19 April 2008

KEBIJAKSANAAN SEORANG PENARIK BECAK

"Barangkali bukan ideologi yang menciptakan seorang teroris. Ya, bukan ideologi yang membuat seseorang menjadi teroris dan kriminal. Tetapi kemiskinan, dendam dan sakit hati akibat ketidak-adilan. Rasa benci dan marah akibat hak-hak yang ditindas." Kata-kata yang diucapkan dengan tegas oleh seorang penarik becak itu sungguh mengejutkanku. Betapa tidak? Pak Hasan, penarik becak itu, katanya hanya lulusan SD dan tidak sempat menyelesaikan kelas 2 SMP hanya karena ibunya tidak lagi mampu membiayai sekolahnya setelah kematian ayahnya, juga penarik becak, akibat sakit.

"Aku mewariskan pekerjaan ini dari ayahku. Dan ayahku menerimanya dari kakekku. Demikianlah, turun temurun kami menekuni pekerjaan ini. Setiap hari, saat panas terik dan hujan deras, kami mengayuh pedal untuk mencari makan. Kata orang, hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Namun, hidup keluarga kami bukan seperti itu. Kami selalu di bawah, bagaimana pun usaha kami untuk menghidupi hidup, kami selalu gagal untuk naik....."

Aku pernah membaca sebuah artikel, bahwa kemiskinan terjadi akibat kebodohan, kemalasan dan sikap pasrah menerima nasib. Betulkah itu? Setiap hari, aku melihat Pak Hasan mengayuh becaknya. Keringat nampak bercucuran pada tubuhnya. Dia memiliki 2 orang anak, semua putri, dan istrinya saat ini sedang mengandung anaknya yang ke tiga. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya hanya dengan penghasilan sebagai penarik becak. Mungkin karena itulah dia terus mengejar harap untuk mendapatkan seorang putra. Yang kelak bisa mewariskan pekerjaannya, dan merawatnya kelak bila dia sudah tak mampu lagi mengayuh. Dan setahuku, anak tertuanya, yang seharusnya sudah memasuki usia sekolah, kira-kira berusia 11 tahun, tidak disekolahkannya. Putri tertuanya itu bekerja sebagai pencuci baju di beberapa keluarga di kompleks ini. Pada setiap rumah, dia menerima upah Rp. 30.000 per bulan. Setiap pagi dia mengunjungi rumah demi rumah untuk bekerja. Tidak jarang, selain mencuci baju, dia juga harus menyapu dan mengepel lantai. Ah, hidup memang keras.

Dan di saat semua harga melonjak, dan sulit di dapat, istrinya hampir setiap hari nampak berdiri pada antrean panjang untuk membeli satu dua liter minyak tanah. Kadang-kadang bahkan putri keduanyalah yang ditugaskan untuk mengantri. Padahal usia anak itu belum lagi 7 tahun. Dengan tangannya yang mungil, dia nampak lucu memegang wadah plastik tempat minyak tanahnya. Beberapa ibu-ibu yang ikut mengantri nampak memandang si kecil dengan rasa iba. Namun, mungkin saking gemasnya karena melihat wajahnya yang imut, sering mencubit pipinya sambil bercanda. Gadis cilik itu hanya memandang mereka dengan matanya yang indah.

Ya, bukan ideologi yang membuat seseorang menjadi keras. Bukan. Tetapi penderitaan, rasa tak berdaya dan keterasingan di dunia yang nampak demikian tak peduli ini. Setiap pagi, saat aku bangun, mengambil koran pagi dan duduk di halaman depan rumahku sambil membacanya dengan ditemani segelas kopi, berita-berita kemiskinan, ketidak-adilan dan ketidak-jujuran selalu bersahabat dengan berita tentang kekerasan, korupsi dan ketidak-setiaan manusia. Ya, aku, kau, mereka, kita semua adalah mahluk yang sama-sama berbagi kehidupan di dunia yang fana ini. Namun ada yang beruntung memiliki keberuntungan, ada yang mencoba meraih keberuntungan dengan cara apa saja tetapi jauh, ya jauh lebih banyak insan-insan lemah yang tidak diberitakan, terkapar dalam kepasrahan menerima nasib dan berupaya berjuang untuk tetap hidup. Ah, hidup memang keras, temanku. Hidup itu sungguh keras. Jadi berpikirlah dahulu sebelum kau merasa gagal dan putus asa. Kau tidak sendirian. Tidak sendirian.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...