04 April 2008

SEBUAH SIANG DI PASAR TRADISIONAL

Siang dengan udara yang panas menyengat. Debu mengepul dari jalan yang amat ramai. Puluhan kendaraan berseliweran. Klakson menderu-deru. Dan seorang gadis kecil, yang sedang berdiri di atas trotoar yang disesaki pedagang kaki lima, nampak bersenandung. Entah lagu apa, aku tidak tahu, tetapi gadis itu bersenandung dengan rian, sambil menadahkan sebuah kaleng susu kental manis. Manusia lalu lalang tanpa seorang pun yang nampak memperhatiakn gadis cilik itu. Di sudut lain, tak berapa jauh dari gadis itu, tiga-empat orang remaja putra berdiri di tengah jalan sambil mengetuk aneka jenis kaleng dengan nada gembreng. Tiba-tiba aku merasa hidup mengeras di sini.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan kemasyarakatan kita? Mengapa anak-anak seusia mereka, yang seharusnya saat ini sedang duduk belajar di sekolah, harus luntang-lantung untuk menghidupi hidup? Dimanakah para orangtua? Dimanakah mereka yang harus mengasuh dan merawat mereka? Bahkan, dimanakah kita? Di sudut dunia yang sedemikian terik dan melelahkan ini, tiba-tiba aku merasa tak berdaya menghadapi wajah-wajah cilik itu. Tuhan, mengapakah mereka mesti hadir hanya untuk tersia-sia begitu? Atau adakah sesuatu makna dalam keberadaan mereka demi Engkau? Apakah itu?

Hidup, sedemikian banyak menyembunyikan pertanyaan yang tak mampu kujawab. Dan setiap kali aku menggugat, setiap kali pula aku harus menyadari betapa sedikitnya kemampuanku untuk memahami dan mempercayai makna kehidupan ini. Semakin dalam aku mencari arti saat menyaksikan penderitaan orang-orang lain, saat menemukan kebenaran-kebenaran yang tidak benar, saat mendapati rasa keadilan yang kian tak adil, semakin dalam pula rasa ketak-berdayaanku dalam menerima kenyataan hidup ini. Dan semakin tak puas pula aku pada jawaban-jawaban yang seringkali terdengar indah namun tanpa arti apa-apa. Ya, kata-kata yang seringkali nampak bagaikan topeng yang menyembunyikan kepahitan hidup di balik istilah-istilah indah dalam khotbah-khotbah yang panjang.

Namun, inilah kenyataan itu sendiri. Aku lewat dalam kemacetan panjang di jalan yang sempit pada area suatu pasar tradisional, dan dengan matahari yang sedemikian menyengat di atas kepalaku, dan debu serta asap polusi yang tipis menutup jejalan kendaraan dan manusia-manusia yang sedang berjalan hilir mudik tanpa tahu akan dan menuju kemana : seorang gadis cilik dengan baju yang lusuh, sedang bersenandung.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...