21 November 2009

PAGAR

Aku berdiri di depan rumah ini setelah sekian lama tak berkunjung. Sambil memencet bel yang ada di sisi kiri pintu besar ini, aku melihat ke pagar tembok yang mengelilinginya. Pandanganku tak mampu untuk melihat ke dalam, tak mampu untuk mengetahui apakah rumah ini berpenghuni atau sedang kosong. Yang ada hanya tembok putih setinggi kurang lebih dua setengah meter. Dan nampaknya baru dibangun. Seingatku, terakhir aku datang ke rumah sahabatku ini, pagar tembok ini belum ada. Pagar yang dulu hanya setinggi setengah meter dan terbuat dari jejeran bambu, resik dan lapang. Dengan leluasa aku bisa melihat ke dalam rumah yang indah itu. Tetapi kini, segalanya telah tertutup, kehidupan di baliknya seakan tenggelam dalam benteng yang kokoh. Tersembunyi jauh dari kehidupan luar.

Pagar. Betapa bedanya. Aku melihat banyak perubahan yang melanda kehidupan kita saat ini. Rumah dan bangunan baru didirikan dengan pagar yang kokoh, tinggi dan tak tembus pandang. Dan kita hidup seakan ingin menjauh dari lingkungan luar. Ini menandakan suatu rasa takut, rasa khawatir sekaligus suatu sikap tidak mau peduli dan tidak mau terlibat pada apa yang sedang terjadi di luar kehidupan kita. Tembok-tembok tebal kita dirikan untuk mengurung diri kita, hidup kita. Membatasi kebebasan kita demi kenyamanan dan keamanan pribadi. Demi agar tidak terusik oleh kenyataan yang terjadi di luar kehidupan kita. Demi agar tidak ada yang bisa mencampuri kepentingan dan kegiatan pribadi kita. Dan aku pikir, inilah kenyataan dunia modern ini.

Kita ingin hidup di dalam zona keamanan kita, sekaligus menghindari keterlibatan dengan lingkungan luar. Kita mengucilkan diri dari lingkungan kehidupan sekitar agar kepentingan kita tak terusik. Agar kenyataan di luar tak memasuki kita. Tetapi sungguhkah tembok pagar yang tinggi, tebal dan tak tembus pandang itu lalu mampu menjadi pelindung kita? Tidakkah jika sesuatu terjadi di dalam kehidupan kita, terjadi di balik tembok privasi kita, kita lalu menjadi tak terlindung sama sekali? Karena tak seorang pun mampu untuk melihat ke dalam. Tak seorang pun sanggup mengetahui apa yang sedang kita alami. Karena kita tersembunyi di balik pandangan orang-orang lain. Kita mengucilkan diri, sekaligus terkucil. Kita sendirian dan hanya sendirian menghadapi kehidupan ini. Tak heran jika kita lalu merasa kesepian. Merasa sangat kesepian.

Pagar. Dengan renungan inilah aku memandang tembok tebal dan tinggi yang mengelilingi rumah sahabatku ini. Memandang ke pagar-pagar yang tak tembus pandang di rumah-rumah lain dalam kompleks perumahan ini. Sungguh, keakraban terasa makin menjauh di tengah gembar gembor kita tentang dunia yang kian tak berbatas. Dan lihatlah di kafe dan tempat sosialisasi lainnya. Para sahabat, para kumpulan sahabat, berkumpul bukan untuk saling bertukar kata dan berbagi rasa, tetapi masing-masing tenggelam dalam keasyikan mereka di depan laptop. Keakraban tidak lagi terjadi di dunia nyata. Keakraban terjadi di dunia maya. Hanya di dunia maya. Dimana kepentingan kita, diri kita, hidup kita tak bisa tersentuh secara langsung dan pribadi. Kemoderenan hanya berarti bahwa kita makin melarikan diri dari kenyataan dan lebih menyukai bersembunyi di dunia maya. Kita tak ingin diusik. Dan karena itu, kesedihan dan dukalara kita hanya kita yang tahu. Kita sendiri. Kita sendirian.

Aku memencet bel pintu gerbang yang besar dan tebal ini. Tetapi tak seorang pun datang membukakan pintu bagiku. Entah, mereka tak mendengarnya akibat keasyikan dengan diri mereka, entah memang tak ada orang yang sedang menghuni rumah di balik tembok pagar tebal ini. Aku tak tahu. Aku tak mampu untuk melihat ke dalam. Yang ada hanya tembok bisu di hadapanku. Dan tentu saja, aku tak bisa berbicara dengannya. Apa yang terjadi di dalam, apa yang sedang mereka alami, apa yang terjadi di luar, apa yang sedang kualami, semuanya berbatas jelas sekarang. Berbatas jelas. Sebuah dinding tebal mengelilingi kami. Sebuah pagar. Pagar yang tak tembus pandang.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...