30 April 2008

AWAL MEI 2008

Gerimis sepanjang malam. Dingin sepanjang gerimis. Hari masih juga gelap. Terang belum lagi tiba. Dan aku duduk, menulis ini, sambil menikmati suara tetesan air dari luar. Awal bulan Mei 2008. Waktu seakan berhenti. Kenangan menyerbu masuk. Ada yang tak mau hilang dari rasa. Menyentak masuk ke dalam hati. Kita, manusia, siapakah yang dapat menyatakan dengan pasti bahwa dirinya bahagia dengan keadaannya saat ini? Siapakah yang dapat dengan pasti menyatakan bahwa dirinya hidup, tidak dengan kesendiriannya? Siapakah yang mampu menyadari keberadaannya di dunia ini tanpa keragu-raguan? Siapakah yang sanggup mengusir semua kehampaan, kesia-siaan, derita, sunyi, keterpencilan dan rasa tak berdaya dalam sebaris kalimat? Siapakah?

Hujan jatuh di awal bulan mei. Tak ada apa yang sisa dari masa lalu selain kenangan. Segala kehangatan, kerinduan, harapan dan cinta yang dulu pernah menghinggapi kita, kini telah tertinggal jauh di belakang kita. Hilang ditelan waktu. Hilang dalam kesibukan kita menghidupi hidup yang kian menjadi beban, saat masa depan nampak kian tak teraih pula. Semakin kita renungi apa yang telah terjadi, dan coba memastikan apa yang akan terjadi, kian tak teraba pula kebenaran yang ingin kita raih. Hingga, pada akhirnya, kita tak mampu untuk berpikir lagi. Sebab proses berpikir selalu melibatkan rasa bimbang dan ragu. Proses berpikir selalu menyadarkan kita pada keterpencilan kita di dunia ini. Dan kita tak ingin sendiri. Kita mau suatu kepastian dimana kita berada, siapa yang bersama kita, dan mengapa kita mesti ada.

Kepastian. Kapankah dapat kita temukan dia? Kebenaran. Dapatkah kita memastikan keberadaannya? Kita. Siapakah sesungguhnya diri kita? Apakah kita harus hidup sepasti hujan yang turun membasahi bumi ini? Mengapa sering kita mengalami suatu rasa gamang? Suatu rasa dimana kebenaran yang pernah kita perjuangkan dulu, kini kian tak pasti? Harapan, dimanakah engkau yang pernah demikian menjadi pendorong semangat untuk hidup? Ah, saat waktu kian panjang kita tinggalkan, dan kian pendek pula yang masih tersisa, kian sadar pulalah bahwa segala kepastian yang dulu dengan menggebu-gebu kita perjuangkan, kini menjadi sebuah ilusi kosong saja. Dimanakah segala hasrat, ambisi dan prinsip yang dulu kita perjuangkan dengan penuh keteguhan, bahkan tak jarang dengan semangat untuk menghancurkan segala rintangan yang menghadang, saat kita menjelangi waktu-waktu akhir ini? Dimanakah itu semua?

Gerimis menjelang fajar. Hidup menjelang waktu. Dan tiba-tiba kita sadar, waktu tak lagi setia menemani kita. Saat-saat tubuh kita mulai melemah, nyeri menusuk sendi, dan nafas kian tersengal, pada akhirnya toh, semua ini akan usai. Kelak. Kita, yang saat ini hidup bersama segala daya upaya untuk menghancurkan segala aral yang merintangi segala kebenaran yang kita yakini, pada akhirnya harus menyadari, bahwa waktu adalah kebenaran yang paling pasti. Kini dia menunggu kita. Menunggu kita untuk pada akhirnya takluk padanya. Ya, kebenaran yang ada saat ini tidak pernah menjadi suatu kepastian. Kebenaran yang pasti adalah perubahan yang terus menerus terjadi dalam waktu yang berjalan terus menuju masa depan yang tak teramalkan. Dengan atau tanpa kita, dia akan terus lewat. Dan pada akhirnya, kita hanya sekedar kenangan. Itu pun jika masih ingin dikenang. Atau bahkan terlupakan seperti angin yang lewat, berlalu dan tak pernah akan kembali lagi. Yang baru selalu akan tiba. Tapi takkan pernah sampai. Takkan pernah usai. Takkan pernah.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...