02 November 2008

BEBERAPA PERTANYAAN UNTUK DIPIKIRKAN

Di persimpangan jalan Sudirman-Ratulangi-Sungai Saddang-Karunrung Makassar, ada sebuah spanduk besar terpampang. Bunyinya: MENGEMIS: NO! SEKOLAH: YES!. Aku melihat ke spanduk besar tersebut, yang merupakan sosialisasi Peraturan Daerah (PerDa) mengenai Anak Jalanan. Salah satu isi PerDa tersebut adalah larangan bagi siapa saja untuk memberi sedekah kepada anak-anak jalanan yang biasa berkumpul dan mengemis di perempatan jalan yang cukup ramai itu.

Aku membaca spanduk tersebut sambil merenung: "Bagaimana jika uang dari hasil mengemis itulah mereka pergunakan sebagai biaya bersekolah? Tidakkah jika mereka dilarang mengemis maka itu berarti bahwa mereka juga akhirnya tak mampu untuk bersekolah? Bukankah sekolah berarti biaya? Bagaimana jika orang tua mereka tak sanggup untuk membiayai, bahkan untuk hidup sehari-hari sekalipun? Bagaimana jika negara sendiri tidak atau belum mampu untuk memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh mereka? Bukankah mereka pun punya hak untuk memilih apa yang akan mereka jalani?"

Demikian juga, saat suatu malam, aku lewat, masih di jalan yang sama, nampak beberapa wanita penghibur dikejar dan bahkan ada yang terjatuh dan diseret ke sebuah mobil kap terbuka. Ada yang menjerit-jerit melawan, ada yang nampak menangis dan ada yang pasrah saja mengikuti perintah para Satpol PP itu. Tidak, aku tidak ingin membela pelacuran atau pornoaksi lainnya. Aku hanya ingin bertanya, "Bagaimana jika mereka tidak punya pekerjaan selain dari apa yang saat itu mereka lakukan untuk menghidupi keluarga mereka? Apakah yang mereka lakukan itu hanya untuk bersenang-senang saja? Saya pikir tidak. Sebagian besar dari mereka melakukan itu sambil, mengutip judul sebuah lagu pop dulu, "tangis dalam hati". Ada perasaan malu, perasaan bersalah, perasaan berdosa. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan selain menjajakan diri mereka demi untuk sekedar penyambung hidup? Mereka tak punya gelar, mereka mungkin tak memiliki kemampuan untuk bersekolah. Salahkah mereka?

Hidup tidaklah sederhana. Serta tidak hitam putih seperti yang ingin kita permudah dengan pelarangan itu. Dan kita toh, tidak bisa dengan gampang menghakimi orang lain, jika kita sendiri tidak mampu untuk mengerti dan memahami serta menyediakan solusi bagi persoalan-persoalan yang mereka alami. Maka, saat Undang-Undang Pornografi disahkan DPR, aku ingin tahu, apakah sudah disiapkan pula solusi bagi pelarangan yang telah diundangkan tersebut? Adakah lapangan kerja bagi mereka-mereka yang tersisih, miskin dan tak berdaya untuk menghidupi diri? Adakah kesempatan yang terbuka bagi mereka-mereka yang tak berdaya, tak berpendidikan, tak punya koneksi untuk memasuki kehidupan yang lebih layak dan manusiawi sesuai yang diinginkan, juga oleh mereka? Adakah?

Aku tidak mau berpolemik soal pro atau kontra UU atau PerDa atau apapun jenisnya yang mengatur kehidupan rakyat. Tetapi jelas, ada hal yang jauh lebih penting untuk dilakukan daripada hanya tindakan melakukan pelarangan atau bahkan penghukuman. Sebelum kewajiban negara bagi para penduduk yang miskin, terkebelakang, tak memiliki kekuasaan-kekuatan-kekayaan, dipenuhi, maka UU atau PerDa apapun yang dikeluarkan hanya akan dianggap angin lalu saja. Bahkan bisa menghasilkan konflik di masyarakat, fitnah hanya karena rasa sakit hati, dendam dan kekerasan dengan korban yang mungkin tak paham sama sekali mengapa dia harus dikorbankan.

Maka, sudahkah kita pikirkan hal-hal tersebut?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...