Apa yang
hilang di tengah kita saat ini adalah kepercayaan. Bukan saja
kepercayaan kepada orang lain, tetapi juga dan terutama kepercayaan
kepada diri sendiri. Sebab, hanya mereka yang tidak punya kepercayaan
terhadap kemampuannya sendiri yang selalu ingin menghabisi
lawan-lawannya. Hanya mereka yang tidak percaya diri yang menolak
adanya perbedaan dan selalu ingin menjadi satu-satunya yang hidup,
satu-satunya yang ada. Bagi mereka, kebenarannya harus ditegakkan
sebagai kebenaran mutlak. Sebagai kenyataan tunggal. Tetapi nampaknya
mereka lupa bahwa sikap itu justru merupakan sikap yang penuh
egoisme, penuh kepentingan diri....
Ya, bagi
mereka yang tidak percaya diri, perang adalah satu-satunya jawaban.
Kekerasan adalah satu-satunya jalan. Pembasmian adalah satu-satunya
cara. Untuk memusnahkan yang lain. Untuk meniadakan yang berbeda.
Sehingga dunia dapat ada untuk dirinya sendiri. Dunia dapat menjadi
milik pribadi. Tanpa tantangan. Tanpa perdebatan. Tanpa tanya-jawab.
Semua kebenaran hanya bagi dirinya. Dan demi dirinya semata. Tetapi
tidakkah ada kesadaran bahwa dunia yang mereka dambakan adalah sebuah
dunia yang kosong? Sebuah alam yang hampa dan tak punya makna? Sebuah
dunia dengan satu warna yang akan demikian membosankan sekaligus
menakutkan?
“How
many deaths will it take till he knows, that too many people have
died...” demikian penggalan
lagu indah dari Bob Dylan,
“Blowing In The Wind”.
Berapa banyak kematiankah harus terjadi sebelum manusia sadar betapa
sia-sianya semua usaha dengan kekerasan, perang, teror hingga
pembantaian terhadap sesamanya? Aku menang, kau menang, kita menang,
mereka menang, apakah artinya semua itu jika yang tertinggal hanya
jasad-jasad yang membisu kaku dan kita semua kehilangan saudara
tempat tukar pikiran dapat berbuah kebijaksanaan tentang hidup ini?
Apa yang
lenyap di antara kita sekarang adalah kepercayaan. Kepercayaan bahwa
kita semua mampu untuk menyelesaikan perbedaan dengan saling bertukar
pikiran. Dan kepercayaan terhadap diri sendiri untuk menerima mereka
yang berbeda pendapat, ide, suku, agama, ras dan aliran bukan sebagai
musuh yang harus dihabisi tetapi sebagai teman bertukar pikiran agar
bisa menghasilkan tujuan yang lebih mulia daripada hanya kepentingan
diri dan kelompok kita saja. Tetapi sayangnya, kita tidak lagi
percaya bahwa Yang Maha Kuasa sesungguhnya memberikan anugerah
perbedaan itu untuk dapat saling mencari dan menemukan kebenaran.
Kita justru merasa sebagai Yang Maha Kuasa itu sendiri dengan
bersikap seakan-akan apa yang ada dalam pikiran kita sama dengan apa
yang dikehendaki-Nya. Sebagai kebenaran-nya. Sungguh sikap yang
teramat angkuh. Sekaligus sia-sia. Sangat sia-sia.
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar