13 November 2009

AIMAS

Buat Anton Widjaja

Selepas dari rimbunan pepohonan rimba yang mengapit di kiri kanan jalan, terbukalah hamparan tanah luas yang kering dengan beberapa bangunan berdiri tegak, terpisah jauh satu sama lain. Lalu muncul deretan ruko di depan satu lapangan sepakbola. Aimas. Sebuah kota baru yang masih teramat lapang di Papua Barat dan berjarak kurang lebih 20 km dari kota Sorong. Aku memandang dengan takjub hasil karya perjuangan manusia untuk menghidupi hidup, untuk mengubah daratan yang liar dan rimbun menjadi pemukiman bagi kehidupannya. Sementara siang hari itu terasa amat terik. Amat terik.

Jalan yang lebar namun lengang membentang di depan. Sungguh terasa menyenangkan, jauh dari kesempitan dan kemacetan yang setiap saat kusaksikan dan kualami di kota-kota besar lain di negeri ini. Kami kemudian mampir di sebuah ruko kecil di antara deretan ruko yang nampaknya belum terlalu lama dibangun. Di depannya, berdirilah sang pemilik toko, seorang pria kecil berwajah riang dan ramah, menyambut dan menyapa kami. Belum terlalu lama pria itu menetap di sini, demi hidup, demi sebuah harapan masa depannya.

Sambil memandang pria itu, aku merenungkan betapa kekuatan hidup selalu memberikan kesempatan bagi kita, sebagai manusia yang memiliki daya dan akal, untuk berkembang. Untuk berupaya berjuang demi kehidupan itu sendiri. Aku memandang sekeliling kota kecil ini, memandang deretan toko-toko yang berdiri berdampingan, sambil memikirkan orang-orang yang berdiam di dalamnya. Mereka, para pionir, manusia yang berani untuk memasuki tanah asing, sering bahkan tanpa sanak kenalan seorang pun, demi untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Demi untuk meraih kesempatan yang telah dianugerahkan bumi untuk dikelola dan dikembangkan.

Di sini, di Aimas, aku tiba-tiba teringat kepada orang-orang yang putus asa karena tak mampu mengubah nasib. Di sini, di Aimas, aku berpikir, apakah memang nasib tak bisa dirubah? Ataukah kita hanya sering terpaku di depan kegagalan kita tanpa mau menengok kesempatan lain yang ada di sekeliling kita? Kita mengeluh, kecewa dan merasa pasrah karena merasa tak sanggup untuk berubah, bukan karena kita tak mampu mengubah nasib kita tetapi lebih sering kita tak mau meninggalkan kehidupan kita yang sekarang untuk memasuki suatu dunia yang kehidupan yang asing, sulit dan terasa tak pasti sehingga menakutkan.

Di tengah teriknya matahari siang, aku memasuki toko kecil milik pria itu sambil memandang benda-benda yang dipajang. Alat-alat listrik, bahan bangunan, mantel hujan, ah bukankah benda yang sama ini juga dengan mudah kutemukan di kotaku, juga kota asal pria itu. Benda yang sama di lokasi yang berbeda. Manusia yang sama di daerah yang berbeda. Terpisahkan jarak ribuan kilometer, melintasi lautan dan jejeran kepulauan, hidup nyatanya berjalan seperti biasa. Namun diperlukan suatu keberanian untuk mengambil keputusan, mempergunakan kesempatan yang lain, mengubah kehidupan ini menjadi seperti apa yang kita harapkan.

Maka saat meninggalkan pria itu dalam keterasingannya, jauh dari kota asal, demi untuk meraih harapan baru, aku tiba-tiba merasa betapa kuatnya hidup ini memanggil kita semua untuk tak mudah takluk. Untuk tak mudah menyerah. Sebab, bukan karena keluh kesah terhadap apa yang sedang kita hadapi tetapi karena kemauan kita sendiri yang mampu mengubah diri kita. Ya, kita sendiri yang harus berupaya untuk mengubah nasib. Kesempatan selalu ada, jalan selalu terbuka, tetapi adakah keberanian kita untuk mengubahnya? Maukah kita meninggalkan kebiasaan kita? Mampukah kita melepaskan keterikatan kita terhadap situasi kita sekarang? Hidup memang menantang, dan tugas kitalah untuk menghadapinya. Tugas kita semua.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...