18 April 2008

MAS GUN

Ada apa di balik wajah yang tersenyum? Ada apa di balik wajah yang bersedih? Ada apa di balik tingkah laku, perbuatan, sikap dan polah kita sehari-hari? Ada apa di balik diri kita?

Sehari-hari dia bekerja sebagai penyiar radio rohani di kotaku. Dan sebagai seorang penyiar, dia cukup tenar. Dalam penampilan, dia nampak tenang, sabar dan, anehnya, tidak banyak berbicara seperti saat dia ada di depan corong radionya. Dalam rapat-rapat kepengurusan di gereja, saat terjadi polemik atau perdebatan seru, dia hanya tersenyum dan berdiam diri. Ya, dia aktip sebagai salah seorang ketua rukun di paroki. Saat Misa di Gereja, dia sering nampak berdiri di belakang, mengatur umat tanpa banyak berkata-kata. Baginya, mungkin, diam adalah perbuatan sementara berbicara hanya dilakukannya di saat menyiar.

Tetapi hidup memang tidaklah sederhana. Dalam beberapa kali pembicaraan denganku, dia mengatakan kesedihan, kekesalan dan ketakutannya terhadap banyak hal. Apa yang nampak di mata kita terkadang amat bertentangan dengan apa yang ada di balik hati seseorang. Manusia, kita, sesungguhnya adalah mahluk yang amat tersembunyi. Demikian tersembunyinya sehingga bahkan kita sendiri sering tak mampu untuk mengenali pribadi kita. Canda tawa, air mata, kekesalan dan kekecewaan, ada apa di balik hidup ini?

Tahun demi tahun kita lewati bagai meniti waktu tanpa menyadarinya. Peristiwa datang dan pergi dalam alur waktu tanpa pernah kita kenali dengan pasti. Maka apakah kebenaran itu? Dapatkah kita meyakininya dengan sepenuh hati? Iman kita, ya iman kita sendiri, benarkah itu sebuah kepastian hidup? Tidakkah bahwa keraguan sesekali menerpa keyakinan kita? Bersalahkah kita pada kehidupan yang telah kita jalani selama ini? Siapa yang tahu? Dia? Anda? Aku? Manusia, ah manusia memang sungguh mahluk yang amat tersembunyi. Terkadang kita ingin menangisi jiwa kita tanpa menyadari bahwa kekesalan kita telah menyembunyikan kekecewaan kita terhadap hidup yang sedang kita jalani saat ini.

Maka saat aku berdiri di depan jenasah Mas Gun, setelah pergulatan panjang dan lama menghadapi deraan penyakit lever yang menerpanya, aku pun terkenang pada senyumnya. Terkenang pada gaya berbicara dan juga pada kebisuannya. Terkenang pada segala derita dan rasa pedihnya dalam hidup yang telah dijalaninya di dunia. Kini, berakhirlah semua itu. Dia telah kembali kepada Sang Penciptanya dengan satu pertanyaan yang tak mungkin lagi dijawabnya. Dan juga, tak mungkin pula kujawab. Hidup, yang telah dan sedang dijalani ini, benarkah adalah hidup yang sebenarnya? Kenyataan, saat ini, sekarang, sungguhkah adalah kebenaran yang pasti? Bagaimana mungkin kita dapat mengetahui itu sebelum kita, kelak, sama seperti yang sedang dan telah dialami oleh Mas Gun saat ini, kita hadapi sendiri.

Dalam keheningan doa singkat, aku hanya berharap semoga segala hal yang telah dijalaninya dapat menjadi patok-patok yang berguna bagi kehidupan kita yang hanya secuil noktah kecil dalam perjalanan panjang sang waktu semesta. Kita, sebagai insan yang masih hidup, berpikir dan berperasaan, selayaknya menyadari bahwa takkan ada kebenaran yang pasti kita temukan sebeluym waktunya tiba. Sebelum waktu kita tiba. Dan mudah-mudahan kita tak terlambat untuk menyadari kenyataan itu. Ya, semoga kita tak alpa menyadari kenyataan itu. Kebenaran memang tak pasti dalam hidup. Maka kita bisa tersenyum atau malah tertawa, dengan hati pedih, jiwa yang ingin menjerit karena duka, sebab kita adalah mahluk yang amat tersembunyi. Sungguh tersembunyi.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...