25 November 2009

CUKUP SUDAH

Seberapa banyakkah nilai cukup itu bagi kita? Mengapa kita tak pernah merasa puas dengan apa yang kita dapatkan? Dengan apa yang kita miliki saat ini? Mengapa kita ingin selalu lebih dan lebih lagi? Mengapa kita senang membandingkan kehidupan kita dengan orang-orang lain yang kita anggap jauh lebih berhasil dari kita? Apakah kita memang harus mengejar keinginan kita dengan tanpa batas? Dengan tanpa kepuasan? Dimanakah ujung dari semua hasrat dan ambisi kita? Kita ingin tiba di puncak, tetapi dimanakah puncak itu? Dan jika kita ternyata gagal meraih segala ambisi, segala keinginan, segala hasrat dan nafsu kita, mengapa kita harus kecewa, sakit hati atau putus asa? Mengapa kita tak pernah merasa puas dan cukup dengan apa yang kita punyai sekarang?

Sebagai seorang pengusaha, dia sukses. Dengan kehidupan yang glamor, dengan harta yang berlimpah, dengan segala materi yang siap untuk dia pergunakan semau dia. Keberhasilan yang tidak mudah dicapai oleh orang lain. Nilai pemasukan yang melimpah, seharusnya membuat dia mampu menikmati hidupnya. Dengan keluarga yang nampak harmonis, istri yang menawan, anak-anak yang manis, rumah yang mewah, tak terhitung kendaraan serta segala sesuatu siap tersedia baginya. Namun, ada yang kurang. Tetap ada yang terasa kurang.

"Sesungguhnya aku harus puas dengan hidupku ini. Sayangnya, aku merasa tak memiliki waktu. Semua telah tersita untuk kerja, untuk menambah dan terus memperbanyak milikku. Memang, aku harus jujur, bahwa aku menikmati kesibukan itu. Aku senang jika berhasil memperoleh kontrak. Aku gembira jika telah mengalahkan orang lain dalam persaingan dagang. Aku ingin memiliki segalanya. Segalanya. Tetapi mengapa, jika saat-saat sendirian, aku merasa diriku hampa? Aku memang berhasil dalam bisnis, tetapi mengapa aku merasa gagal dalam hidup? Mengapa aku merasa tak pernah dipahami, tak pernah tersentuh bahkan seakan tak memiliki apa-apa sama sekali?"

"Di kantor, aku raja. Aku penguasa. Dengan materi, aku dapat menyelesaikan apa saja. Apa saja. Tetapi kok aku selalu merasa ditinggalkan? Aku selalu merasa bahwa orang-orangku selalu memandangku dengan rasa takut daripada hormat. Semua orang selalu berpikir bahwa mereka memahami dan mengerti diriku. Tetapi nyatanya, dalam banyak hal, aku hanya melihat orang-orang yang senang mengambil muka, senang melakukan apa saja bagiku, tak berani membantah kata-kataku. Namun mengapa aku sering merasa kecewa? Sering merasa tak dihargai? Dilecehkan? Sering berpikir dalam hatiku bahwa mereka hanya memandang materi yang kuberikan daripada memahami diriku sebagai manusia"

"Di rumah, situasinya pun mirip. Aku merasa ditinggalkan seorang diri. Ataukah mungkin karena kesibukanku, sehingga aku selalu tak punya waktu untuk berkumpul bersama dengan istriku? Dengan anak-anakku? Bagiku, waktu itu amat berharga. Waktu itu adalah uang. Waktu itu berarti kesempatan untuk memenangkan tender, kesempatan untuk membuat kalkulasi untung rugi, menyusun perencanaan demi keberhasilan yang lebih baik bagi keluargaku sendiri. Lebih makmur. Lebih mampu untuk membiayai apapun yang mereka inginkan. Apapun yang mereka harapkan. Tetapi saat aku berada di rumah, ya rumahku sendiri, aku hanya menemui ruang keluarga yang kosong. Semua ternyata punya kesibukan sendiri-sendiri. Semua ternyata menikmati waktunya sendiri-sendiri. Dengan materi yang melimpah, aku merasa tak mampu membeli waktu mereka sedetik pun. Dengan materi yang selalu tersedia, mereka mampu menikmati hidup mereka tanpa sadar betapa mereka kian terasing dari diriku sendiri. Apa yang salah? Salahkah aku? Salahkah mereka? Salahkah pilihan hidup yang telah kuambil ini? Betapa ironisnya, hidup yang kunikmati ini ternyata merampas waktuku dan telah mengkhianati kehidupanku. Kehidupanku sendiri"

Seberapa banyakkah nilai cukup itu bagi kita? Demikianlah aku memikirkan pertanyaan itu, saat membaca berita koran di suatu pagi yang cerah. "Seorang pengusaha ternama digerebek di rumahnya karena memakai narkoba". Dan saat melihat fotonya yang tertunduk lesu sambil mengikuti polisi yang menangkapnya, aku mencoba untuk memahami apa yang tersimpan dalam pikirannya. Ada rasa hampa, rasa ditinggalkan, rasa sepi, rasa malu tetapi tak mampu berbuat apa-apa lagi. Manusia, ah manusia, mengapa kita tak pernah merasa cukup dalam menikmati hidup ini? Dimanakah ujung dari suatu harapan yang ingin kita raih? Maukah kita menyadari keberadaan kita sekarang? Siapakah kita sesungguhnya? Sampai dimanakah ujung dari kepuasan kita terhadap hidup ini? Sampai dimanakah? Dapatkah kita menjawabnya? Dapatkah?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...