Dalam sejarah, kita belajar dan mengetahui tentang peperangan-peperangan besar. Serta nama para pemenang yang jaya. Kublai Khan. Aleksander Agung. Churchill. Hayam Wuruk-Gajah Mada. Syailendra. Tetapi tahukah kita nama para prajurit yang, dengan keberanian dan ketakutannya, menjadi pelopor di medan pertempuran itu? Kenalkah kita nama-nama prajurit yang, terluka dan cacat atau malah tewas di medan tempur, demi untuk mencapai kemenangan yang diharapkan tersebut? Siapakah mereka?
Demikian juga, saat kita berdiri di depan bangunan-bangunan kolosal, Taj Mahal, Piramid, Borobudur dan dengan terpana serta takjub menyaksikan kebesaran dan kemegahannya, kita mungkin akan mengenang para pendiri bangunan bersejarah tersebut. Syah Jehan. Raja-raja Ramses. Keluarga Syailendra. Tapi pernahkah kita tahu nama para tukang batu, para kuli bangunan, bahkan para mandor yang telah dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan juga air mata, telah mendirikan bangunan yang demikian menakjubkan kita itu? Siapakah mereka?
Sejarah pada akhirnya hanyalah mencatat nama para pembesar, para penguasa dan panglima perang. Prajurit-prajurit yang bertarung di medan tempur untuk meraih kemenangan itu, tukang-tukang dan pekerja bangunan yang bekerja keras untuk mendirikan bangunan tersebut, semuanya tenggelam dalam waktu. Dan sejarah melupakan mereka. Padahal, apakah artinya nama-nama para pembesar, penguasa dan panglima tersebut jika tak ada orang-orang kecil tersebut? Bagaimana kemenangan bisa diraih jika tak ada para prajurit? Bagaimana sebuah bangunan bisa berdiri jika tak ada para tukang dan pekerja? Tetapi siapakah mereka?
Demikianlah catatan ini kutulis ketika seseorang berkata betapa tak berartinya dirinya saat dia menceritakan kegagalannya dalam meraih impian untuk berkuasa. Tak berarti? Apakah yang dimaksudkan dengan berarti? Apakah artinya bisa menjadi orang-orang besar, penguasa yang jaya atau menjadi panglima yang kelak akan tercatat dalam sejarah? Perlukah kita untuk harus menjadi seseorang yang tercatat? Perlukah? Jika demikian, sungguh menyedihkan nasib para prajurit dan pekerja-pekerja yang telah mengurbankan segala-galanya demi sesuatu yang akan tercatat dalam buku-buku diktat kuliah namun melupakan mereka.
Namun kita semua tahu betapa hidup sebenarnya tak serumit itu. Kebenaran sebuah sejarah sesungguhnya terletak pada pengalaman kita untuk hidup dan menghidupi diri. Sejarah mutlak adalah apa yang saat ini kita lakukan. Suatu kenyataan, bukan impian. Mungkin, kita kelak takkan dikenang dalam catatan-catatan tertulis di ruang kuliah atau di dalam kitab manapun juga di masa depan. Namun, kita telah ada. Dan kita saat ini nyata ada. Maka sebenarnya kita tak perlu merasa kecewa dengan peran yang kita jalani sekarang. Sebab ingatlah, tanpa para prajurit, takkan ada kemenangan. Tanpa para tukang dan pekerja bangunan, takkan berdiri bangunan yang sedemikian menakjubkan itu. Tanpa kita, dunia ini tak ada. Takkan ada sama sekali. Bukankah demikian adanya?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar