendirian. Seorang diri. Sambil menanti akhir dari suatu perjuangan panjang, pergulatan-pergulatan kehidupan, pengabdian kepada sesama dan dunia, dan di ujungnya, kita semua akhirnya akan menanti akhir, menanti datangnya sebuah cahaya, cahaya baru, kehidupan baru, sebuah kemenangan jiwa kita atas raga yang lemah ini. Dan itulah keajaiban yang sedang menanti kita. Karena kita bukanlah sedang menanti keajaiban, namun keajaibanlah yang sedang menanti kita semua. Keajaiban. Kita sedang menanti cahaya baru kehidupan kita. Sama seperti ibu tua ini sedang menanti cahaya baru kehidupannya sendiri.


 

Kepada Miss Peggy, Guruku

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...