04 April 2008

GENERASI

"Om..Om, saya di'tembak' di sekolah kemarin..." seru gadis cilik itu, kemenakanku yang kelas 6 SD, dengan matanya yang bulat berbinar-binar memandangku. "Ditembak?" seruku, "Siapa yang menembakmu? Pakai apa? Kenapa kau tidak lapor ke guru?". "Aih, hari gini masa Om nda' menger. Apa kata dunia?" Bingung, aku memandang gadis cilik itu. "Ditembak itu artinya ada anak cowok yang menyatakan cintanya sama saya. Saya sempat pacaran, tapi cuma 3, eh 4 hari saja....." katanya lagi sambil terkekeh-kekeh.

Di dalam milis alumni yang kuikuti, saat membaca email dari alumni 90an (aku sendiri alumni 80), sering aku harus mengernyitkan kening dan berpikir keras untuk dapat memahami maksudnya. "Bahasa gaul" kata seorang temanku. Ya, aku sering tercengang saat mendengar atau membaca istilah-istilah baru yang diucapkan mereka. Membaca email-email itu seakan-akan membaca SMS yang dipenuhi dengan berbagai akronim dan istilah-istilah yang baru bisa kupahami setelah berulang kali menyimaknya. Itu pun masih mungkin salah karena aku harus menggunakan imajinasiku sendiri. Meneketehe (Mana kutahu).

Sungguh, dalam obrolan-obrolan dengan anak-anak kita, nampak pula betapa dalam jurang perbedaan pemahaman antar generasi. Bahasa gaul generasi kita dengan generasi anak-anak kita. Kesenangan kita dan kesenangan anak-anak kita. Lagu dan musik kita dengan lagu dan musik mereka. Tetapi hidup memang mewajibkan kita untuk menerima perkembangan itu. Karena itulah kita harus belajar terus, sama seperti kelak anak-anak kita juga harus melakukan hal yang sama terhadap generasi berikutnya kelak. Waktu tak pernah berhenti, dan siapa yang berhenti pada dirinya sendiri akan ditinggalkan dalam kesendiriannya.

Anak-anak, adalah harapan masa depan kita, sekaligus gambaran masa lalu kita. Suatu saat, di tengah malam yang pekat, bersama beberapa temanku, kami memandang langit yang dipenuhi cahaya bintang, indah berpendar-pendar. Seseorang berkata dengan lirih, "Lihatlah ke langit itu. Pandanglah ke arah bintang dan galaksi itu. Maka kita akan tahu, bahwa yang kita lihat saat ini sesungguhnya adalah masa lalu dunia. Yang kita lihat adalah peristiwa ratusan atau bahkan ribuan tahun cahaya masa lampau. Dan kita tak pernah bisa mengetahui keadaan sebenarnya sekarang, apalagi kelak...." Dan kukira, anak-anak kita pun demikian adanya. Mereka adalah masa depan dunia, sekaligus gambaran masa lalu kita sendiri.

Maka, sambil memegang kepala gadis cilik itu, aku berkata, "Oo gitu toh. Kecil-kecil sudah tahu pacaran" Dia pun berkata, "Ai, Om ini kuper deh......" sambil menyandang tas sekolahnya yang amat besar dan berat, seakan-akan hendak melakukan camping saja lalu berlari memasuki gedung sekolahnya. Kukira, itulah konsekuensi yang harus kita terima untuk terus menerus belajar mengenai gaya hidup mereka, sama seperti dulu orang tua kita, kita paksa untuk belajar memahami gaya hidup kita saat itu. Malah dulu kita juga sering mengeluh, betapa orang tua kita terasa amat tak memahami kita saat itu. Perbedaan itu, bukankah itu indah? Jadi seharusnya kita menerimanya sambil tersenyum dan bukannya memaksakan gaya masa lalu kita seakan-akan gaya kitalah yang saat ini paling benar. Sebab hidup dan waktu tak pernah terpasak di titik yang sama. Ya, hidup dan waktu tak pernah terpasak di titik yang sama. Dan masa depan yang tak dikenal sama dengan masa lalu yang tak kita pikirkan. Kini, saat ini, kita adalah kita. Dan kelak, saat nanti, anak-anak kita adalah mereka.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...