Mors
ianua vitae
Aku memandang
ke jasad yang kurus itu sambil membayangkan kehidupan yang telah
dilaluinya. Membayangkan bagaimana dia kala bayi yang mungil
menggemaskan. Saat balita dengan kelincahannya yang tak bisa
dibendung untuk menjangkau apa saja yang dilihatnya. Saat memasuki
masa remaja dengan keberaniannya untuk meraih semua yang
dihasratkannya. Saat dewasa dengan ketak-sabarannya ketika menemukan
sesuatu yang salah dalam pandangannya. Dan saat mulai berumur ketika
pengalaman hidup telah mengajarkan kepadanya banyak hal untu mulai
lebih sabar dalam menghadapi dan menerima ketidak-sempurnaan dunia
ini. Serta saat-saat akhir ketika usia tua dan penyakit mulai
menggerogoti dagingnya, ketidak-mampuannya untuk bergerak lagi walau
semangatnya tak pernah surut.
Aku memandang
ke jasad yang kurus itu sambil mengingat kembali bulan-bulan terakhir
dalam hidupnya. Khususnya di suatu hari menjelang senja ketika aku
datang mengunjunginya. Wajahnya yang terlihat lesu mengarah ke arah
jendela sambil memandang lalu-lintas yang sedang ramai: kendaran yang
seakan saling berkejaran, pekik klakson dan berbagai suara lain yang
memasuki ruangannya yang sepi ini. Dia duduk di sebuah kursi kayu,
dan sesekali nampak menghela napas panjang. Waktu yang lewat seakan
telah meninggalkannya. Bahkan melupakannya. Dan tiba-tiba aku merasa
iba. Aku bukan iba karena penyakit dan usia tua yang terus mengikis
kekuatan tubuhnya. Bukan sama sekali. Sebab setiap kehidupan kelak
akan mengalami hal yang sama walau dalam bentuk yang berbeda-beda.
Aku merasa
sadar bahwa penderitaan yang sesungguhnya bukan hanya penyakit
daging, tetapi perasaan sepi dan bosan. Sendirian tetapi tidak tahu
harus berbuat apa. “Sering aku
mau omong-omong dengan seseorang, tetapi tak ada yang berada di
dekatku. Atau ada tetapi hanya pura-pura mendengarkan. Sering pula
aku ingin berdiri, bekerja sesuatu yang kuinginkan tetapi keinginan
itu hanya ada dalam kepalaku karena tubuhku tak mampu lagi mengikuti
pikiranku.” Demikian keluhnya
suatu ketika. “Maka inilah
hidupku sekarang, duduk dan duduk tanpa bisa berbuat sesuatu
sementara pikiranku masih jernih dan perasaanku masih punya semangat
untuk berbuat sesuatu. Pikiranku telah dikalahkan oleh ragaku
sendiri. Setiap hari aku merasa sepi dan bosan. Sepi dan bosan. Tidak
tahu harus berbuat apa selain dari hanya mengalami sakitku
saja.......”
Aku memandang
ke jasad yang kurus itu sambil membayangkan bahwa saat ini dia pasti
telah berbahagia. Karena pada akhirnya kesepian dan kebosanannya
telah usai. Dan sambil memandang ke sekelilingku, ke wajah-wajah yang
sebagian kukenal tetapi jauh lebih banyak terasa asing bagiku,
tiba-tiba aku merenungkan, berapa banyakkah dari antara kita yang
sadar bahwa sesungguhnya penderitaan terberat dalam hidup ini justru
bukan saat kita menderita sakit? Bagiku, perasaan sepi dan bosan
sungguh merupakan siksaan yang berat dan perasaan itu bisa kita alami
juga di saat kita sama sekali tidak menderita penyakit apapun. Sepi
dan bosan dapat menjerumuskan kita ke dalam kesesatan atau bahkan
dapat membuat kita menjadi sungguh-sungguh sakit dan mematikan walau
kita masih tetap hidup. Tetapi mereka yang sakit, yang masih
dikelilingi oleh sanak keluarga dan sahabat yang mau mendengarkan dan
selama dia mampu untuk melakukan kegiatan yang disenanginya,
sesungguhnya tetap hidup walau dengan tubuh yang sakit sekalipun.
Sepi. Bosan.
Belajarlah padanya. Itulah hidup!
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar