02 November 2009

WISNU

Dapatkah pengalaman hidup kita tuliskan dalam kata-kata? Dapatkah penderitaan, perasaan hampa dan putus asa kita nikmati dalam kalimat-kalimat yang kita baca? Tidakkah keperihan, rasa sakit dan kesunyian hanya mampu kita tahu saat kita sendiri mengalaminya? Hidup, ya hidup adalah suatu pengalaman nyata, bukan suatu bacaan, bukan suatu elegi yang dapat kita resapi dalam kalimat-kalimat indah maupun dalam nada-nada yang pilu. Kita ada, kita hidup, kita mengalami dan kita tahu dan sadar, betapa hidup itu memang menyimpan rasa sepinya sendiri.

Setiap hari dia membawa motornya ke suatu perempatan jalan yang ramai itu. Dengan memakai kaos suatu perusahaan ternama yang kini hanya tinggal nama, dia lalu memarkir kendaraannya dan menunggu mereka yang ingin memakai jasanya. Usianya tidak muda lagi. Kerut-kerut tipis mulai memenuhi dahinya. Dan bahunya yang dulunya tegap, kini nampak menurun dalam suatu ketak-berdayaan menanggung terpaan kehidupan. Padahal dulu, ya belum terlalu lama berselang, dia adalah pegawai tinggi di suatu unit usaha yang demikian terkenal. Dengan kedudukannya, dia bisa menentukan nilai-nilai nominal yang sekarang tak terbayangkannya lagi. Dengan posisinya yang strategis, dia bekerja tekun dan jujur. Walau dia tahu bahwa ada banyak ketidak-jujuran di seputarnya. Korupsi terjadi diam-diam, para koleganya yang dengan tenang dan dingin memanipulasi angka-angka pengeluaran demi untuk mengisi kantung mereka sendiri. Tetapi dia tetap jujur dalam menjalankan tugasnya. Dia tidak larut dan tidak mau ikut larut dalam kegilaan itu. Angka-angka ditatanya dengan rapi, jujur dan bersih sesuai dengan kenyataan yang ada. Tak sepeser pun direnggutnya untuk diri dan keluarganya sendiri. Tak sepeser pun.

Namun suatu saat, krisis menerpa negeri ini. Dan perusahaan tempatnya bernaung menjadi salah satu yang terkena dampak tersebut. Dan bangkrut. Suatu tim pemeriksa turun dan meng-audit keuangan perusahaannya. Para koleganya yang terbukti korup ditangkap, diadili dan dijebloskan ke dalam bui. Namun dia lolos dari kondisi tersebut, namun harus menerima kenyataan pahit, termasuk salah satu yang harus di PHK karena usaha tersebut ditutup. Dengan menerima imbal jasa seadanya, dia terpaksa menerima kenyataan itu, dan memulai kehidupan barunya, setelah lama menganggur, sebagai pengojek. Sementara para koleganya yang telah menjalani hukuman dan kini bebas untuk menikmati kekayaan yang telah mereka raup, dia tertatih-tatih menghidupi diri dan keluarganya. Setiap pagi, saat matahari mulai menyembul dari ufuk timur, dia keluar dan menunggu mereka yang ingin menggunakan jasanya di pengkolan jalan itu. Di antara belasan pengojek lainnya, sambil mengenakan kaos bekas tempat kerjanya dulu, dia duduk menunggu dan menunggu konsumennya. Sesekali bercanda dengan sesama pengojek lainnya, dia memulai hidup barunya dan sadar betapa saat ini, nilai-nilai nominal yang pernah berada di dalam kekuasaannya, sungguh terasa bagai mimpi belaka. Bagai mimpi belaka. Dengan lembaran-lembaran ribuan yang diterimanya setiap saat, perasaannya menjadi pahit saat mengenang betapa dulu dia mampu untuk mengeluarkan jumlah yang berlipat kali hanya untuk sebuah momen saja.

Dapatkah pengalaman hidup kita tuturkan dalam kata-kata? Tidakkah sering kata-kata terasa amat manja dan genit, terasa hampa dan tak punya makna apa-apa saat dihadapkan pada kenyataan? Aku tak tahu. Hidup memang seringkali terasa pahit. Amat pahit. Namun, saat aku bertemu dia, di suatu senja yang mendung, dan sempat berbincang dengannya, ada satu kalimat yang diucapkannya dengan tegas: "Aku memang menderita, sekarang. Menderita dalam kekurangan materi, namun aku berbahagia dalam jiwa. Karena aku tak berhutang apa-apa terhadap siapa pun. Ya, aku tak punya hutang, sebaliknya aku pikir, hiduplah yang memiliki hutang padaku. Kejujuran selalu pahit, pahit secara fisik, namun manis secara rohani. Aku bersyukur bahwa aku tidak larut dalam godaan sehingga saat ini mampu hidup dengan tenang walau tak lagi memiliki apa-apa. Bagi keluargaku, aku tak punya apa-apa tetapi aku bukan seorang koruptor. Anak-anakku tak usah malu karena mereka bukan anak seorang yang pernah dibui. Dan itu sudah cukup bagiku. Sudah teramat cukup....."

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...