21 November 2009

SAAT JOGGING MENJELANG FAJAR

Suasana masih gelap. Aku sedang berada di antara puluhan orang yang memenuhi sepanjang jalan ini sambil berlari-lari kecil. Kesegaran udara menjelang fajar ini memasuki dadaku dengan rasa dingin yang lembut. Deretan ruko yang berjejer, pantulan lampu di jalan yang basah karena hujan semalam, beberapa pepohonan yang daunnya nampak rimbun seakan mengucapkan salam kepadaku, kepada kami yang berada dan melintas di samping mereka, kepada alam yang bersiap menyambut pagi. Satu dua orang nampak berhenti di tepi jalan, sambil melakukan gerak badan sederhana. Hidup dimulai kembali setelah lelap sepanjang malam.

Di depanku, sepasang remaja sedang berjalan dengan santai, sambil bertutur kata. Dan di emperan toko yang masih tertutup rapat, beberapa gerobak penjual makanan kecil nampak dalam cahaya yang masih samar-samar. Beberapa anak-anak kulihat berlarian di depan orang tua mereka yang berteriak memanggil. Ah, suasana yang sungguh menyenangkan. Dunia seakan muncul tanpa beban di pagi menjelang fajar yang menyegarkan hati ini. Tetapi bukankah hidup memang harus demikian? Bukankah tiap insan, tiap kehidupan memiliki rasa gundah dan kekhawatirannya sendiri. Dan tak seorang pun dapat menolaknya. Jadi mengapa kita harus terbebani dengan perasaan tersebut terus menerus? Hidup berjalan, dan kita tahu itu, dengan atau tanpa kita, maka untuk apa terus menerus menenggelamkan diri dalam ketakutan dan kekhawatiran kita? Bukankah kita hidup untuk dinikmati dan bukan untuk disesali dan dikhawatirkan? Penyesalan dan kekhawatiran kita toh sering tak ada gunanya jika kenyataan memang harus terjadi demikian.

Langit perlahan mulai memancarkan cahayanya yang indah. Dan warna kesuraman yang tadinya nampak di sekelilingku, kini mulai terusir oleh terang yang tiba perlahan. Ah, tak ada gelap yang abadi. Tak ada penderitaan yang tak berakhir. Pada saatnya nanti, semuanya bisa berubah. Semuanya akan berubah. Dan memang demikian adanya. Segala keputus-asaan dan kekecewaan kita dalam menghadapi situasi yang demikian membelit kita sekarang, akan usai juga. Siapakah yang dapat mengatakan suatu kepastian tentang hari esok? Bisakah kita mengatakan bahwa duka lara kita tak berujung? Siapa yang tahu? Siapa yang bisa tahu.

Dengan kesegaran yang memenuhi dadaku, aku berlari kecil menyusuri sepanjang jalan raya ini, bersama puluhan manusia lain sambil menikmati panorama yang membentang di hadapan kami. Senang atau susah, gembira atau sedih, hidup akan berjalan terus. Dan bukankah di antara kegembiraan dan kesedihan kita, alam tetap menampilkan keindahan yang sama untuk dinikmati? Kita telah diberi anugerah untuk hidup, kita telah diberi kesempatan untuk menikmatinya, jangan sia-siakan itu. Malam telah usai. Pagi telah tiba. Dan cahayanya yang indah memenuhi langit yang biru. Langit yang amat biru.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...