30 April 2008

DERITA SEORANG IBU

Seringkali dia membantu kami dalam kegiatan-kegiatan sosial yang kami adakan. Dia seorang ibu yang memiliki dua orang anak, terkenal karena sangat aktip dalam kegiatan untuk menolong sesama yang sedang menderita sakit. Kami menyalurkan dana-dana yang kami kumpulkan dari para donatur sukarela untuk biaya pengobatan penyakit orang-orang yang tak mampu. Setiap minggu kedua dalam bulan, kami mengadakan kunjungan-kunjungan sambil membawa dan membagikan dana tersebut. Terkadang, ibu itu sendiri yang mengantar para penderita itu untuk berobat, sibuk mencarikan dokter yang sesuai, dan menghabiskan waktunya bersama orang-orang sakit yang telah divonis tak tersembuhkan. Sungguh, dia seorang ibu yang nampak tak pernah memikirkan dirinya sendiri.

Namun pagi ini, akulah yang mengunjunginya di sebuah rumah sakit. Tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Dua hari lalu, dia telah menimbulkan kehebohan di antara kami, karena upayanya untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Dia, yang nampak demikian tegar dalam membantu orang lain, kini terbaring tak berdaya setelah usaha untuk mengakhiri hidupnya dengan menelan obat tidur gagal. Ah, siapakah dia sesungguhnya? Betapa manusia sungguh asing satu sama lain, walau nampaknya sedemikian dekat dengan kita.

Dan perlahan, terkuaklah satu kisah tentang kondisi rumah tangganya. Suaminya, ternyata telah lama berselingkuh dan punya istri lain. Selama ini, biaya untuk anak-anaknya, bahkan biaya untuk suaminya dan istri mudanya menjadi tanggungannya. Dia yang bekerja sebagai pelulur keliling, banting tulang mencari sesuap nasi, dibawah tudingan dan pandangan sinis para tetangganya, pada akhirnya menyerah saat suaminya mengambil semua simpanannya di sebuah bank. Bahkan sempat memukulinya hingga babak belur. Dan pada akhirnya dia pun menyerah. Dua hari lalu, dia mengambil semua persediaan pil penenang yang dimilikinya, pil yang selama ini ternyata sering diminumnya untuk melupakan semua kesulitan hidupnya, menenggaknya untuk mengakhiri semua penderitaannya di dunia ini. Tetapi anak-anaknya menemukan dia dalam keadaan yang tak sadar lalu bersama beberapa tetangga mereka, membawanya segera ke rumah sakit. Dia pun selamat.

Dengan tubuhnya yang lemah, dia menatap kami lalu menangis tersedu-sedu. Kami lalu sadar, bahwa segala kegiatannya selama ini bersama kami, dilakukannya untuk melupakan kesedihannya sendiri. Hidup memang sering terselubung dalam lapis luar yang kita lihat tapi tak kita kenal. Mengapakah semua ini bisa terjadi? Bahkan, mengapakah semua ini harus terjadi? Derita yang tersembunyi di balik senyum. Derita yang tak pernah kami sadari sedang terjadi diantara kami sendiri. Saat kami berkumpul sambil bersenda gurau. Saat kami bersama-sama, dengan penuh kehati-hatian mengangkat tubuh seorang penderita lumpuh karena stroke sambil memberikan nasehat untuk tetap tabah dalam menghadapi penyakitnya. Ternyata, kami sendiri adalah seorang penderita yang tak nampak. Seorang penderita yang memerlukan dukungan tetapi tak mampu untuk mengungkapkannya. Karena kami hidup bersama topeng kegiatan yang telah menyembunyikan hati kami sendiri. Telah menyembunyikan diri kami sendiri.

Bagaimanakah kami bisa menghibur dia? Bagaimanakah kami bisa memberikan nasehat kepadanya? Nasehat yang sudah sering kami berikan kepada orang-orang lain, ternyata tersekat di kerongkongan kami saat harus mengatakannya kepada diri sendiri. Tuhan, Tuhan, bagaimanakah caranya untuk menghadapi derita kami sendiri? Sebab sungguh mudah untuk menghibur orang lain, tetapi jauh, ya jauh lebih sulit untuk menghibur diri sendiri. Sebab terkadang kata-kata nasehat yang kami berikan kepada orang lain, telah menjadi kalimat baku yang kami tahu, amatlah jauh dari pengalaman pribadi kami sendiri. Hidup itu ternyata memang tidak mudah. Terutama saat harus mengalami pengalaman pribadi kita sendiri. Karena kitalah yang secara langsung ada di dalamnya. Kitalah yang secara langsung mengalaminya.

Di sini, di kamar sederhana kelas dua sebuah rumah sakit, tiba-tiba aku melihat diriku sendiri. Di sini, aku menyadari betapa sulitnya untuk menyuarakan hati, perasaan dan pengalaman kita sendiri. Yang kita tahu dan bisa kita lakukan, hanya bergerak aktip untuk melupakan derita itu. Ya, melupakan tetapi tidak bisa meninggalkannya. Sebab kita terlibat dan hidup bersama derita itu. Kita. Kita sendiri. Sendirian. Karena itu, hanya kita pula yang bisa dan harus menghadapi semua derita itu. Menerima dengan pasrah atau melawan dengan tegar. Tetapi aku harap bukan dengan mengalah dan lari dari medan kehidupan ini. Sebab kita hidup bersama kemampuan kita sendiri. Dan sesungguhnya kita diberikan kekuatan untuk menghadapi segala cobaan sebagai suatu anugerah, bukan suatu kesia-siaan yang tak bermakna apa-apa. Hidup ada untuk dihidupi. Bukan untuk dimatikan. Hidup ada untuk diperjuangkan. Bukan untuk menyerah kalah. Derita ada untuk kita sendiri. Bukan untuk orang lain. Bukan. Dan karena itu milik kita sendiri, maka kitalah yang patut untuk menghadapinya bukan dengan mencoba lari dari kenyataan yang ada, tetapi dengan berjuang tanpa putus asa untuk kehidupan kita sendiri. Kita sendiri yang memutuskan apa yang harus dilakukan. Dan Tuhan akan menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri. Bukan orang yang lari dari tanggung jawabnya sambil menyembunyikan talenta-talentanya dengan menanamnya ke dalam tanah. Sebab itu takkan berguna bagi siapa pun. Juga bagi kita. Bukankah demikian?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...