09 November 2008

MALAM TANPA SIANG

Aku memiliki segala-galanya, kecuali kebahagiaan, kata seseorang kepadaku. Bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan itu? Adakah kebahagiaan itu? Dan apakah kebahagiaan itu? Mengapa tak pernah kurasakan? Apakah memang dia ada? Setiap saat yang kurasakan hanyalah kekosongan. Hampir setiap malam aku melarikan diri ke keramaian, ke dunia yang gemerlapan, bersama teman-teman, bersama mereka yang kubayar, bersama mereka yang mau menikmati kesenangan, namun tetap ada rasa hampa dalam diriku. Ya, aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan. Mengapa bisa begitu hidupku? Mengapa?

Sebagai seorang pemilik usaha yang amat kaya raya, dia memang memiliki segala-galanya. Istri yang cantik, tiga orang putri yang manis, rumah mewah, beberapa mobil mengkilap terparkir di garasi dan para pegawai yang setiap saat siap dipanggil untuk memenuhi keinginannya. Apa yang kurang? Ya, apa lagi yang kurang? Dari sisi penampilan luar, dia telah memiliki semua hal yang diinginkan orang lain. Yang diharapkan orang lain. Yang diimpikan orang lain. Namun, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya? Hidup ternyata, tidak berlangsung sebagaimana yang nampak. Dan memang tidak. Kita tak pernah mampu mengetahui isi hati seseorang hanya dengan melihat apa yang nampak padanya, apa yang dimilikinya, apa yang dikerjakannya. Hati, rasa, bisa jauh dari gambaran ideal yang kita saksikan sehari-hari.

Sebab itu, seharusnya tidak gampang bagi kita untuk mengadili orang lain tanpa memahami perasaannya. Tidak mudah bagi kita untuk menjadi hakim, selama kita tak mau untuk mencari tahu isi hatinya. Apa yang dialaminya sehari-hari? Tenggelam dalam kesibukan untuk mengatur usahanya? Tenggelam dalam hubungan antar manusia yang hanya berdasarkan untung rugi? Tenggelam dalam memberi dan membagi senyum yang hanya untuk basa-basi belaka? Aku tahu, dia amat tersiksa dalam menjalani kehidupan demikian. Bahkan, pernah, dia mengeluh tentang keluarganya yang tidak pernah memahami perasaan dan keinginannya. Dia tidak menyukai kehidupan yang mewah dan penuh basa-basi, tetapi toh dia harus menjalaninya demi kemakmuran hidupnya. Dia berkata bahwa dia ingin hidup di suatu rumah yang sederhana, di suatu tempat yang tenang dan tanpa keriuhan pesta pora yang sebenarnya tidak disukainya, namun kulihat, bahkan semakin dalam dia terbenam dalam hidup yang tidak disenanginya itu. Semua demi relasi. Semua demi orang-orang lain, bahkan keluarganya sendiri yang terus mendorongnya untuk menjalani hidup yang hiruk pikuk itu. Hiruk pikuk, namun penuh kekosongan dalam batinnya. Dimanakah kebahagiaan itu, tanyanya?

Aku tak tahu. Sungguh, aku tak mampu menjawabnya. Kadang, kupikir, kita harus melakukan tindakan yang amat radikal, meninggalkan semua kebiasaan kita, melepaskan semua kesenangan fisik yang kita nikmati, dan memulai hidup baru bersama orang-orang yang sederhana. Hidup tanpa tergantung pada orang lain. Hidup tanpa kuasa untuk memerintah dan menentukan nasib orang lain. Hidup dan melakukan apa saja dengan kemampuan sendiri. Hidup dalam kesederhanaan para kaum papa. Tetapi, dapatkah kita menjalani hidup demikian, tanpa merasa kehilangan kehidupan kita kembali? Dan karena itu, bisa saja membuat kita kembali tidak berbahagia? Maka apakah kebahagiaan itu, teman?

Sesungguhnya, kebahagiaan tidak tergantung pada kata dan definisi. Kebahagiaan tidak bisa kita cetuskan dengan kalimat-kalimat yang indah dan bermakna. Kebahagiaan hanya bisa kita rasakan jika kita mau, apapun kondisi kita saat ini. Kebahagiaan datang dan berasal dari pikiran kita, dari perasaan kita, dari anggapan kita pada hidup yang sedang kita jalani ini. Jika merasa bahagia, kondisi apapun yang kita alami saat ini, takkan bisa menghapuskannya dari pikiran kita. Tetapi jika kita tidak merasa bahagia, apapun yang kita miliki -bahkan dunia sekalipun- takkan mampu kita datangkan dalam hati kita. Takkan pernah.

Hidup yang kita jalani ini, adalah malam dan siang, bertukar rupa setiap saat. Tetapi jika kita merasa bahwa kita hanya mengalami malam tanpa siang, itu bukan karena memang siang tidak ada. Siang tetap ada, namun tidak kita rasakan. Karena kita hidup bersama dan hanya mengenal malam saja. Siang yang tiba akan tetap menjadi malam yang suram, karena hati perasaan kita menolak untuk mengakui terang itu. Karena dalam terang pun ada kegelapan yang tidak nampak, kegelapan yang berasal dari hati kita yang terus menerus mengharapkan terang itu muncul. Terang ada tetapi kita gagal untuk mengenalnya. Kita gagal.

Maka dimanakah kebahagiaan itu dapat kita temukan? Dapat kita rasakan? Dapat kita nikmati? Kebahagiaan terletak pada senyum anak-anak kecil yang setiap pagi kita temukan di perempatan jalan sambil menjual koran pagi agar mendapatkan uang untuk diberikan kepada orang tuanya agar mereka bisa memperpanjang hidup. Kebahagiaan terletak pada tawa riang para buruh dan pekerja yang berkumpul dan bercanda walau mereka sadar bahwa upahnya tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya yang mendasar, tak cukup untuk membayar uang sekolah anak-anaknya. Kebahagiaan terletak pada mereka-mereka yang sebenarnya tak mampu untuk hidup layak, namun tetap menjalaninya karena mereka sadar bahwa hidup ini bukan sebuah beban, namun anugerah dari Sang Pencipta. Kebahagiaan bisa terdapat dimana-mana, namun tak bisa kita temukan karena kita hanya mampu untuk melihat ke dalam diri kita saja. Ke dalam perasaan kita saja. Ke dalam kehidupan kita saja.

Aku memiliki segala-galanya kecuali kebahagiaan, katanya. Maka, dapatkah kita membenarkan kata orang bahwa kebahagiaan dapat dibeli dengan harta yang kita miliki? Marilah kita renungkan pagi ini ...............

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...