20 April 2008

LUCUNYA KITA

Buat Muhamad Istiadi,SH

Negara ini lucu. Orang-orang bodoh bukannya diberdayakan dengan mengajari mereka dengan pengetahuan yang benar, tetapi malah diperdaya dan kebodohan mereka dimanfaatkan demi kepentingan orang-orang yang pintar atau yang merasa diri mereka pintar. Orang-orang yang miskin, bukannya dituntun agar mampu berdiri sendiri menghidupi hidup mereka tetapi malah digusur dan dihukum sebagai kriminal. Mungkin karena kita memandang dan hanya memandang bahwa pemilik "kebenaran" itu adalah mereka-mereka yang punya "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" tanpa perlu memiliki pikiran. Maka di negara ini, orang-orang pintar bukannya mereka yang mampu berpikir dan memahami, tetapi mereka yang mampu mengontrol, menguasai dan memanfaatkan situasi yang menguntungkan posisi diri dan kelompok mereka saja yang pantas disebut orang-orang pintar.

Situasi ini sungguh memprihatinkan. Kebenaran dibolak-balik. Mereka-mereka yang sungguh-sungguh pandai dalam mendalami dan menganalisa situasi dan kondisi, dan karena itu sering menyuarakan suara-suara kritis, malah dianggap sebagai beban dan karena itu sering disingkirkan. Sebaliknya, mereka-mereka yang dengan mudahnya memanfaatkan keadaan, dan karena itu berhasil memiliki "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" dianggap sebagai sang tokoh, dan bahkan saat terbukti bersalah pun, mereka tetap dielu-elukan. Hebat. Ironis. Tak heran bahwa, negara kita gagal untuk keluar dari segala krisis, bencana dan musibah alam. Bukan karena bencana dan musibah itu terjadi karena alam murka, tetapi lebih sering karena kita, ya kitalah yang menciptakan musibah itu sendiri. Alam tidak marah dan tak pernah marah. Alam hanya mengikuti apa yang telah kita lakukan pada fisiknya. Sama alaminya seperti saat kita sakit akibat kebiasaan buruk yang kita buat sendiri terhadap tubuh fisik kita. Kita pun ikut lucu bersamanya.

Maka kita semua kini menjadi pelawak yang paling lucu di dunia. Kita menikmati apa yang kita tahu tidak benar. Kita melakukan apa yang kita semua sadar bahwa itu suatu kesalahan. Kita tertawa bersama-sama dalam kesedihan dan kedukaan kita. Kita terjebak dalam pola pikir yang melumpuhkan diri kita sendiri. Kita melakukan pembohongan sebagai suatu pembenaran yang layak dan pantas kita lakukan. Dan bukankah kita menebang semua pepohonan hutan yang rimbun, dan saat musibah datang secara beruntun, dengan mudahnya kita lalu mempersalahkan alam yang telah menimbulkan musibah atas diri kita? Dan jika kita tertangkap tangan melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri walau merugikan negara, toh itupun adalah suatu urusan bisnis belaka? Berkuasalah 'kebenaran' pincang yang hanya ditentukan oleh segelintir oknum yang kebetulan memiliki "kekuasaan-kekuatan-kekayaan" walau entah bagaimana tiga hal itu dapat dimilikinya. Percayalah, bahwa ternyata kita tak pernah percaya lagi.

Dapatkah kita menemukan jalan keluar dari segala kelucuan kita itu? Dapatkah kita mengubah sikap kita yang sebagai pelawak di atas panggung tanpa penonton? Dapatkah kita mengubah diri kita semua? Dapatkah? Entahlah. Dalam dramanya yang ironis, "Wanita Baik Hati Dari SiChuan", Bertolt Brecht hanya dapat berseru: "Dapatkah orang diubah? Dapatkah dunia diperbaharui?" Dan pertanyaan yang sama mungkin perlu kita pikirkan bersama-sama. Ya, bersama-sama.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...