16 April 2008

ANAK-ANAK POLESAN

Di atas panggung yang cukup luas itu. Di bawah pancaran kelap-kelip cahaya spot-light. Dikelilingi oleh asap buatan yang berasal dari tepi panggung. Enam orang gadis cilik menari dengan wajah yang semarak. Dengan pemerah pipi dan pupur tebal pada wajah mereka. Dengan blus berwarna kuning terang dan rok putih yang amat minim. "..I wanna dance with somebody, I wanna dance with somebody who love me...." Hentakan musik dan getaran bass dari speaker yang terletak tepat di sisiku memukul-mukuk detak jantungku. Tidak, aku bukan menikmati suatu pertunjukan balet atau pameran disainer baju terkenal. Tetapi aku sedang menghadiri sebuah acara pernikahan putri seorang temanku.

Dengan terpana, aku menyaksikan gerakan-gerakan gadis-gadis cilik itu yang seakan menjalani kehidupan modern saat ini. Kehidupan, dimana segala hal seakan-akan ingin dipercepat. Dimana segala hal tidak lagi mementingkan pada proses alami yang harus dijalani tahap demi tahap, namun lebih tertuju pada hasil yang cepat dan segera. Kehidupan dipaksa untuk menjadi instan. Menjadi modern berarti kita ingin melupakan makna keberadaan kita di dunia ini sebagai suatu perjalanan dalam waktu. Menjadi modern berarti kita mau dan memaksakan waktu untuk mengikuti diri dan kehendak kita. Hidup kita paksa untuk menjadi lebih singkat. Menjadi lebih mudah bagaikan menekan tombol-tombol pada remote control lalu segala yang kita ingini pun terlaksanalah.

Ironinya, kian kita menginginkan segala hal bisa menjadi jauh lebih ringkas, cepat dan mudah, semakin kita kehilangan waktu untuk menikmati kehidupan ini. Demikianlah, anak-anak pun kita paksa untuk segera menjadi dewasa. Dengan memoles mereka, bukan dalam keindahan dan kegembiraan gerak seorang anak yang lincah dalam permainan mereka, tetapi dengan menggambarkan kegenitan dan sensualitas orang dewasa. Kita ingin anak-anak kita menikmati kehidupan kita, dan bukannya kita yang menikmati kehidupan mereka. Kita alpa bahwa anak-anak memiliki sudut pandang yang tersendiri dan unik dalam memandang dan menikmati kehidupan ini. Maka kita pun memoles anak-anak kita sendiri agar dapat menyerupai potret kita. Dan anak-anak yang lugu itupun meninggalkan kegembiraan mereka dan memasuki dunia kita, dunia yang kering dengan segala topeng-topeng kedewasaan kita. Topeng-topeng yang, kita sadari atau tidak, sering dipenuhi kemunafikan.

Sayangnya, kita tidak, atau jarang menyadari hal itu. Kita akan merasa bangga jika anak-anak kita dapat serupa dengan segala keinginan dan ambisi kita. Kita memaksa mereka. Kita memoles mereka. Maka seringkali anak-anak merasa tak dimengerti oleh kita. Kehidupan, bagi mereka, menjadi kering dan keras. Mereka mulai kehilangan identitas sendiri. Mereka mulai menjiplat identitas kita. Tetapi pernahkah kita sadari bagaimana identitas kita sendiri? Bagaimanakah kehidupan dan tingkah laku kita sendiri? Hidup kita, bersama ambisi dan hasrat kita, adalah topeng-topeng yang menyembunyikan perasaan kita. Telah lama kita meninggalkan masa kanak-kanak kita sehingga kita telah melupakan apa yang kita pikirkan dan hanya mengenang apa yang kita alami dulu dan yang ingin kita ubah sekarang. Demikianlah, anak-anak itupun kita beri pupur tebal sehingga keceriaan mereka tertutup oleh segala ambisi dan keinginan kita. Kita merubah paras mereka sesuai dengan paras kita. Sayang.

Di atas panggung yang mewah itu, ke enam gadis cilik itu bergoyang mengikuti irama lagu. Sambil menggeol-geolkan pinggul mereka. Dalam cahaya yang temaram, karena sebagian besar lampu di ruangan pesta itu dipadamkan kecuali pendaran-pendaran cahaya di panggung, tiba-tiba aku merasa seakan menonton pertunjukan di sebuah klub malam saja. "...I wanna dance with somebody. I wanna dance with somebody who love me..." Nyanyian dari Whitney Houston itu terus menghentak dadaku. Ah, tidakkah mereka terlalu cepat untuk menjadi dewasa? Tidakkah itu?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...