11 November 2009

MAAF

Maaf, maafkan aku karena telah bersedih

Karena telah tak menyapa cahaya matahari

Dan terutama karena selama ini percaya

Bahwa begitu banyak orang yang sepertimu

(CAHAYA MALAM – Anna Akhmatova)

Wajahnya tertunduk lesu. Dia berdiri di samping peti jenasah dengan beku. Dengan perasaan yang terguncang dan hancur. Dengan nyeri yang menikam di hatinya. Dengan rasa sesal yang dalam. Inilah jasad yang pernah disayanginya. Yang pernah menjadi harapan hidupnya. Tetapi betapa cepatnya waktu berlalu. Waktu yang terasa panjang namun hanya singkat ini. Dan dalam kehidupan yang lewat, dia sadar bahwa ada banyak hal yang tak terucapkan dengan kata-kata. Tak terucapkan namun amat senantiasa mengusik dirinya.

Apa yang telah lewat, kini menjadi kenangan. Apa yang telah terjadi, kini menjadi batu sandungan. Dalam segala kejadian yang lampau, yang tak mungkin diulang kembali, kesadaran selalu datang terlambat. Selalu terlambat. Dan saat akhir tiba, saat itu pula penyesalan menyerbu bagai bah. Mengapa ini harus terjadi? Mengapa banyak kemungkinan yang bisa terjadi, dan kini telah terjadi, tak mampu dipertimbangkannya? Siapakah dia dulu? Siapakah dia sekarang? Haruskah emosi menguasai segala pertimbangan hidup ini? Tidakkah dia dapat memikirkan dengan lebih jernih dan tenang sebelum semuanya terlambat? Gagal. Ya, dia merasa telah gagal menjalani hidup ini. Perasaan yang amat lambat tiba. Amat lambat....

Kenangan berputar dengan cepat. Kenangan saat mereka mulai membangun relasi. Saat gelak tawa dan kegembiraan meliputi mereka. Saat hidup punya kemungkinan-kemungkinan yang teramat indah. Mereka memasuki bahtera pernikahan tiga tahun yang lalu dengan perasaan penuh harapan. Penuh cahaya. Penuh cinta. Namun kenyataan menguak kebersamaan mereka. Betapa jauhnya perbedaan membelah. Betapa kepentingan yang saling bertolak belakang kemudian menjadi onak dan melukai jiwa yang enggan untuk mengalah satu sama lain. Lalu, apa yang dulu menjadi harapan awal, pecah menjadi rasa kemarahan dan kekecewaan yang terus menerus menggumpal dan sesekali meledak tanpa mampu mereka cegah. Dan kebersamaan yang dulu mereka harapkan menjadi surga di dunia, terluka dengan cepat. Sakit hati, dendam, perasaan tak dipedulikan dan tak dipahami, rasa sepi dan putus asa memasuki dunia mereka. Kenyataan memang tak pernah seindah dongeng-dongeng yang pernah diharapkannya......

Wajahnya tertunduk lesu. Ada sedikit tetesan air mata di sudut matanya. Air mata, yang bahkan tak pernah dipikirkannya saat mereka masih mampu bercakap dulu. Apa yang salah dalam hidup ini? Apa yang salah? Barangkali, karena pengharapan yang terlalu besar satu sama lain. Barangkali, karena awal yang sangat bertoleransi dengan mengharapkan agar perubahan bisa terjadi jika mereka telah hidup bersama. Masa-masa pacaran, masa-masa dimana yang dia tahu hanya sebatas ruang tamu dan tampilan luar yang sangat menarik hati. Namun hidup bersama tidaklah sesempit itu. Ada banyak hal yang kemudian merusak harapan itu. Saat perubahan yang diharapkan satu sama lain ternyata gagal terlaksana. Saat ternyata, dia sendiri gagal merubah hidup dan kebiasaannya. Saat ternyata, toleransi hanya mampu dipikirkan tanpa mampu dilaksanakan. Mengubah hidup bukan hanya sekedar impian tetapi harus dilakukan. Dan itu tidak mudah. Tak pernah bisa menjadi mudah.

Dia terkenang saat-saat sulit yang telah terjadi, saat-saat tekanan menjadi depresi. Dan wanita ini, wanita yang pernah menjadi impian dan harapan hidupnya tiba-tiba terasa menjadi ganjalan dan gangguan terhadap kepentingan dirinya. Kehidupan yang sulit dan tak tertahankan. Dia merasa disepelekan. Dia merasa tak dipahami. Dia merasa tak diperlakukan dengan baik. Dia merasa tak dihormati. Dia merasa..... Dia? Haruskah selalu dia yang merasa? Bagaimana dengan perasaan wanita yang dulu teramat diimpikannya ini? Ya, bagaimana dengan perasaan wanita ini? Wanita yang jasadnya kini terbujur kaku di depannya dan siap menjalani prosesi akhir dimana mereka tak mungkin lagi akan bertemu dalam kehidupan nyata ini. Perpisahan yang abadi. Apakah kini dia merasa senang dan bebas? Inikah yang dia inginkan? Inikah?

Maaf. Maafkan aku, bisiknya dalam tangis yang tak terucapkan jauh di dalam lubuk sanubarinya. Betapa salahnya aku menilai hidup ini. Betapa hanya kepentingan diriku yang selalu kutonjolkan. Aku. Aku. Dan hanya aku. Seberapa seringkah aku memikirkanmu? Seberapa kerapkah aku menyepelekanmu? Dan bahkan menganggap bahwa ada banyak, ya ada banyak wanita lain yang sama atau bahkan jauh lebih baik dari kau? Suatu anggapan yang salah. Kau, ya hanya kau satu-satunya di dunia ini. Kau, ya hanya kau satu-satunya dirimu sendiri. Dan aku sadar kini, tak ada lagi yang mampu menggantikanmu. Tak ada. Maaf. Maafkan aku.....

Dengan perasaan pahit, dia memeluk jenasah istrinya. Dengan perasaan hancur, dia menyesali segala apa yang telah terjadi. Namun segalanya telah terlambat kini. Ada hal-hal yang tak mungkin dirubah kembali. Ada hal-hal yang tak bisa dikembalikan seperti semula. Kesadaran seringkali terlambat tiba. Dan saat dia tiba bersama kenyataan yang menikam keras, dia tahu, bahwa semuanya telah terlambat. Semuanya telah terlambat. 'Maafkan aku.....' bisiknya parau. 'Maafkan aku....' Namun apakah artinya sekarang kata-kata itu? Apa gunanya bagi dia yang telah tenggelam dalam waktu? Berubahlah sebelum terlambat. Berubahlah sebelum akhir tiba......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...