25 November 2009

CUKUP SUDAH

Seberapa banyakkah nilai cukup itu bagi kita? Mengapa kita tak pernah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan? Dengan apa yang kita miliki saat ini? Mengapa kita ingin selalu lebih dan lebih lagi? Mengapa kita senang membandingkan kehidupan kita dengan orang-orang lain yang kita anggap jauh lebih berhasil dari kita? Apakah kita memang harus mengejar keinginan kita dengan tanpa batas? Dengan tanpa kepuasan? Dimanakah ujung dari semua hasrat dan ambisi kita? Kita ingin tiba di puncak, tetapi dimanakah puncak itu? Dan jika kita ternyata gagal meraih segala ambisi, segala keinginan, segala hasrat dan nafsu kita, mengapa kita harus kecewa, sakit hati atau putus asa? Mengapa kita tak pernah merasa puas dan cukup dengan apa yang kita punyai sekarang?

Sebagai seorang pengusaha, dia sukses. Dengan kehidupan yang glamor, dengan harta yang berlimpah, dengan segala materi yang siap untuk dia pergunakan semau dia. Keberhasilan yang tidak mudah dicapai oleh orang lain. Nilai pemasukan yang melimpah, seharusnya membuat dia mampu menikmati hidupnya. Dengan keluarga yang nampak harmonis, istri yang menawan, anak-anak yang manis, rumah yang mewah, tak terhitung kendaraan serta segala sesuatu siap tersedia baginya. Namun, ada yang kurang. Tetap ada yang terasa kurang.

"Sesungguhnya aku harus puas dengan hidupku ini. Sayangnya, aku merasa tak memiliki waktu. Semua telah tersita untuk kerja, untuk menambah dan terus memperbanyak milikku. Memang, aku harus jujur, bahwa aku menikmati kesibukan itu. Aku senang jika berhasil memperoleh kontrak. Aku gembira jika telah mengalahkan orang lain dalam persaingan dagang. Aku ingin memiliki segalanya. Segalanya. Tetapi mengapa, jika saat-saat sendirian, aku merasa diriku hampa? Aku memang berhasil dalam bisnis, tetapi mengapa aku merasa gagal dalam hidup? Mengapa aku merasa tak pernah dipahami, tak pernah tersentuh bahkan seakan tak memiliki apa-apa sama sekali?"

"Di kantor, aku raja. Aku penguasa. Dengan materi, aku dapat menyelesaikan apa saja. Apa saja. Tetapi kok aku selalu merasa ditinggalkan? Aku selalu merasa bahwa orang-orangku selalu memandangku dengan rasa takut daripada hormat. Semua orang selalu berpikir bahwa mereka memahami dan mengerti diriku. Tetapi nyatanya, dalam banyak hal, aku hanya melihat orang-orang yang senang mengambil muka, senang melakukan apa saja bagiku, tak berani membantah kata-kataku. Namun mengapa aku sering merasa kecewa? Sering merasa tak dihargai? Dilecehkan? Sering berpikir dalam hatiku bahwa mereka hanya memandang materi yang kuberikan daripada memahami diriku sebagai manusia"

"Di rumah, situasinya pun mirip. Aku merasa ditinggalkan seorang diri. Ataukah mungkin karena kesibukanku, sehingga aku selalu tak punya waktu untuk berkumpul bersama dengan istriku? Dengan anak-anakku? Bagiku, waktu itu amat berharga. Waktu itu adalah uang. Waktu itu berarti kesempatan untuk memenangkan tender, kesempatan untuk membuat kalkulasi untung rugi, menyusun perencanaan demi keberhasilan yang lebih baik bagi keluargaku sendiri. Lebih makmur. Lebih mampu untuk membiayai apapun yang mereka inginkan. Apapun yang mereka harapkan. Tetapi saat aku berada di rumah, ya rumahku sendiri, aku hanya menemui ruang keluarga yang kosong. Semua ternyata punya kesibukan sendiri-sendiri. Semua ternyata menikmati waktunya sendiri-sendiri. Dengan materi yang melimpah, aku merasa tak mampu membeli waktu mereka sedetik pun. Dengan materi yang selalu tersedia, mereka mampu menikmati hidup mereka tanpa sadar betapa mereka kian terasing dari diriku sendiri. Apa yang salah? Salahkah aku? Salahkah mereka? Salahkah pilihan hidup yang telah kuambil ini? Betapa ironisnya, hidup yang kunikmati ini ternyata merampas waktuku dan telah mengkhianati kehidupanku. Kehidupanku sendiri"

Seberapa banyakkah nilai cukup itu bagi kita? Demikianlah aku memikirkan pertanyaan itu, saat membaca berita koran di suatu pagi yang cerah. "Seorang pengusaha ternama digerebek di rumahnya karena memakai narkoba". Dan saat melihat fotonya yang tertunduk lesu sambil mengikuti polisi yang menangkapnya, aku mencoba untuk memahami apa yang tersimpan dalam pikirannya. Ada rasa hampa, rasa ditinggalkan, rasa sepi, rasa malu tetapi tak mampu berbuat apa-apa lagi. Manusia, ah manusia, mengapa kita tak pernah merasa cukup dalam menikmati hidup ini? Dimanakah ujung dari suatu harapan yang ingin kita raih? Maukah kita menyadari keberadaan kita sekarang? Siapakah kita sesungguhnya? Sampai dimanakah ujung dari kepuasan kita terhadap hidup ini? Sampai dimanakah? Dapatkah kita menjawabnya? Dapatkah?

Tonny Sutedja

24 November 2009

2012

Beberapa ahli astronomi telah menemukan planet berbatu di luar sistem tata surya kita, dengan kepadatan yang terbukti sama dengan Bumi, demikian laporan studi oleh satu tim Eropa. Planet itu, yang dikenal sebagai COROT-7b, ditemukan pada Februari tahun ini oleh teleskop antariksa Eropa, COROT, yang telah melacak bintang tersebut yang diputarinya. Planet itu berjarak sekitar 500 tahun cahaya dari Bumi di dalam gugus bintang Monoceros, Unicorn. (KOMPAS, Jumat 18 September 2009)

Benarkah bahwa pada tanggal 21 Desember 2012, dunia ini akan mengalami bencana dashyat seperti yang digambarkan dalam film yang sensasional, 2012? Film yang dibuka dengan panorama indah planet biru, planet bumi kita ini, kemudian disusul dengan kabar yang datang dari jauh di pusat bumi, tentang perubahan sifat magma di inti bumi yang lalu menimbulkan kehancuran bumi sehingga upaya-upaya penyelamatan dilakukan, bahkan dengan cara mengurbankan orang lain. Ditulis berdasarkan periode akhir waktu suku Maya di Amerika, film ini telah menjadi suatu film yang amat laris dan menimbulkan banyak pro kontra. Padahal, menurutku, fim ini tak lebih dari sebuah film rekaan bencana dengan tehnik grafis yang piawai.

Kiamat. Satu kata itu dapat membuat kita menjadi khawatir. Atau merenungkan keberadaan kita sekarang. Tetapi sesungguhnya, bagaimana kita dapat menggambarkan suatu masa depan berdasarkan suatu analisa tehnologi yang dibuat sesuai tahapan logika cara berpikir manusia? Pandanglah ke langit malam dan saksikan betapa banyaknya, tak terkira banyaknya, gemerlapan cahaya bintang-bintang yang nampak demikian indah memenuhi layar hitam angkasa. Dan pikirkanlah keberadaan kita saat ini, apa yang kita lihat adalah cahaya kerlap-kerlip pada saat sekarang. Tetapi sadarkah kita, bahwa kita tak pernah, tak akan pernah mengetahui bagaimana keadaan sesungguhnya dari bintang itu sendiri di masa kini. Apa yang kita saksikan hanyalah masa lalu dari bintang tersebut. Masa lalu yang jauh. Cahaya bergerak dengan kecepatan 299.792.458 Meter per detik, dan apa yang kita saksikan adalah keberadaan cahaya dari, mungkin puluhan-ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu dari bintang tersebut. Hanya jauh di masa lalu sang bintang yang dapat kita saksikan saat sekarang. Bayangkanlah jaraknya dengan keberadaan kita sekarang ini.

Dan sebaliknya, apa yang saat ini bisa disaksikan mengenai bumi kita di ujung terjauh dari bintang dan planet adalah masa lampau bumi ini. Masa puluhan, ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu, sesuai dengan pergerakan kecepatan cahaya yang mencapai ke sana. Maka bagaimana dapat kita meramal sebuah masa depan tanpa unsur rekaan semata? Kita disini, sekarang, saat ini, hidup bersama mimpi dan harapan kita. Kita ada dan bergulat dengan diri dan pikiran kita sendiri. Dan semesta ini ada, justru karena kita ada. Jika kita sendiri tak ada, apakah semesta ini juga ada, bagi kita? Lalu, pantaskah kita merasa takut dan khawatir pada keberadaan masa depan yang – entah akan kiamat atau tidak – hanya tergantung pada keberadaan kita semata? Ya, dunia semesta yang sungguh-sungguh hanya tergantung pada kita saja.

Mungkin bukan kiamat yang mengkhawatirkan. Atau bahkan pasti bukan kiamat yang menakutkan kita. Tetapi kemungkinan bahwa kita akan menjadi tidak ada, kemungkinan kita lenyap dalam kegelapan dan ketak-sadaran abadi. Kita khawatir hilang. Di titik inilah, aku melihat mengapa film yang menggambarkan kiamat di tahun 2012 itu lalu menjadi heboh. Padahal, siapakah kita selain dari sebutir noktah kecil, amat teramat kecil di luasnya semesta dunia ini. Dengan jarak yang mencapai ribuan atau malah puluh hingga ratus-ribuan cahaya hingga ke tak terbatas, apakah artinya raga yang hanya sesosok ini? Kemaha-rayaan semesta dibandingkan kemikro-minian kita. Tetapi sadarkah kita bahwa, walau kita ini hanya mahluk yang demikian kecil dan tak berarti, sesungguhnya semua berpusat dalam pemikiran kita yang maha raksasa. Sekali lagi, alam raya ini ada karena kita ada. Tanpa kita, semuanya akan menjadi nihil. Tak ada sama sekali.

Maka dibalik kehebohan film 2012 itu, kita sebaiknya merenungkan kembali keberadaan hidup ini. Untuk apa kita ada disini? Apa untuk menjadi khawatir, atau sebab satu rencana lain yang maha besar, suatu rencana luar biasa dari Sang Maha Pencipta kita yang telah memberikan kesempatan bagi kita untuk hidup? Bukankah kita tak selayaknya khawatir? Bukankah yang harus kita lakukan adalah bagaimana untuk mempergunakan kesempatan yang telah diberikan kepada kita, sekaligus untuk berbuat sesuatu yang berguna buat kehidupan semesta luas ini? Bukan rasa takut dan khawatir, tetapi rasa syukur dan puas atas segala apa yang saat ini kita miliki. Sambil terus mengembangkan daya pikir dan tenaga kita demi memperbaiki hari ini untuk menuju kesempurnaan di masa depan. Masa depan kita akan tiba bukan dengan ketakutan, tetapi dengan kegembiraan dan kebahagiaan bagi seluruh semesta. Bagi kita. Semua.

Tonny Sutedja

23 November 2009

PAGI

Aku ingin menulis

Dengan hati

Yang tersobek

Kata


 

Aku ingin bertutur

Tentang rasa

Yang menjelang

Harap


 

Fajar telah tiba

Bersama kata

Bersama harap

Yang mengalir


 

Luka mengatup

Dibalut cahaya


 

Ada lagu buatmu

Ada lagu buatku

Ada lagu

Buat kita semua


 

Suara air mengalir

Suara angin mendesir

Tertulis dalam sajak

Yang akan kututurkan


 

Diam

Pergi

Dalam

Sunyi


 

Surya terbit

Langit biru

Mega berarak

Cerah


 

Pagiku tiba dengan kata

Pagiku tiba dalam harap


 

Jangan takut

Katanya

Bahkan kelam pun

Hanya sesaat


 

Lalu cahaya tiba

Membawa harap


 

Aku ingin menulis

Tentang hidup

Aku ingin bertutur

Tentang kita


 

Di kesunyian fajar

Pagi menanti

Dan ayam berkokok

Sahutnya:


 

Tunggu aku

Dalam cahaya


 

Tonny Sutedja

PERTANYAAN-PERTANYAAN HIDUP

Kehidupan ini kita lalui dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang sering tak memiliki jawaban. Mengapa kita harus ada? Mengapa kita ada di sini, dan bukan di sana? Mengapa kita harus melakukan ini dan bukan itu? Mengapa kita harus mengalami kejadian ini dan bukan itu? Mengapa kita hanya memiliki ini dan bukan itu? Seringkali kita memimpikan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang kita sadari, jauh dari kenyataan yang ada sekarang. Dan mimpi-mimpi kita lalu berkembang menjadi kekecewaan, sakit hati, cemburu dan kemarahan. Pemikiran ini demikian mengganggu kehidupan kita, membuat hati kita menjadi rusuh, membuat jiwa kita menjadi guncang, dan menjadikan sikap kita menjadi goyah. Dan siap membuat kita berbuat apa saja, ya apa saja, demi untuk mencapai apa yang kita hasratkan. Siapakah kita?

Apakah memang kita harus menjadikan hidup kita sama dengan yang kita inginkan? Apakah memang kita wajib untuk mewujudkan segala sesuatu yang kita hasratkan? Apakah memang kita mesti menjawab segala pertanyaan dalam hidup kita? Jika demikian, betapa peliknya hidup yang kita jalani ini. Betapa sulitnya. Sebab hidup selalu mempunyai pertanyaan-pertanyaan yang mengusik keberadaan kita sekarang, saat ini. Tetapi sering tanpa kita sadari, hidup berjalan terus, dengan atau tanpa pertanyaan kita, hidup melaju ke depan bersama sang waktu. Dan jika kita hanya berpatokan pada segala hasrat dan ambisi kita, yang kita temukan sering hanya kekesalan dan kekecewaan. Sakit hati dan putus asa. Dan kita hanya sanggup berdiri sendirian, berdiri tanpa bergerak, ditinggalkan oleh perubahan yang terus menerus berlangsung.

Memang, kita selalu membutuhkan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk menuntun arah kita ke tujuan yang kita inginkan. Tetapi sejarah mengajarkan, bahwa tak hanya ada satu jalan menuju titik yang kita inginkan. Banyak jalan ke Roma, kata sebuah pepatah lama. Dan jika kita hanya berdiri tertegun di jalan yang ternyata buntu, tanpa mampu untuk berbalik arah mencari jalan lain yang ada, kita tak akan mampu menerobos dan memecahkan kesulitan kita saat ini. Nyatanya, hidup selalu harus kita jalani dengan kesiapan untuk menerima perubahan. Dan terkadang, berbalik mundur bukan berarti kegagalan, namun menjadi suatu upaya lain untuk mencari kebenaran yang kita inginkan. Apa sebabnya kita jarang mau untuk berputar arah, tetapi lebih menyukai berdiri di depan kebuntuan ini sambil terus menerus menyesalinya?

Kehidupan selalu memiliki banyak pertanyaan. Namun tak ada jawaban yang abadi di dunia ini. Jawaban yang kita temukan hanya berupa kebenaran sesaat yang sesuai dengan waktu yang kita miliki. Maka yang dapat kita lakukan hanyalah dengan bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan kepada kita untuk hidup. Untuk ada. Disini. Sekarang. Bersyukurlah untuk segala apa yang telah kita miliki. Bersyukurlah karena kita berada di sini. Bersyukurlah karena kita mampu melakukan apa yang ingin kita lakukan. Bersyukurlah atas segala sesuatu yang kita alami. Baik atau buruk, itu urusan Sang Pemilik Kehidupan. Kita tak pantas mempertanyakan kehendak-Nya. Kita hanya pantas untuk melakukan, untuk berbuat, untuk meraih segala apa yang ada, yang sesuai dengan kemampuan kita. Sesuai dengan talenta kita. Sesuai dengan keputusan kita. Yang kelak akan kita pertanggung-jawabkan kepada-Nya. Jadi mengapa kita harus kecewa, sakit hati lalu menjadi apatis dan putus asa? Jalani hidupmu saat ini dengan tanpa kekhawatiran. Tanpa ketakutan. Tanpa kekesalan dan kekecewaan. Apa pun yang kita alami, jalanilah dengan tulus. Terimalah dengan tabah. Dan serahkanlah pertanggung-jawabanmu kelak kepada Sang Pencipta, bukan kepada dunia. Bukan kepada dunia ini. Mari tersenyum bersamaku. Mari.

Tonny Sutedja

21 November 2009

HUJAN DI AKHIR KEMARAU

Tetes-tetes hujan ini akhirnya tiba juga. Setelah kemarau yang panjang dengan udara yang panas menyengat. Tetes-tetes hujan ini menyegarkan bumi yang tadinya gersang dan berdebu. Tanaman pun bersorak riang. Lihat, dedaunan yang meliuk riang, bergoyang diterpa angin dan air. Dan dua ekor kucing kecil, nampak melompati genangan air yang perlahan mulai memenuhi jalan. Mendung tebal menutupi langit. Dan tetes-tetes hujan kian menderas membasahi bumi. Kemarau telah berlalu....

Siapakah kita? Berada dimanakah kita? Apakah yang sedang kita alami? Dalam suka. Dalam duka. Semuanya akan terjadi. Dan mungkin telah terjadi. Tanpa kita mampu untuk mencegahnya. Tanpa kita mampu untuk menghalaunya. Kita, dengan segala kekuatan dan kelemahan kita, terkadang hanya sanggup menerima kepahitan yang melanda dengan cepat dan tak terkira. Kita, hidup bersama resiko atas segala kenyataan, baik kita sadari maupun tidak, terkadang tanpa mampu untuk berbuat apapun untuk menghindarinya. Untuk menolaknya.

Tetes-tetes hujan ini akhirnya tiba juga. Tetesan air yang membawa kesegaran baru dalam kehidupan kita. Segalanya tak ada yang abadi. Segalanya akan berubah. Dan kemarau pun usai dengan satu siraman hujan yang demikian deras membasahi bumi. Segala keluh kesah kita, segala rasa sesal dan kekecewaan kita, masihkah kita kenang saat ini? Saat semuanya telah berlalu, dan musim baru pun telah tiba? Tetes air, deru angin, liukan ranting, bumi yang basah, kucing yang mengeong, ah.... Bersyukurlah atas segala sesuatu. Nikmatilah segala sesuatu. Tersenyumlah pada segala sesuatu. Dan dunia akan bergembira untuk kita. Dunia yang ceria dan segar. Dunia yang selalu memberi.

Hidup kita terkadang sulit. Hidup kita terkadang tak tertahankan. Hidup kita yang tak jarang ingin kita akhiri begitu saja. Tetapi, musim akan berganti. Kemarau akan berlalu. Lihat, kecap dan nikmatilah, bukan hanya dalam apa yang kita pikirkan, tetapi juga dan terutama dalam apa yang bisa kita serap dalam jiwa kita. Maka sungguh indah kehidupan ini. Jauh diluar dari persoalan-persoalan pribadi kita, jauh diluar dari tumpukan kekecewaan dan kesepian kita, kita ada dan hidup. Kita bernyanyi untuk dunia. Walau terkadang lagu kita sedih. Keindahan justru tersembunyi dalam segala hal yang dapat kita rasakan dan alami. Waktu lewat dan musim berganti. Mengapa kita perlu ragu?

Tetes-tetes hujan ini akhirnya tiba juga. Dan bumi yang tadinya kering kerontang, kini basah menyegarkan. Kita hidup dengan dan bersama perubahan-perubahan. Kita hidup dalam rangkaian sang waktu yang senantiasa mengubah dirinya. Siapakah kita yang demikian menganggap segala kesusahan akan tetap? Dimanakah kita yang mengira bahwa kita tak mampu lagi kemana-mana? Apakah kita yang selalu mengira bahwa hanya kita, hanya diri kita saja, yang mengalami kepedihan yang teramat sangat? Tengoklah tanah yang basah dan tumbuhan yang kini mulai hidup oleh anugerah tetes-tetes air yang turun dari atas. Sebab demi kitalah segala anugerah itu dipersembahkan. Demi kitalah semuanya.

Memang, kadang kita sulit untuk memahami mengapa. Memang, kadang kita tak mengerti mengapa harus kita. Tetapi hidup adalah hidup yang harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Hidup adalah hidup yang perlu dinikmati dengan rasa syukur. Suka dan duka adalah bunga-bunga kesempatan yang diciptakan agar kita mampu memahami untuk apa kita ada. Untuk mampu menyadari bahwa kita ternyata ada. Dan kita bukan sebongkah benda yang statis, yang tak berubah, yang tak bergerak. Sebab kitalah kehidupan itu sendiri. Kitalah sang hidup. Tanpa kita, hidup tak ada. Tak pernah akan ada. Maka jangan takut menghadapi kesedihan dan kesepian kita. Jangan takut menerima kekecewaan dan duka lara kita. Hari lain akan tiba, besok. Saat lain akan datang, besok. Dan musim akan segera berganti. Musim segera berganti.....

Tonny Sutedja

SAAT JOGGING MENJELANG FAJAR

Suasana masih gelap. Aku sedang berada di antara puluhan orang yang memenuhi sepanjang jalan ini sambil berlari-lari kecil. Kesegaran udara menjelang fajar ini memasuki dadaku dengan rasa dingin yang lembut. Deretan ruko yang berjejer, pantulan lampu di jalan yang basah karena hujan semalam, beberapa pepohonan yang daunnya nampak rimbun seakan mengucapkan salam kepadaku, kepada kami yang berada dan melintas di samping mereka, kepada alam yang bersiap menyambut pagi. Satu dua orang nampak berhenti di tepi jalan, sambil melakukan gerak badan sederhana. Hidup dimulai kembali setelah lelap sepanjang malam.

Di depanku, sepasang remaja sedang berjalan dengan santai, sambil bertutur kata. Dan di emperan toko yang masih tertutup rapat, beberapa gerobak penjual makanan kecil nampak dalam cahaya yang masih samar-samar. Beberapa anak-anak kulihat berlarian di depan orang tua mereka yang berteriak memanggil. Ah, suasana yang sungguh menyenangkan. Dunia seakan muncul tanpa beban di pagi menjelang fajar yang menyegarkan hati ini. Tetapi bukankah hidup memang harus demikian? Bukankah tiap insan, tiap kehidupan memiliki rasa gundah dan kekhawatirannya sendiri. Dan tak seorang pun dapat menolaknya. Jadi mengapa kita harus terbebani dengan perasaan tersebut terus menerus? Hidup berjalan, dan kita tahu itu, dengan atau tanpa kita, maka untuk apa terus menerus menenggelamkan diri dalam ketakutan dan kekhawatiran kita? Bukankah kita hidup untuk dinikmati dan bukan untuk disesali dan dikhawatirkan? Penyesalan dan kekhawatiran kita toh sering tak ada gunanya jika kenyataan memang harus terjadi demikian.

Langit perlahan mulai memancarkan cahayanya yang indah. Dan warna kesuraman yang tadinya nampak di sekelilingku, kini mulai terusir oleh terang yang tiba perlahan. Ah, tak ada gelap yang abadi. Tak ada penderitaan yang tak berakhir. Pada saatnya nanti, semuanya bisa berubah. Semuanya akan berubah. Dan memang demikian adanya. Segala keputus-asaan dan kekecewaan kita dalam menghadapi situasi yang demikian membelit kita sekarang, akan usai juga. Siapakah yang dapat mengatakan suatu kepastian tentang hari esok? Bisakah kita mengatakan bahwa duka lara kita tak berujung? Siapa yang tahu? Siapa yang bisa tahu.

Dengan kesegaran yang memenuhi dadaku, aku berlari kecil menyusuri sepanjang jalan raya ini, bersama puluhan manusia lain sambil menikmati panorama yang membentang di hadapan kami. Senang atau susah, gembira atau sedih, hidup akan berjalan terus. Dan bukankah di antara kegembiraan dan kesedihan kita, alam tetap menampilkan keindahan yang sama untuk dinikmati? Kita telah diberi anugerah untuk hidup, kita telah diberi kesempatan untuk menikmatinya, jangan sia-siakan itu. Malam telah usai. Pagi telah tiba. Dan cahayanya yang indah memenuhi langit yang biru. Langit yang amat biru.

Tonny Sutedja

PAGAR

Aku berdiri di depan rumah ini setelah sekian lama tak berkunjung. Sambil memencet bel yang ada di sisi kiri pintu besar ini, aku melihat ke pagar tembok yang mengelilinginya. Pandanganku tak mampu untuk melihat ke dalam, tak mampu untuk mengetahui apakah rumah ini berpenghuni atau sedang kosong. Yang ada hanya tembok putih setinggi kurang lebih dua setengah meter. Dan nampaknya baru dibangun. Seingatku, terakhir aku datang ke rumah sahabatku ini, pagar tembok ini belum ada. Pagar yang dulu hanya setinggi setengah meter dan terbuat dari jejeran bambu, resik dan lapang. Dengan leluasa aku bisa melihat ke dalam rumah yang indah itu. Tetapi kini, segalanya telah tertutup, kehidupan di baliknya seakan tenggelam dalam benteng yang kokoh. Tersembunyi jauh dari kehidupan luar.

Pagar. Betapa bedanya. Aku melihat banyak perubahan yang melanda kehidupan kita saat ini. Rumah dan bangunan baru didirikan dengan pagar yang kokoh, tinggi dan tak tembus pandang. Dan kita hidup seakan ingin menjauh dari lingkungan luar. Ini menandakan suatu rasa takut, rasa khawatir sekaligus suatu sikap tidak mau peduli dan tidak mau terlibat pada apa yang sedang terjadi di luar kehidupan kita. Tembok-tembok tebal kita dirikan untuk mengurung diri kita, hidup kita. Membatasi kebebasan kita demi kenyamanan dan keamanan pribadi. Demi agar tidak terusik oleh kenyataan yang terjadi di luar kehidupan kita. Demi agar tidak ada yang bisa mencampuri kepentingan dan kegiatan pribadi kita. Dan aku pikir, inilah kenyataan dunia modern ini.

Kita ingin hidup di dalam zona keamanan kita, sekaligus menghindari keterlibatan dengan lingkungan luar. Kita mengucilkan diri dari lingkungan kehidupan sekitar agar kepentingan kita tak terusik. Agar kenyataan di luar tak memasuki kita. Tetapi sungguhkah tembok pagar yang tinggi, tebal dan tak tembus pandang itu lalu mampu menjadi pelindung kita? Tidakkah jika sesuatu terjadi di dalam kehidupan kita, terjadi di balik tembok privasi kita, kita lalu menjadi tak terlindung sama sekali? Karena tak seorang pun mampu untuk melihat ke dalam. Tak seorang pun sanggup mengetahui apa yang sedang kita alami. Karena kita tersembunyi di balik pandangan orang-orang lain. Kita mengucilkan diri, sekaligus terkucil. Kita sendirian dan hanya sendirian menghadapi kehidupan ini. Tak heran jika kita lalu merasa kesepian. Merasa sangat kesepian.

Pagar. Dengan renungan inilah aku memandang tembok tebal dan tinggi yang mengelilingi rumah sahabatku ini. Memandang ke pagar-pagar yang tak tembus pandang di rumah-rumah lain dalam kompleks perumahan ini. Sungguh, keakraban terasa makin menjauh di tengah gembar gembor kita tentang dunia yang kian tak berbatas. Dan lihatlah di kafe dan tempat sosialisasi lainnya. Para sahabat, para kumpulan sahabat, berkumpul bukan untuk saling bertukar kata dan berbagi rasa, tetapi masing-masing tenggelam dalam keasyikan mereka di depan laptop. Keakraban tidak lagi terjadi di dunia nyata. Keakraban terjadi di dunia maya. Hanya di dunia maya. Dimana kepentingan kita, diri kita, hidup kita tak bisa tersentuh secara langsung dan pribadi. Kemoderenan hanya berarti bahwa kita makin melarikan diri dari kenyataan dan lebih menyukai bersembunyi di dunia maya. Kita tak ingin diusik. Dan karena itu, kesedihan dan dukalara kita hanya kita yang tahu. Kita sendiri. Kita sendirian.

Aku memencet bel pintu gerbang yang besar dan tebal ini. Tetapi tak seorang pun datang membukakan pintu bagiku. Entah, mereka tak mendengarnya akibat keasyikan dengan diri mereka, entah memang tak ada orang yang sedang menghuni rumah di balik tembok pagar tebal ini. Aku tak tahu. Aku tak mampu untuk melihat ke dalam. Yang ada hanya tembok bisu di hadapanku. Dan tentu saja, aku tak bisa berbicara dengannya. Apa yang terjadi di dalam, apa yang sedang mereka alami, apa yang terjadi di luar, apa yang sedang kualami, semuanya berbatas jelas sekarang. Berbatas jelas. Sebuah dinding tebal mengelilingi kami. Sebuah pagar. Pagar yang tak tembus pandang.

Tonny Sutedja

16 November 2009

HARAPAN DALAM CAHAYA

Ada yang datang, ada yang pergi. Demikian adanya hidup ini. Segala sesuatu berubah. Dan tak ada yang kekal selain perubahan itu sendiri. Kita lahir, hidup dan berkembang, lalu menua dan pada akhirnya akan lenyap kembali. Dari detik ke menit. Dari menit ke jam. Dari jam ke hari. Dari hari ke minggu. Dari minggu ke bulan dan tahun. Waktu akan menembus batas-batas yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan punya daya apakah kita selain dari menerima perubahan itu dengan sepantasnya? Bahkan jika pun kita menyayangkan perubahan yang terjadi, sanggupkah kita menghentikan jalannya peristiwa?

Kita hadir dengan harapan. Harapan terhadap perubahan. Harapan akan perubahan. Terkadang kita mampu untuk merubah apa yang terasa mandek dan beku. Terkadang kita menjadi bagian dari kemandekan dan kebekuan itu. Kita hidup bersama pilihan-pilihan yang harus kita putuskan sendiri. Apa pun yang kita perbuat, bertahan, menyendiri dan menghindar, atau ikut arus perubahan itu, kita selalu punya kesempatan untuk berkembang. Kita selalu mampu untuk berbuat sesuatu, jika kita mau dan tak tinggal pasrah saja menerima kehidupan saat ini.

Kita lahir bersama harapan. Dan itulah esensi kehidupan kita. Tak seorang pun yang dapat mengatakan bahwa dia tak punya harapan. Tak seorang pun. Sebab harapan selalu ada. Hanya sering kita tak memperhatikannya. Karena kita hanya terpaku pada diri kita. Terpaku pada apa yang ada dan kita miliki sekarang. Terpaku pada apa yang sedang kita alami saat ini saja. Tetapi lihatlah keluar. Sungguh indah dunia yang membentang di hadapan kita. Kesederhanaan yang sering tak kita perhatikan. Sementara pikiran kita bergolak dalam kerumitan yang sering hanya ada dalam keraguan kita terhadapnya, hidup menyajikan keindahannya sendiri secara pasti dan tak pernah bosan menganugerahkannya kepada kita. Kita semua.

Matahari fajar yang memberikan cahayanya kepada bumi, seakan membelai kehidupan ini. Warna jingga yang memantul pada lautan awan yang berarak. Sayup-sayup seakan muncul dari balik ufuk yang kelam, mengusir kegelapan malam secara pasti dan tak terkalahkan. Demikian pula kita. Sesungguhnya hidup kita adalah cahaya bagi kehidupan yang luas, cahaya bagi sesama, cahaya bagi dunia. Dan kita mampu membagikannya kepada siapa saja jika kita mau. Dan pada kemauan kitalah semua makna berada. Apakah kita mau untuk mengubah diri? Apakah kita rela untuk meninggalkan sudut sempit kepentingan kita? Apakah kita berani untuk melepaskan rasa nyaman dan nikmat yang kita alami sekarang? Apakah kita mampu teguh berjuang melepaskan belenggu kesedihan dan dukacita kita? Apakah kita sungguh berupaya untuk melupakan kekelaman masa lalu kita dan memberikan cahaya baru bagi kehidupan ini?

Siapakah kita, selain dari insan yang selalu memiliki harapan? Kita selalu berguna bagi sesama dan dunia. Dan memang, kita lahir untuk berguna, bukan menjadi beban tetapi menjadi berkah bagi semesta alam. Kita ada dan telah ada. Keberadaan kita bukan semata terletak dalam pikiran kita sendiri, tetapi juga, dan terutama pada pikiran sesama dan dunia. Jadilah cahaya. Jadilah terang yang membawa harapan. Kita adalah cahaya yang selalu memiliki harapan dalam hidup. Dan tak seorang pun yang mampu memadamkan cahaya itu, selain dari perasaan kita saja. Perasaan kita saja.

Ada yang datang, ada yang pergi. Kehidupan ini tak pernah abadi. Demikian pula kerumitan, kesedihan, kesendirian, kesepian, kemiskinan, noda, aib, keputus-asaan dan kehilangan yang kita rasakan sekarang. Semua akan berubah. Dan semua akan indah pada waktunya. Jika saja kita mau mengubah diri. Jika saja kita pantang untuk menyerah kalah. Matahari fajar baru saja terbit. Dengan sukarela dia memberikan cahayanya kepada dunia. Dengan riang dia mengatakan kepada kita semua. Bahwa harapan selalu ada. Bahwa perubahan selalu terjadi. Hidup ini adalah suatu mujizat. Dan kita hadir untuk menyentuhnya. Menyentuhnya. Tersenyumlah bersama dia.....

Tonny Sutedja

14 November 2009

MENJELANG MIMPI

Menjelang mimpi

Ada kelam

Tanpa kata

Tanpa gerak

Menjelang mimpi

Adakah kau disini?


 

Menyapa hati

Dalam diam

Perlahan mencari

Suatu makna

Saat pasang

Mulai menyurut


 

Dimanakah kita?


 

Tak terhambur

Kata mengalun

Tak terurai

Diam menyapa

Menjelang mimpi

Kita beku


 

Sosok-sosok ini

Mencari mimpi

Saat malam

Jadi hening

Dan cinta

Mulai mengembun


 

Kemanakah kita?


 

Lestari damai

Dalam jiwa

Menguap kata

Dalam sepi

Pergi susuri

Lorong waktu


 

Bertahun lewat

Bertahun jelang

Kita hadapi

Sambil senyum

Kita hanya

Sambil lalu


 

Bumi diam

Mulut kelu

Hati suka

Jiwa seru

Hanya kita

Hanya kita


 

Menjelang mimpi

Kita di sini

Menjelang mimpi

Kita ke sana

Langkah

Demi

Langkah

Kitalah insan

Pembuat mimpi

Jadi nyata


 

Menjelang mimpi

Kita tahu

Ada kelam

Dalam diam

Semata karena

Sebentar lagi

Mimpi terurai

Jadi hidup

Dan kelam

Jadi terang

Dan diam

Jadi sorak


 

Engkau

Aku

Kita

Menembus cahaya


 

Pagi telah tiba


 

Tonny Sutedja

MENJADI BARU

Mengapakah sering kesalahan, kecerobohan, kegagalan dan bahkan ketidak-tahuan sedemikian mengusik dan mengganggu hidup dan pikiran kita? Mengapa kita demikian sulit untuk lupa, untuk meninggalkan aib dan keperihan kita? Mengapa kita tak mampu untuk melaju ke depan tanpa diusik dengan apa yang telah terjadi sebelumnya? Mengapa kita tak bisa melupakan masa lalu? Tetapi dapatkah kita melupakan masa lalu? Dapatkah kita berubah menjadi seseorang yang baru sama sekali, dan meninggalkan semua yang telah terjadi dalam lupa? Ya, terkadang kita ingin berubah, kita ingin menjadi sosok yang berbeda, yang sama sekali baru. Dapatkah? Dan haruskah?

Langit malam yang memerah pertanda hari akan hujan. Tetapi jika kita saksikan langit malam menjadi merah, toh kita tahu, bahwa terkadang hujan tidak turun juga. Kegagalan, kecerobohan dan kealpaan sering menjadi batu sandungan kita menuju hari esok. Namun betapa banyaknya pelajaran yang kita terima, yang membuktikan bahwa kegagalan, kesalahan dan kecerobohan itu bukan berarti kita telah gagal dalam hidup. Bahkan, seringkali menjadi pelajaran yang baik untuk mencegah kegagalan yang sama di masa depan. Hidup memang begitu. Tak seorang pun, ya tak seorang pun, yang dapat membanggakan diri bahwa dia tak pernah merasa gagal, terkadang bahkan merasa putus asa dan merana berkepanjangan sebelum mampu untuk bangkit kembali dengan keberhasilan mereka.

Menjadi baru bukan berarti bahwa ada yang harus dilupakan. Menjadi baru berarti bahwa kita harus mengingat kesalahan kita tanpa rasa gamang, tanpa rasa putus asa dan pasrah menerima kehidupan yang sulit ini. Menjadi baru berarti kita harus belajar untuk berubah, dengan tidak mengulangi kesalahan, kecerobohan dan kegagalan yang sama. Menjadi baru tidak harus kita mesti mampu melupakan aib dan keperihan kita, tetapi bagaimana kita mengubah aib dan rasa nyeri kita sedemikian rupa sehingga kelak kita menuai keberhasilan dan kegembiraan yang kita harapkan seperti semula.

Hidup berkembang dari waktu ke waktu. Berjalan dari detik ke detik, menuju menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun yang terus melaju. Kita jangan terpaku di tempat yang sama, karena waktu tak pernah menunggu kita. Kita jangan menjadikan kegagalan, aib dan noda kita sebagai alasan sehingga kita menjadi tak berdaya, pasrah dan putus asa sehingga gagal mengikuti perjalanan waktu dan hidup ini. Kita manusia yang diberikan kekuatan akal dan intuisi oleh Sang Pencipta untuk dipergunakan, bukan untuk dipendam sehingga menjadi sia tak berguna. Hidup ini suatu perjuangan. Hidup ini memang suatu perjuangan. Kita berjuang untuk hidup. Sering terasa keras dan menyakitkan. Sering bahkan tak tertahankan. Namun, siapa yang mampu luput dari perasaan demikian? Siapa?

Toh, kita telah diberikan kemampuan untuk berpikir. Kemampuan untuk memilih. Kemampuan untuk mempertimbangkan pilihan-pilihan kita. Kita bukan benda mati yang hanya mampu untuk pasrah menerima keberadaannya tanpa mampu berbuat apa-apa. Kita bisa dan dapat mengubah hidup kita jika kita mau. Jika kita mau. Maka segala perubahan yang kita harapkan, segala pembaruan yang kita idamkan, hanya dapat kita laksanakan jika kita mau. Kita semua sanggup untuk berubah, tetapi itu jika kita memang mau untuk berubah. Apa yang telah terjadi sebelumnya, segala noda, aib dan kegagalan kita kita tinggalkan bukan dalam lupa, tetapi justru dengan mengingatnya sehingga kita tak mengulangi kegagalan yang sama di saat-saat ini sehingga hari esok dapat menjadi baik. Jauh lebih baik dari saat ini. Mampukah kita melakukan yang demikian? Mampukah kita?

Maka sekali lagi, perlukah kita melupakan masa lalu? Atau haruskah kita mengenang masa lalu selalu dengan perasaan perih, sakit hati, jengkel sehingga membuat kita merasa putus asa menghadapi hari ini? Saat ini? Jika itu yang kita lakukan, lalu dimanakah anugerah Sang Pencipta yang telah memberikan kita tenaga, nalar dan kesempatan terus menerus bagi kita semua? Hidup adalah pilihan. Dan sungguh ada banyak pilihan yang terbentang di depan kita. Sayang, seringkali kita hanya terpaku di depan pilihan yang gagal kita raih sambil membelakangi masa depan sehingga kita tak mampu melihat kesempatan lain yang terbuka, banyak kesempatan lain, karena kita selalu menghadap ke masa lalu.

Menjadi barulah kita mulai saat ini, hari ini, detik ini. Menjadi baru dan berbalik dengan membelakangi masa lalu. Dan menghadapi dengan berani dan pantang menyerah kehidupan kita sekarang, saat ini. Kita tidak perlu melupakan masa lalu. Kita justru belajar dari masa lalu. Dengan demikian kita berharap, hari esok kita dapat menjadi baik, jauh lebih baik dari hari ini. Sebab, bukankah hidup sendiri merupakan sebuah proses pembelajaran yang amat menarik, walau terkadang teramat sulit dan dipenuhi onak duri? Jalan tak pernah lurus dan datar. Jika itu yang terjadi, percayalah, kita dapat menjadi bosan dan enggan untuk menikmatinya lagi. Namun, hidup itu indah justru karena dipenuhi tantangan yang setiap saat berbeda sehingga menarik untuk dihadapi. Mari menjadi manusia yang baru dan menjadikan kesalahan yang telah terjadi sebagai bahan dasarnya....

Tonny Sutedja

13 November 2009

AIMAS

Buat Anton Widjaja

Selepas dari rimbunan pepohonan rimba yang mengapit di kiri kanan jalan, terbukalah hamparan tanah luas yang kering dengan beberapa bangunan berdiri tegak, terpisah jauh satu sama lain. Lalu muncul deretan ruko di depan satu lapangan sepakbola. Aimas. Sebuah kota baru yang masih teramat lapang di Papua Barat dan berjarak kurang lebih 20 km dari kota Sorong. Aku memandang dengan takjub hasil karya perjuangan manusia untuk menghidupi hidup, untuk mengubah daratan yang liar dan rimbun menjadi pemukiman bagi kehidupannya. Sementara siang hari itu terasa amat terik. Amat terik.

Jalan yang lebar namun lengang membentang di depan. Sungguh terasa menyenangkan, jauh dari kesempitan dan kemacetan yang setiap saat kusaksikan dan kualami di kota-kota besar lain di negeri ini. Kami kemudian mampir di sebuah ruko kecil di antara deretan ruko yang nampaknya belum terlalu lama dibangun. Di depannya, berdirilah sang pemilik toko, seorang pria kecil berwajah riang dan ramah, menyambut dan menyapa kami. Belum terlalu lama pria itu menetap di sini, demi hidup, demi sebuah harapan masa depannya.

Sambil memandang pria itu, aku merenungkan betapa kekuatan hidup selalu memberikan kesempatan bagi kita, sebagai manusia yang memiliki daya dan akal, untuk berkembang. Untuk berupaya berjuang demi kehidupan itu sendiri. Aku memandang sekeliling kota kecil ini, memandang deretan toko-toko yang berdiri berdampingan, sambil memikirkan orang-orang yang berdiam di dalamnya. Mereka, para pionir, manusia yang berani untuk memasuki tanah asing, sering bahkan tanpa sanak kenalan seorang pun, demi untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Demi untuk meraih kesempatan yang telah dianugerahkan bumi untuk dikelola dan dikembangkan.

Di sini, di Aimas, aku tiba-tiba teringat kepada orang-orang yang putus asa karena tak mampu mengubah nasib. Di sini, di Aimas, aku berpikir, apakah memang nasib tak bisa dirubah? Ataukah kita hanya sering terpaku di depan kegagalan kita tanpa mau menengok kesempatan lain yang ada di sekeliling kita? Kita mengeluh, kecewa dan merasa pasrah karena merasa tak sanggup untuk berubah, bukan karena kita tak mampu mengubah nasib kita tetapi lebih sering kita tak mau meninggalkan kehidupan kita yang sekarang untuk memasuki suatu dunia yang kehidupan yang asing, sulit dan terasa tak pasti sehingga menakutkan.

Di tengah teriknya matahari siang, aku memasuki toko kecil milik pria itu sambil memandang benda-benda yang dipajang. Alat-alat listrik, bahan bangunan, mantel hujan, ah bukankah benda yang sama ini juga dengan mudah kutemukan di kotaku, juga kota asal pria itu. Benda yang sama di lokasi yang berbeda. Manusia yang sama di daerah yang berbeda. Terpisahkan jarak ribuan kilometer, melintasi lautan dan jejeran kepulauan, hidup nyatanya berjalan seperti biasa. Namun diperlukan suatu keberanian untuk mengambil keputusan, mempergunakan kesempatan yang lain, mengubah kehidupan ini menjadi seperti apa yang kita harapkan.

Maka saat meninggalkan pria itu dalam keterasingannya, jauh dari kota asal, demi untuk meraih harapan baru, aku tiba-tiba merasa betapa kuatnya hidup ini memanggil kita semua untuk tak mudah takluk. Untuk tak mudah menyerah. Sebab, bukan karena keluh kesah terhadap apa yang sedang kita hadapi tetapi karena kemauan kita sendiri yang mampu mengubah diri kita. Ya, kita sendiri yang harus berupaya untuk mengubah nasib. Kesempatan selalu ada, jalan selalu terbuka, tetapi adakah keberanian kita untuk mengubahnya? Maukah kita meninggalkan kebiasaan kita? Mampukah kita melepaskan keterikatan kita terhadap situasi kita sekarang? Hidup memang menantang, dan tugas kitalah untuk menghadapinya. Tugas kita semua.

Tonny Sutedja

12 November 2009

DILEMA HIDUP

"Bagaimana aku tidak jengkel" kata pria itu. "Letih setelah pulang dari kerja, setelah menghadapi tekanan di kantor, bukan hanya karena tumpukan persoalan namun juga akibat tekanan dari pimpinan dan teman sekerja, setelah menembus kemacetan lalu lintas yang menjengkelkan dan setelah sepanjang hari bergulat dengan berbagai macam masalah yang tak diketahuinya, kembali aku mesti mendengarkan celotehan dan keluhan yang bukan urusanku dan bukan karena aku...."

"Ah, dia tidak memahami aku" kata wanita itu. "Seharian aku mesti menghadapi berbagai macam rutinitas rumah tangga, anak-anak yang bandel, pembantu yang bodoh, tetangga yang usil tanpa tahu harus mengadu kemana. Maka kepada siapa lagi aku mengeluh selain kepada suamiku sendiri? Seharian aku harus berdiam diri, sabar menerima semuanya, padahal hati ini seakan mau meledak karena bosan dan jengkel. Tapi dia tak mau peduli. Dia tak mau mendengarkan kesulitanku...."

Seberapa seringkah kita mengalami hal yang demikian dalam kehidupan berumah tangga kita? Konflik terjadi, bukan karena ada persoalan, tetapi hanya karena kekurang-pahaman satu sama lain. Demikianlah, aku teringat hal itu, saat seorang teman yang saat sedang melakukan chat tiba-tiba harus melayani seorang pembeli. "Pembeli yang bawel" katanya kemudian kepada teman mengobrolnya itu. Betulkah pembeli itu bawel? Bagaimana jika dia yang menjadi pembeli? Dan tidakkah, jika dalam situasi yang lain, saat dia hanya duduk menunggu dan tak melakukan apapun, pembeli yang sama datang untuk membeli. Apakah pembeli tersebut tetap dianggapnya bawel? Atau dia malah merasa senang karena ada yang dia layani?

Maka demikian pula kehidupan kita ini. Banyak masalah yang terjadi, yang kita anggap akibat orang lain, sesungguhnya justru karena suasana hati kita sendiri saat itu. Memang, jauh lebih mudah untuk menyalahkan orang lain. Jauh lebih mudah untuk menganggap persoalan terjadi karena orang lain. Tetapi bila kita mampu untuk berpikir kembali, apa yang terjadi sesungguhnya karena kondisi kita sendiri yang membuat masalah terjadi. Dan dari persoalan yang sederhana, dari masalah yang sama sekali tidak terkait langsung dengan diri suami istri tadi, pertengkaran terjadi. Dari ketidak-sabaran teman yang sedang asyik ngobrol untuk melanjutkan perbincangannya, sang pembeli itupun menjadi sasaran omelannya.

Hidup memang penuh dilema. Dilema karena, kita senatiasa hanya melihat satu kejadian dari anggapan kita saja yang belum tentu sama dengan anggapan orang lain. Memang tidak mudah untuk melihat satu persoalan dari dua sisi, dari dua sudut pandang yang berbeda, terutama jika kita sendiri yang mengalaminya. Ada perasaan yang dominan bermain sehingga menutupi pikiran jernih kita. Tetapi percayalah, jika kita bersedia untuk mundur sejenak, meninjau kondisi dan situasi kita saat itu, mungkin kita bisa mencegah banyak persoalan yang seharusnya memang tidak terjadi. Seharusnya tidak terjadi.

Tonny Sutedja

11 November 2009

SIAPAKAH KAU?

Untuk Agatha Apriliani


 

Siapakah kau yang mengetuk di malam tanpa bintang?

Siapakah kau yang berkidung di saat tanpa nada?

Siapakah kau yang berbincang di waktu tanpa kata?


 

Lihat, lihatlah seberkas cahaya

Saat senja tiba dan kau datang

Menyalakan pelita di gelap malam


 

Dengar, dengarlah lirih nyanyian angin

Saat fajar menyingsing dan kau hadir

Bersama aroma kembang dibasahi embun


 

Langkah yang berbunyi lembut atas rerumputan hijau

Memantulkan gema di dinding bukit jauh di sana

Sebagaimana kata terbang terbawa angin ke ujung bumi


 

Hanya sesaat kau bernaung

Hanya sesaat kau bertutur

Dan meminta harap di langit diam


 

Sebuah ketukan

Sebuah kidung

Sebuah cakap


 

Pintu terbuka di pondok hati

Menguak mimpi dari bumi

Lalu mengunci dalam hati


 

Siapakah kau yang mengetuk di malam tanpa bintang?

Siapakah kau yang berkidung di saat tanpa nada?

Siapakah kau yang berbincang di waktu tanpa kata?


 

Hanya langkah sepi

Hanya langkah sepi

Dan suara tanpa kata


 

Hidup hanya sepenggal mimpi

Dalam angan. Dalam tidur.

Yang sejenak. Hanya sejenak.


 

: Melintas menembus waktu


 

Tonny Sutedja

MAAF

Maaf, maafkan aku karena telah bersedih

Karena telah tak menyapa cahaya matahari

Dan terutama karena selama ini percaya

Bahwa begitu banyak orang yang sepertimu

(CAHAYA MALAM – Anna Akhmatova)

Wajahnya tertunduk lesu. Dia berdiri di samping peti jenasah dengan beku. Dengan perasaan yang terguncang dan hancur. Dengan nyeri yang menikam di hatinya. Dengan rasa sesal yang dalam. Inilah jasad yang pernah disayanginya. Yang pernah menjadi harapan hidupnya. Tetapi betapa cepatnya waktu berlalu. Waktu yang terasa panjang namun hanya singkat ini. Dan dalam kehidupan yang lewat, dia sadar bahwa ada banyak hal yang tak terucapkan dengan kata-kata. Tak terucapkan namun amat senantiasa mengusik dirinya.

Apa yang telah lewat, kini menjadi kenangan. Apa yang telah terjadi, kini menjadi batu sandungan. Dalam segala kejadian yang lampau, yang tak mungkin diulang kembali, kesadaran selalu datang terlambat. Selalu terlambat. Dan saat akhir tiba, saat itu pula penyesalan menyerbu bagai bah. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa banyak kemungkinan yang bisa terjadi, dan kini telah terjadi, tak mampu dipertimbangkannya? Siapakah dia dulu? Siapakah dia sekarang? Haruskah emosi menguasai segala pertimbangan hidup ini? Tidakkah dia dapat memikirkan dengan lebih jernih dan tenang sebelum semuanya terlambat? Gagal. Ya, dia merasa telah gagal menjalani hidup ini. Perasaan yang amat lambat tiba. Amat lambat....

Kenangan berputar dengan cepat. Kenangan saat mereka mulai membangun relasi. Saat gelak tawa dan kegembiraan meliputi mereka. Saat hidup punya kemungkinan-kemungkinan yang teramat indah. Mereka memasuki bahtera pernikahan tiga tahun yang lalu dengan perasaan penuh harapan. Penuh cahaya. Penuh cinta. Namun kenyataan menguak kebersamaan mereka. Betapa jauhnya perbedaan membelah. Betapa kepentingan yang saling bertolak belakang kemudian menjadi onak dan melukai jiwa yang enggan untuk mengalah satu sama lain. Lalu, apa yang dulu menjadi harapan awal, pecah menjadi rasa kemarahan dan kekecewaan yang terus menerus menggumpal dan sesekali meledak tanpa mampu mereka cegah. Dan kebersamaan yang dulu mereka harapkan menjadi surga di dunia, terluka dengan cepat. Sakit hati, dendam, perasaan tak dipedulikan dan tak dipahami, rasa sepi dan putus asa memasuki dunia mereka. Kenyataan memang tak pernah seindah dongeng-dongeng yang pernah diharapkannya......

Wajahnya tertunduk lesu. Ada sedikit tetesan air mata di sudut matanya. Air mata, yang bahkan tak pernah dipikirkannya saat mereka masih mampu bercakap dulu. Apa yang salah dalam hidup ini? Apa yang salah? Barangkali, karena pengharapan yang terlalu besar satu sama lain. Barangkali, karena awal yang sangat bertoleransi dengan mengharapkan agar perubahan bisa terjadi jika mereka telah hidup bersama. Masa-masa pacaran, masa-masa dimana yang dia tahu hanya sebatas ruang tamu dan tampilan luar yang sangat menarik hati. Namun hidup bersama tidaklah sesempit itu. Ada banyak hal yang kemudian merusak harapan itu. Saat perubahan yang diharapkan satu sama lain ternyata gagal terlaksana. Saat ternyata, dia sendiri gagal merubah hidup dan kebiasaannya. Saat ternyata, toleransi hanya mampu dipikirkan tanpa mampu dilaksanakan. Mengubah hidup bukan hanya sekedar impian tetapi harus dilakukan. Dan itu tidak mudah. Tak pernah bisa menjadi mudah.

Dia terkenang saat-saat sulit yang telah terjadi, saat-saat tekanan menjadi depresi. Dan wanita ini, wanita yang pernah menjadi impian dan harapan hidupnya tiba-tiba terasa menjadi ganjalan dan gangguan terhadap kepentingan dirinya. Kehidupan yang sulit dan tak tertahankan. Dia merasa disepelekan. Dia merasa tak dipahami. Dia merasa tak diperlakukan dengan baik. Dia merasa tak dihormati. Dia merasa..... Dia? Haruskah selalu dia yang merasa? Bagaimana dengan perasaan wanita yang dulu teramat diimpikannya ini? Ya, bagaimana dengan perasaan wanita ini? Wanita yang jasadnya kini terbujur kaku di depannya dan siap menjalani prosesi akhir dimana mereka tak mungkin lagi akan bertemu dalam kehidupan nyata ini. Perpisahan yang abadi. Apakah kini dia merasa senang dan bebas? Inikah yang dia inginkan? Inikah?

Maaf. Maafkan aku, bisiknya dalam tangis yang tak terucapkan jauh di dalam lubuk sanubarinya. Betapa salahnya aku menilai hidup ini. Betapa hanya kepentingan diriku yang selalu kutonjolkan. Aku. Aku. Dan hanya aku. Seberapa seringkah aku memikirkanmu? Seberapa kerapkah aku menyepelekanmu? Dan bahkan menganggap bahwa ada banyak, ya ada banyak wanita lain yang sama atau bahkan jauh lebih baik dari kau? Suatu anggapan yang salah. Kau, ya hanya kau satu-satunya di dunia ini. Kau, ya hanya kau satu-satunya dirimu sendiri. Dan aku sadar kini, tak ada lagi yang mampu menggantikanmu. Tak ada. Maaf. Maafkan aku.....

Dengan perasaan pahit, dia memeluk jenasah istrinya. Dengan perasaan hancur, dia menyesali segala apa yang telah terjadi. Namun segalanya telah terlambat kini. Ada hal-hal yang tak mungkin dirubah kembali. Ada hal-hal yang tak bisa dikembalikan seperti semula. Kesadaran seringkali terlambat tiba. Dan saat dia tiba bersama kenyataan yang menikam keras, dia tahu, bahwa semuanya telah terlambat. Semuanya telah terlambat. 'Maafkan aku.....' bisiknya parau. 'Maafkan aku....' Namun apakah artinya sekarang kata-kata itu? Apa gunanya bagi dia yang telah tenggelam dalam waktu? Berubahlah sebelum terlambat. Berubahlah sebelum akhir tiba......

Tonny Sutedja

09 November 2009

TEMBOK BERLIN KOTA SORONG

Cahaya senja menaburkan warna-warna jingga di langit, di antara awan hitam yang ber-arak di atas lautan luas, serta gelombang lunak yang memukul pantai. Dan di tepi tembok penahan gelombang duduklah berpasang-pasangan para remaja yang menatap jauh ke ufuk barat. Deretan penjual bakso, ikan bakar dan lainnya memenuhi sepanjang pesisir ini dengan semarak tenda yang beraneka warna. Petang tiba dalam riuh kendaraan yang melintas di jalanan. Dan seorang ibu nampak sedang menyuapi seorang anak lelaki kecilnya sambil berbisik entah apa. Demikianlah sore itu, aku berdiri menikmati panorama kehidupan petang kota Sorong.

Jauh di tengah samudra, membayang samar-samar pulau buaya dan beberapa pulau kecil lainnya. Inilah sepenggal kehidupan di antara keluasan alam raya. Dan betapa kecilnya aku, hanya sebutir debu yang tak berarti sama sekali di antaranya. Menengok sejarah yang telah berjalan teramat panjang, apalah artinya sepenggal riwayat yang kita susuri ini? Namun, disini, tepat di tepian tembok berlin kota Sorong ini, aku melihat panorama alam dengan diriku sendiri. Aku ada. Dan aku menikmati serta memikirkannya. Mungkin, dalam kesendirianku, aku terpesona memandang keindahan warna senja di langit yang mulai mengelam sambil merenungkan kekerdilan diri, namun tetap terasa bahwa aku memusat dalam keberadaanku saat ini.

Wanita yang tadi menyuapi anak lelaki itu, kulihat memandang anak tersebut sambil sesekali berseru jika melihat dia menggaruk tanah. Dan anak itu hanya mengangguk perlahan namun tak juga menghentikannya kegiatannya. Dia terus menggali, membentuk tumpukan tanah menjadi bentuk yang terasa asing bagiku, lalu meratakannya kembali. Wanita itu kemudian hanya menatap sambil sesekali melarang tetapi kata-katanya seakan bergaung di lirih di tengah keriuhan deru kendaraan. Wajahnya yang cukup cantik nampak tenang, namun raut-raut kerut kulihat memenuhi dahinya. Dan nampaknya wanita itu menyimpan suatu kegelisahan dalam pikirannya. Suatu kegelisahan yang tak terucapkan dengan kata-kata.

Jauh di tengah laut, sebuah biduk kecil nampak kesepian terombang-ambing gelombang. Beberapa ekor camar melayang lepas dan sesekali satu dua ekor nampak seakan mengambang di atas biduk itu. Dunia tenang, seakan mengambil istirahat setelah pergulatan dalam udara yang terik dan gerah sepanjang hari ini. Dan kota Sorong mulai berbenah menuju malam yang menjelang tiba. Aku menyerap suasana itu tanpa kata. Tanpa hasrat untuk berkata-kata. Dan memang, ada banyak hal dalam kehidupan yang kita jalani ini, takkan bisa dijelaskan hanya dengan kata. Ada banyak hal yang hanya bisa dijalani dan dialami. Serta diresapi. Keindahan, kesunyian, kerinduan, kelembutan selalu membawa rasa damai dalam hati walau hanya sekejap. Dan itu cukup sebagai pengimbang segala kesibukan kita sepanjang hari yang dilintasi.

Waktu adalah milik kita. Dan ketika kusadari itu, aku mengenang mereka-mereka yang selalu merasa kekurangan waktu. Bagi mereka, waktu tak pernah cukup. Waktu tak pernah cukup, bukan karena mereka tak punya waktu, namun karena merasa tak pernah cukup kesempatan untuk terus meraih kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang terus menerus membayangi kehidupan mereka. Waktu adalah milik kita. Kita bukan milik waktu. Sebagai pemilik, kitalah yang harus mengatur penggunaannya, dan bukan waktu yang mengatur kita. Sesekali, kita layak untuk berhenti. Layak untuk menikmati waktu yang kita miliki. Layak untuk melihat ke sekeliling kita. Sungguh, petang hari di pantai Sorong ini, aku menyaksikan kehidupan yang berjalan bersama keberadaanku sendiri. Kita ini memang sekecil debu, namun juga pusat kehidupan. Tanpa kita, tanpa keberadaan kita, bukankah tak ada hidup? Dan tak ada waktu? Ya, mungkin tetap ada hidup dan waktu, tetapi bukankah kita tak pernah akan mengetahui dan mengenalnya?

Malam menjelang tiba. Langit perlahan tenggelam dalam kekelaman. Dan makin banyak pula yang berdatangan memenuhi sepanjang pantai ini. Mereka datang bergerombol. Berpasangan atau hanya se orang diri. Tak ada yang peduli. Tak ada yang menghalangi. Hidup ada untuk dinikmati. Waktu ada untuk dijalani. Sebaik-baiknya. Dan wanita dengan anaknya tadi telah lama menghilang. Entah kemana, aku tak tahu. Mendadak aku merasa betapa kita, ya kita semua, sesungguhnya hanyalah pendatang di bumi yang indah ini. Kita semuanya hanyalah pendatang. Yang kita miliki hanyalah sang waktu. Waktu yang akan mengawal kita hingga akhir. Dan sebagai pendatang, kita tak pantas mengeluh. Sebab pada akhirnya, kita semuanya akan pulang kembali. Pulang kembali........

Tonny Sutedja

RAHASIA-RAHASIA KELUARGA

Setiap keluarga memiliki rahasianya sendiri. Tanpa kecuali. Setiap keluarga memiliki ironi yang tak mampu ditampakkan dalam penampilan luar. Siapa yang mampu menebak apa yang ada di balik senyum simpul seorang ibu? Siapa yang tahu apa yang tersembunyi dibalik tawa ria seorang bapak? Dan pada wajah lugu anak-anak yang sibuk bermain dan bercanda, apakah tak ada yang sedang menyedihkan hati mereka? Kita, manusia-manusia yang selalu merasa kuat dan percaya diri, pada hakekatnya hanya menampakkan topeng kegembiraan dibalik keperihan hati. Dan sering tak kita sadari itu. Sering tak kita sadari.

Maka dibalik tampilan sebuah keluarga yang nampak harmonis dalam pigura mewah, wajah-wajah yang nampak ceria dan penuh semangat, dapatkah kita menangkap aura kesedihan, kepiluan dan rasa sakit hati yang tersembunyi di balik topeng wajah mereka? Siapa yang tahu? Sering bahkan kalimat-kalimat yang diucapkan tak mampu menyuarakan kenyataan yang sebenarnya. Dan ada banyak masalah terjadi, bukan karena memang ada masalah, namun lebih sering karena kesalah-pahaman, saat tak ada yang mau memahami satu sama lain, saat tak ada yang mau mengalah satu sama lain. Bahkan kita pun, yang memandang dari luar, hanya mampu menangkap ilusi-ilusi yang tampil seakan-akan segalanya baik. Seakan-akan segalanya harmonis dan tanpa masalah sama sekali.

Dan pada saat kemudian terjadi pergolakan, saat kemudian terjadi suatu kekisruhan yang meledak akibat terpendamnya kegetiran dan kekecewaan yang menumpuk, namun terus menerus disembunyikan di balik topeng diri, kita, yang tak menduga sama sekali, lagi-lagi hanya berpendapat sesuai dengan apa yang kita ketahui dari luar. Namun apakah pengetahuan kita itu, selain dari apa yang kita anggap benar dari sudut pandang kita? Kebenaran-kebenaran kita seringkali adalah kebenaran semu. Kebenaran yang kita tarik berdasarkan pengalaman kita sendiri, namun apakah kita mampu menyelami dan memahami pengalaman orang lain? Tidakkah mereka pun memiliki akal dan perasaan mereka sendiri? Dan bukankah kita memang tidak sama dan berbeda sama sekali satu sama lain? Jadi, mengapa kita demikian mudah untuk menghakimi sesama kita? Mengapa?

Setiap keluarga memiliki rahasianya sendiri. Dan tak ada yang sempurna. Keluarga kita pun, jujurlah pada diri sendiri, punya masalah yang tak ingin kita tampilkan, dan kita sembunyikan dengan rapat dari pandangan luar. Kita hidup dengan ketakutan-ketakutan kita, kekecewaan dan kepedihan kita. Karena kita merasa telah dicerobohi. Karena kita telah dilukai. Karena kita telah dikhianati. Dan mampukah kita berkata benar yang mungkin akan menghancurkan reputasi kita? Kedudukan kita? Martabat kita? Tetapi sebaliknya, kita juga manusia-manusia berani, yang dengan tampilan gagah dan teguh, berupaya menyembunyikan rasa pahit kita ditengah keyakinan orang-orang lain yang memandang kita dengan terkagum-kagum. Lihat, inilah keluarga yang bahagia. Inilah keluarga yang harmonis. Dan siapa tahu apa yang ada di balik senyum kita, bukan?

Demikianlah hidup berjalan. Di ruang kecil kemanusiaan kita. Di antara sanak saudara. Di tengah lingkungan kita. Di antara masyarakat luas. Kita tampil gagah di luar, namun gamang di dalam. Kita tampil seakan-akan semua tanpa masalah di tengah lautan masalah yang membelit hidup kita. Dan percayalah, kita tidak sendiri. Kita tidak istimewa dan tidak pantas mengatakan bahwa hanya kitalah yang paling tersiksa, hanya kitalah yang paling menderita, hanya kitalah yang paling merasa sakit. Banyak, ya ada banyak bahkan mungkin kita semua sedang terlibat dan mengalami persoalan-persoalan yang tak mampu kita ungkapkan dengan bebas. Jadi jangan takut. Jangan cemas. Hidup memang begitu. Memang sudah begitu, temanku. Mari kita tertawa di dalam kesepian kita....

Tonny Sutedja

07 November 2009

DIA TAPI BUKAN DIA

"Saat menatap wajahku di depan cermin, aku sering bertanya dalam hati, siapakah aku? Mengapa aku selalu merasa berbeda saat berada di tengah keramaian dengan saat menyendiri? Apakah jika berada di antara orang banyak, aku bukan diriku yang sebenarnya? Ataukah memang aku memiliki kepribadian ganda, suatu rahasia yang berusaha kusembunyikan, suatu perasaan yang berusaha kutekan, sehingga aku selalu merasa berbeda saat berada sendirian dengan saat berada di antara masyarakat. Bahkan di antara teman-teman dan keluargaku sendiri. Aku bukanlah sosok yang sebenarnya saat tampil di hadapan mata orang lain. Aku berusaha untuk tidak berlaku munafik dan mendua, namun rasanya tak mungkin kulakukan perbuatan yang mulia itu. Ada sesuatu, ya ada sesuatu yang melarang aku jujur terhadap diriku sendiri jika berada di tengah masyarakat...."

Dia menatap jauh ke luar. Matahari sedang terik-teriknya. Udara terasa pengap di ruangan yang tanpa pendingin udara ini. Hanya gaung sebuah kipas angin kecil seakan meraung-raung di tengah kesunyian. Usianya yang kini memasuki tahun ke empat puluh nampak tertera jelas di wajahnya yang penuh kerutan. Dan rambutnya yang mulai menipis nampak mulai beruban. Sebagai seorang aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat, tampilannya saat sedang berada di tengah kelompok yang dinaunginya memang terasa sangat kontras dengan saat dia seorang diri merenungi kehidupannya. Dia tidak berkeluarga, dan nampaknya tidak memiliki keinginan untuk itu. Baginya, hidup adalah untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Baginya, hidup adalah suatu pemberian terus menerus tanpa pernah mau menerima. Baginya, ah, apakah sesungguhnya makna hidup ini? Ada sesuatu yang terasa sepi dan perih....

"Aku sering tidak tahu untuk apa aku hidup. Memang, bagi orang lain, aku ini amat berarti bagi mereka. Aku sadari itu. Namun, bagiku sendiri, ada suatu kehampaan yang seakan tanpa ujung dalam hidupku. Aku berbuat tapi merasa tak berarti. Aku berpikir tapi merasa segala sesuatunya berjalan secara otomatis saja. Aku tak tahu mengapa aku sering mengalami perasaan ini. Aku tak tahu. Aku belajar untuk hidup. Aku belajar untuk percaya kepada Tuhan. Belajar untuk mencintai manusia. Belajar untuk memaknai hidupku sendiri. Tetapi, anehnya, yang kutemukan hanya ini, betapa tak berartinya hidupku bagi diriku sendiri. Ada yang kosong dlam jiwaku. Aku mencari Tuhan tetapi tak pernah menemukannya. Aku mencari cinta tetapi gagal meraihnya. Sesuatu yang nampaknya dekat bagi orang lain, terasa amat jauh bagi diriku sendiri. Aku penasehat yang seharusnya menasehati diriku sendiri. Mengapa aku merasakan hal ini? Mengapa? Ah, aku tak tahu...."

Aku memandang pria paruh baya itu, yang sedang duduk menyendiri di samping jendela sambil menatap jauh ke arah tanah yang gersang, ke arah pohon beringin putih yang kaku merangas. Aku memandang satu siluet manusia yang saat ini menjauh walau dekat secara fisik. Dan tiba-tiba, aku teringat kalimat yang diucapkan oleh Bunda Teresa dari Calcutta: "TBC dan Kanker bukanlah penyakit paling besar. Menurut saya, ada penyakit yang jauh lebih dahsyat, yaitu rasa tidak diinginkan, rasa tidak dicintai. Rasa nyeri yang diderita oleh orang-orang ini sulit sekali dipahami, sulit ditembus. Menurut saya, orang-orang seperti inilah yang hampir selalu ada di sekeliling kita di seluruh dunia, di setiap keluarga, di setiap rumah...."

Tahukah kita siapakah kita sebenarnya? Kenalkah kita dengan diri kita sendiri? Sesungguhnya, kita sering merasa kenal ya, merasa jauh mengenal orang-orang lain yang setiap hari kita perbincangkan, namun saat berbicara tentang diri kita sendiri, tiba-tiba kita bisa menjadi bungkam. Bingung dan khawatir. Kita bingung, karena kita tak mengenal siapa kita, apa keinginan kita yang sesungguhnya, dan mengapa kita harus ada di sini. Kita takut dan khawatir karena kita merasa bahwa apa yang telah kita lakukan, atau paling tidak, kita pikirkan, adalah suatu kesalahan, suatu dosa yang mungkin kita rasa jauh lebih memalukan daripada saat kita membicarakan dosa dan kesalahan orang lain. Maka kita bungkam terhadap diri sendiri sambil terus menerus membicarakan kelemahan orang lain se akan-akan kita tak pernah melakukan kesalahan yang sama. Nyatanya?

Dengan perlahan dia bangkit dari lamunannya yang panjang. Sambil tertatih-tatih, dia berjalan keluar dari kamarnya, melintasi lorong-lorong sempit yang muram di tengah kepengapan udara yang mampu mencekik hidupnya. Dia, seorang aktivis yang pada suatu malam yang kelabu ditangkap oleh pihak yang berwajib dalam razia obat terlarang. Dia terbukti mengkonsumsi sabu-sabu dan akhirnya harus meringkuk di unit rehabilitasi ini. Dia. Ah, siapakah dia sebenarnya? Dia tapi bukan dia....

Tonny Sutedja

06 November 2009

HIDUPKU

Aku tidak sempurna. Aku tahu itu. Dan, siapakah yang bisa memastikan kesempurnaan-nya? Ada atau tidak ada aku, dunia akan berjalan seperti biasanya. Hidup memang tak pernah terikat dengan diri kita. Kitalah yang terikat dengan dunia ini. Namun, tanpa aku, juga dunia ini tak akan pernah ada. Bagiku. Sebab itu, haruskah aku sesali ketidak-sempurnaanku? Haruskah aku sesali kelemahan dan kegagalanku? Haruskah aku kecewa karena tak berhasil mendapatkan apa yang kuingini? Tidak, sebab aku sadar bahwa aku tidak sempurna, sama seperti kalian tidak sempurna. Jika begitu, aku akan menerima apa adanya. Menangisi apa yang pantas ditangisi. Menertawai apa yang layak ditertawai. Menikmati apa yang ada padaku.

Sebab, mengalir bersama waktu, aku hidup dan ada. Sekarang. Saat ini. Dan ketika banyak hal yang terasa sia-sia, bukankah kesia-siaan itu hanya dalam perasaanku saja? Tahukah aku pada perasaan orang lain? Pahamkah aku pada pikiran dan pendapat mereka? Hidup adalah, bagaimana kita memandang suatu peristiwa, tidak hanya dari sudut mataku tetapi juga dari sudut mata banyak orang lain yang berada di sekelilingku. Perbuatanku adalah tanggung jawabku sebagai pribadi yang mandiri, namun bukankah selalu ada akibat-akibat yang, baik langsung maupun tak langsung, pasti bersangkut paut dengan keberadaan sesama kita? Dengan keberadaan semesta alam ini. Maka siapakah aku, selain daripada hanya sesosok mahluk yang tidak sempurna dan karena itu saling terkait dengan sesama dan alam semesta untuk menciptakan satu kesempurnaan Sang Pembentuk Hidup?

Dimanakah kau

Makna pembungkus kata

Dimanakah kau

Laku pembungkus Hidup


 

Lihat, lihatlah

Tetesan embun di pucuk kembang

Dan semburat jingga di timur fajar

Ada aku, ada kau, ada kita


 

Dalam bias suara pagi

Hening membentuk lorong waktu

Dan tinggal dalam diam beku

Dimanakah kau?


 

Ada lirih angin kudengar sayup

Ada larik nada indah mengalun

Dan terkapar dalam benak hari

Aku, Kau, Kita merayapi waktu


 

Aku tidak sempurna. Aku sadari itu. Selalu, kita hidup berkelana meniti waktu yang mengalir ke muara akhirnya. Saat mana, kekecewaan, keperihan, kedukaan, kekesalan dan sakit hati kita akan berakhir di samudera keheningan abadi. Lanskap merah muda di lautan kebiruan. Dan kebisuan kita akan menyuarakan perasaan yang terdalam. Betapa heningnya. Betapa damainya. Kelak. Titik-titik embun yang melayang di antara langit dan bumi, kini mencari kita. Kini mencari kita......

Tonny Sutedja

02 November 2009

WISNU

Dapatkah pengalaman hidup kita tuliskan dalam kata-kata? Dapatkah penderitaan, perasaan hampa dan putus asa kita nikmati dalam kalimat-kalimat yang kita baca? Tidakkah keperihan, rasa sakit dan kesunyian hanya mampu kita tahu saat kita sendiri mengalaminya? Hidup, ya hidup adalah suatu pengalaman nyata, bukan suatu bacaan, bukan suatu elegi yang dapat kita resapi dalam kalimat-kalimat indah maupun dalam nada-nada yang pilu. Kita ada, kita hidup, kita mengalami dan kita tahu dan sadar, betapa hidup itu memang menyimpan rasa sepinya sendiri.

Setiap hari dia membawa motornya ke suatu perempatan jalan yang ramai itu. Dengan memakai kaos suatu perusahaan ternama yang kini hanya tinggal nama, dia lalu memarkir kendaraannya dan menunggu mereka yang ingin memakai jasanya. Usianya tidak muda lagi. Kerut-kerut tipis mulai memenuhi dahinya. Dan bahunya yang dulunya tegap, kini nampak menurun dalam suatu ketak-berdayaan menanggung terpaan kehidupan. Padahal dulu, ya belum terlalu lama berselang, dia adalah pegawai tinggi di suatu unit usaha yang demikian terkenal. Dengan kedudukannya, dia bisa menentukan nilai-nilai nominal yang sekarang tak terbayangkannya lagi. Dengan posisinya yang strategis, dia bekerja tekun dan jujur. Walau dia tahu bahwa ada banyak ketidak-jujuran di seputarnya. Korupsi terjadi diam-diam, para koleganya yang dengan tenang dan dingin memanipulasi angka-angka pengeluaran demi untuk mengisi kantung mereka sendiri. Tetapi dia tetap jujur dalam menjalankan tugasnya. Dia tidak larut dan tidak mau ikut larut dalam kegilaan itu. Angka-angka ditatanya dengan rapi, jujur dan bersih sesuai dengan kenyataan yang ada. Tak sepeser pun direnggutnya untuk diri dan keluarganya sendiri. Tak sepeser pun.

Namun suatu saat, krisis menerpa negeri ini. Dan perusahaan tempatnya bernaung menjadi salah satu yang terkena dampak tersebut. Dan bangkrut. Suatu tim pemeriksa turun dan meng-audit keuangan perusahaannya. Para koleganya yang terbukti korup ditangkap, diadili dan dijebloskan ke dalam bui. Namun dia lolos dari kondisi tersebut, namun harus menerima kenyataan pahit, termasuk salah satu yang harus di PHK karena usaha tersebut ditutup. Dengan menerima imbal jasa seadanya, dia terpaksa menerima kenyataan itu, dan memulai kehidupan barunya, setelah lama menganggur, sebagai pengojek. Sementara para koleganya yang telah menjalani hukuman dan kini bebas untuk menikmati kekayaan yang telah mereka raup, dia tertatih-tatih menghidupi diri dan keluarganya. Setiap pagi, saat matahari mulai menyembul dari ufuk timur, dia keluar dan menunggu mereka yang ingin menggunakan jasanya di pengkolan jalan itu. Di antara belasan pengojek lainnya, sambil mengenakan kaos bekas tempat kerjanya dulu, dia duduk menunggu dan menunggu konsumennya. Sesekali bercanda dengan sesama pengojek lainnya, dia memulai hidup barunya dan sadar betapa saat ini, nilai-nilai nominal yang pernah berada di dalam kekuasaannya, sungguh terasa bagai mimpi belaka. Bagai mimpi belaka. Dengan lembaran-lembaran ribuan yang diterimanya setiap saat, perasaannya menjadi pahit saat mengenang betapa dulu dia mampu untuk mengeluarkan jumlah yang berlipat kali hanya untuk sebuah momen saja.

Dapatkah pengalaman hidup kita tuturkan dalam kata-kata? Tidakkah sering kata-kata terasa amat manja dan genit, terasa hampa dan tak punya makna apa-apa saat dihadapkan pada kenyataan? Aku tak tahu. Hidup memang seringkali terasa pahit. Amat pahit. Namun, saat aku bertemu dia, di suatu senja yang mendung, dan sempat berbincang dengannya, ada satu kalimat yang diucapkannya dengan tegas: "Aku memang menderita, sekarang. Menderita dalam kekurangan materi, namun aku berbahagia dalam jiwa. Karena aku tak berhutang apa-apa terhadap siapa pun. Ya, aku tak punya hutang, sebaliknya aku pikir, hiduplah yang memiliki hutang padaku. Kejujuran selalu pahit, pahit secara fisik, namun manis secara rohani. Aku bersyukur bahwa aku tidak larut dalam godaan sehingga saat ini mampu hidup dengan tenang walau tak lagi memiliki apa-apa. Bagi keluargaku, aku tak punya apa-apa tetapi aku bukan seorang koruptor. Anak-anakku tak usah malu karena mereka bukan anak seorang yang pernah dibui. Dan itu sudah cukup bagiku. Sudah teramat cukup....."

Tonny Sutedja

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...