Suatu ketika,
ada seorang yang bercerita kepadaku, dengan nada bangga, tentang
betapa hebatnya seorang teman yang dikenalnya. Teman yang juga punya
deretan gelar di belakang namanya sehingga rasa-rasanya malah lebih
panjang dari namanya sendiri. Dan dia, dengan penuh semangat
memuji-muji sang sahabat sebagai seseorang yang sempurna, bahkan
sangat sempurna sebagai seorang manusia. Karena gelarnya. Karena
kekayaannya. Mungkin karena sang sahabat telah memberikan sumbangan
dana yang sangat besar untuk kegiatan pembangunan rumah ibadat yang
sedang dilaksanakannya.
Gelar.
Kekayaan. Tiba-tiba aku merasa betapa dua hal tersebut jarang saling
terkait. Atau bahkan tidak seharusnya saling terkait. Tetapi di
negeri dimana gelar dapat diperoleh dengan menghapal, atau bahkan
mungkin hanya dengan membeli tanpa perlu belajar, apa artinya sebuah
gelar? Pendidikan kita lebih mengutamakan penghapalan dari pada
pemahaman, lebih mementingkan isi dompet daripada isi kepala,
sehingga walau kita sebenarnya belum atau tidak paham tentang ilmu
yang kita dalami, tetap dapat memperoleh secarik kertas yang bernama
ijazah karena kita mampu untuk menghapal semuanya. Atau jika
tidakpun, kita bisa membelinya.
Maka
nampaknya, pujian dan kebanggaan seseorang lebih tertuju pada materi
daripada pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang harus dihapal,
bukan sesuatu yang mesti dipahami. Dan selama kita mampu menghapal
baris demi baris apa yang ada di buku teks yang dijual kepada kita,
selama kita mampu membayar sebesar harga yang ditawarkan kepada kita,
dengan mudah kita dapat memperolehnya. Sebab itulah, tidak jarang
kita bersua dengan mereka yang punya gelar sangat panjang tetapi
ternyata hanya memiliki pola pikir yang sederhana dan opini yang
hitam putih melulu.
Padahal,
pengetahuan haruslah dipahami. Demikian pula kehidupan ini, haruslah
dimengerti. Dunia pengetahuan adalah sebuah dunia yang dinamis, penuh
perubahan, dan kita harus menciptakan perubahan itu tanpa terkungkung
dalam teori yang mandek, hampa dan bisu. Sungguh, pemahaman jauh
lebih penting daripada penghapalan. Sebuah gelar yang diperoleh hanya
dengan menghapal, apalagi cuma dengan sekedar membayar, tidak punya
nilai untuk dapat dibanggakan. Sama sekali nihil nilai.
Jangan heran
jika sesekali kita merasa takjub mendengar pendapat seseorang yang
tanpa gelar dalam percakapan sehari-hari jika dibandingkan dengan
pendapat mereka yang punya gelar panjang dan ditulis sebagai berita
utama di koran-koran. Kebijaksanaan yang berbeda, kadang sangat jauh
antara langit dan bumi, tetapi siapakah dia yang tanpa gelar sama
sekali untuk dapat diambil opininya sebagai berita utama? Maka
bagiku, gelar tidak punya arti apa-apa. Yang menentukan adalah
bagaimana seseorang dapat memahami hidup ini. Bagaimana seseorang
mampu mengerti apa yang sedang dihadapinya. Bukan secara teori saja
tetapi berdasarkan praktik secara langsung. Secara nyata.
Gelar.
Kekayaan. Jika keduanya saling kait mengait, maka yang dapat kita
peroleh hanyalah sebuah rangkaian kata di belakang nama tanpa arti
sama sekali. Sebab itu, janganlah terkejut bila suatu saat kita
mendengar atau membaca atau menonton berita betapa seseorang yang
memiliki gelar panjang, sangat panjang, terlibat dalam kegiatan yang
tidak halal. Korupsi. Fanatisme. Kekerasan. Karena gelar hanyalah
sesuatu yang dapat diperoleh dengan menghapal dan membeli. Bukan
dengan memahami. Bukan dengan mengerti. Dan gelar sepanjang apapun
ternyata gagal menciptakan kemajuan dan perubahan. Nihil nilai.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar