07 November 2009

DIA TAPI BUKAN DIA

"Saat menatap wajahku di depan cermin, aku sering bertanya dalam hati, siapakah aku? Mengapa aku selalu merasa berbeda saat berada di tengah keramaian dengan saat menyendiri? Apakah jika berada di antara orang banyak, aku bukan diriku yang sebenarnya? Ataukah memang aku memiliki kepribadian ganda, suatu rahasia yang berusaha kusembunyikan, suatu perasaan yang berusaha kutekan, sehingga aku selalu merasa berbeda saat berada sendirian dengan saat berada di antara masyarakat. Bahkan di antara teman-teman dan keluargaku sendiri. Aku bukanlah sosok yang sebenarnya saat tampil di hadapan mata orang lain. Aku berusaha untuk tidak berlaku munafik dan mendua, namun rasanya tak mungkin kulakukan perbuatan yang mulia itu. Ada sesuatu, ya ada sesuatu yang melarang aku jujur terhadap diriku sendiri jika berada di tengah masyarakat...."

Dia menatap jauh ke luar. Matahari sedang terik-teriknya. Udara terasa pengap di ruangan yang tanpa pendingin udara ini. Hanya gaung sebuah kipas angin kecil seakan meraung-raung di tengah kesunyian. Usianya yang kini memasuki tahun ke empat puluh nampak tertera jelas di wajahnya yang penuh kerutan. Dan rambutnya yang mulai menipis nampak mulai beruban. Sebagai seorang aktivis sebuah lembaga swadaya masyarakat, tampilannya saat sedang berada di tengah kelompok yang dinaunginya memang terasa sangat kontras dengan saat dia seorang diri merenungi kehidupannya. Dia tidak berkeluarga, dan nampaknya tidak memiliki keinginan untuk itu. Baginya, hidup adalah untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Baginya, hidup adalah suatu pemberian terus menerus tanpa pernah mau menerima. Baginya, ah, apakah sesungguhnya makna hidup ini? Ada sesuatu yang terasa sepi dan perih....

"Aku sering tidak tahu untuk apa aku hidup. Memang, bagi orang lain, aku ini amat berarti bagi mereka. Aku sadari itu. Namun, bagiku sendiri, ada suatu kehampaan yang seakan tanpa ujung dalam hidupku. Aku berbuat tapi merasa tak berarti. Aku berpikir tapi merasa segala sesuatunya berjalan secara otomatis saja. Aku tak tahu mengapa aku sering mengalami perasaan ini. Aku tak tahu. Aku belajar untuk hidup. Aku belajar untuk percaya kepada Tuhan. Belajar untuk mencintai manusia. Belajar untuk memaknai hidupku sendiri. Tetapi, anehnya, yang kutemukan hanya ini, betapa tak berartinya hidupku bagi diriku sendiri. Ada yang kosong dlam jiwaku. Aku mencari Tuhan tetapi tak pernah menemukannya. Aku mencari cinta tetapi gagal meraihnya. Sesuatu yang nampaknya dekat bagi orang lain, terasa amat jauh bagi diriku sendiri. Aku penasehat yang seharusnya menasehati diriku sendiri. Mengapa aku merasakan hal ini? Mengapa? Ah, aku tak tahu...."

Aku memandang pria paruh baya itu, yang sedang duduk menyendiri di samping jendela sambil menatap jauh ke arah tanah yang gersang, ke arah pohon beringin putih yang kaku merangas. Aku memandang satu siluet manusia yang saat ini menjauh walau dekat secara fisik. Dan tiba-tiba, aku teringat kalimat yang diucapkan oleh Bunda Teresa dari Calcutta: "TBC dan Kanker bukanlah penyakit paling besar. Menurut saya, ada penyakit yang jauh lebih dahsyat, yaitu rasa tidak diinginkan, rasa tidak dicintai. Rasa nyeri yang diderita oleh orang-orang ini sulit sekali dipahami, sulit ditembus. Menurut saya, orang-orang seperti inilah yang hampir selalu ada di sekeliling kita di seluruh dunia, di setiap keluarga, di setiap rumah...."

Tahukah kita siapakah kita sebenarnya? Kenalkah kita dengan diri kita sendiri? Sesungguhnya, kita sering merasa kenal ya, merasa jauh mengenal orang-orang lain yang setiap hari kita perbincangkan, namun saat berbicara tentang diri kita sendiri, tiba-tiba kita bisa menjadi bungkam. Bingung dan khawatir. Kita bingung, karena kita tak mengenal siapa kita, apa keinginan kita yang sesungguhnya, dan mengapa kita harus ada di sini. Kita takut dan khawatir karena kita merasa bahwa apa yang telah kita lakukan, atau paling tidak, kita pikirkan, adalah suatu kesalahan, suatu dosa yang mungkin kita rasa jauh lebih memalukan daripada saat kita membicarakan dosa dan kesalahan orang lain. Maka kita bungkam terhadap diri sendiri sambil terus menerus membicarakan kelemahan orang lain se akan-akan kita tak pernah melakukan kesalahan yang sama. Nyatanya?

Dengan perlahan dia bangkit dari lamunannya yang panjang. Sambil tertatih-tatih, dia berjalan keluar dari kamarnya, melintasi lorong-lorong sempit yang muram di tengah kepengapan udara yang mampu mencekik hidupnya. Dia, seorang aktivis yang pada suatu malam yang kelabu ditangkap oleh pihak yang berwajib dalam razia obat terlarang. Dia terbukti mengkonsumsi sabu-sabu dan akhirnya harus meringkuk di unit rehabilitasi ini. Dia. Ah, siapakah dia sebenarnya? Dia tapi bukan dia....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...