05 April 2008

ESOK ADALAH HARI LAIN

Sepi belum berlalu. Dan siang yang terasa panjang menyelimuti rumah yang amat sederhana ini. Aku duduk di depan jenasah seorang ibu yang nampak ringkih, tak berdaging dan seakan tenggelam dalam peti coklat dan terbungkus oleh tikar plastik berwarna pink gelap. Dekat kepala jenasah, sang suami duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk. Wajahnya kusut. Dua orang anak mereka, yang tertua, seorang gadis cilik berusia 11 tahun sedang mengendong sang putra bungsu berusia 6 tahun, berdiri di belakang ayah mereka. Dalam ruang tamu yang sempit tempat jenasah disemayamkan, hanya ada dua orang lain selain aku. Seorang wanita muda, adik dari almarhumah dan ayah sang suami, mertua almarhumah. Bunyi kipas angin menderu-deru seakan berupaya untuk mengusir kepengapan ruang ini, sebuah upaya yang nampak sia-sia. Nampak sia-sia.

Berapa lamakah waktu lewat melintas? Setahun? Dua? Aku tidak ingat lagi. Pada saat pertama kali menemukan keluarga ini dan bertemu dengan ibu ini, dia masih nampak segar walau tubuhnya memang sudah mengurus, berbeda jauh dibanding dengan foto pernikahan yang tergantung pada dinding tembok rumah mereka yang sebagian dipenuhi lumut hijau akibat ditembusi air saat musim hujan tiba. Dari informasi yang kami terima, ibu ini menderita kanker kandungan dan tidak mampu lagi untuk berobat. Suaminya, yang hanya bekerja sebagai satpam di sebuah perumahan, berpenghasilan amat kecil, bahkan untuk menyekolahkan anaknya. Anak sulungnya, saat itu, tidak lagi bersekolah di sebuah SDN karena sebagian penghasilan keluarga itu habis tersedot untuk membiayai pengobatan ibunya. Dan mulai saat itu, kami terlibat dalam membantu mereka, dengan setiap bulan memberikan dana sekedarnya untuk biaya pengobatan sang ibu.

Berapa lamakah waktu lewat sejak saat itu? Kukira tidak terlalu lama. Dengan biaya sekedarnya, ibu itu bertahan melawan penyakit yang mendera tubuhnya. Hanya sekali dia opname di RS, namun karena keterbatasan biaya, akhirnya dia hanya sanggup untuk berobat. Dalam bulan-bulan terakhir, dia malah memutuskan untuk menghentikan segala upaya pengobatan yang harus ditempuhnya. "Tidak usah, Ton" katanya, "Saya hanya menghabiskan biaya saja yang bisa berguna buat anakku. Jadi biarkan mereka hidup lebih nyaman. Aku tak mau mengurbankan mereka, sekolah mereka dan masa depan mereka hanya demi diriku ini. Sudahlah nasibku harus mengalami semua ini..."

Waktu? Nasib? Hidup? Bagaimanakah kita harus menghadapinya? Saat kita menyadari betapa kecilnya kemampuan kita untuk bertahan. Saat kita sadari keterbatasan yang demikian mutlak mengungkung kita? Saat kita paham bahwa bukan kita sendirian saja yang harus hidup dan menderita di dunia ini. Ah, tangisi apa yang harus ditangisi, tetapi jangan mengutuk dia. Hari ini adalah milikmu, hari esok siapa yang bisa memastikannya? "Kadang aku tak tahu apa gunanya hidup ini. Kadang aku tak mengerti mengapa aku harus hidup. Jika Tuhan membuatku ada di dunia ini, mungkin untuk inilah aku ada...." katanya lagi. Hatiku menjadi beku. Untuk apakah kita ada di dunia ini, sekarang dan saat ini? Untuk apakah kita bertekun dalam kerja dan pengharapan, jika kita tahu esok adalah hari lain, dimana kita tak akan hadir lagi. "Tetapi saya tetap berharap bahwa anak-anakku bisa hidup jauh lebih baik dariku. Maka jika saat ini aku sadar bahwa aku tak mampu mengobati diriku lagi, aku berharap, ya amat berharap pada masa depan anak-anakku. Saya kira jelas juga, untuk itulah aku ada. Untuk menghadirkan mereka di dunia ini...."

Sayup-sayup terdengar deru sirene mobil jenasah yang tiba. Dan beberapa kaum kerabat masuk ke dalam ruang sempit ini. Doa-doa telah diucapkan. Ucapan-ucapan belasungkawa telah diucapkan. Sebuah ritus telah berjalan. Maka beramai-ramai kemudian, peti itu ditutup. Suara palu yang memukul paku penutupnya menggedor-gedor udara. Menggedor-gedor ruang sempit ini. Menggedor-gedor hati kami. Sesaat kemudian semuanya menjadi sepi. Peti telah tertutup rapat. Riwayat telah terkunci dalam masa lalu. Lalu bersama-sama, orang menggotong peti itu dalam sunyi. Dan duka yang menggantung di udara. Namun sepi belum berlalu. Dan mungkin takkan berlalu. Ya, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari ini. Sebab esok adalah hari lain lagi. Hari lain.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...