“You
tidak tahu siapa saya? You
berani macam-macam dengan keluargaku? Awas kau....”
Suara yang
meninggi itu kudengar di suatu pagi, diucapkan oleh salah seorang
kenalanku ketika berbicara melalui handphone-nya
dan membuatku terpana. Dan ketika, setelah dia selesai berbicara, aku
menanyakan, ada apa?, dia menjawab bahwa ada adik perempuan-nya yang
ditangkap karena ketika keluar rumah berkendara, ternyata adik
perempuan-nya itu lupa membawa STNK mobil. Dan sebab dia melanggar
lampu pengatur lalu lintas akibat sedang terburu-buru untuk mengurus
sesuatu maka dia dihentikan oleh seorang polisi lalu lintas yang
sedang dinas di perempatan jalan tersebut. Mereka adalah anak seorang
pejabat yang cukup tinggi kedudukannya.
Saya, yang
sering bercakap-cakap dengan dia tentang apa saja, tapi terutama
mengenai situasi negeri, politik dan kasus-kasus korupsi yang telah
terjadi, merenungkan sikapnya itu. Dan sadar bahwa ternyata sering
terjadi, pendapat yang diutarakan berbeda dengan sikap yang
ditunjukkan. Sungguh berbeda. Dan saya kira, itu tidak hanya terjadi
padanya, tetapi pada saya, dia bahkan mungkin saja kita semua. Dalam
masalah yang terjadi pada orang lain, orang yang tidak kita kenal,
kita dengan mudah bersuara keras mengecam tetapi saat kita sendiri
yang terkena masalah, saat kepentingan kita terusik, sungguh bisa
sangat lain kelakuan kita. Kita semua. “You
tidak tahu siapa saya?....”
Sebenarnya
apa yang terjadi? Sungguhkah kita memang sudah kehilangan perasaan
malu? Ataukah menurut kita, aturan dan hukum hanya bisa berlaku bagi
orang lain, bukan bagi kita? Barangkali soalnya tidak sesederhana
itu. Saya berpikir bahwa kita semua, saat kedapatan berbuat salah
lalu membela diri seakan-akan tidak salah, karena merasa bahwa kita
diperlakukan tidak adil. Karena melihat kenyataan sehari-hari, betapa
banyaknya terjadi pelanggaran yang dibiarkan begitu saja, sementara
hanya pelanggaran kita saja yang diproses. Pelanggaran kita saja yang
dipermasalahkan. Ya, perasaan ketidak-adilan itulah yang sering
menjadi sebab mengapa kita semua bersikap menolak bahkan melawan
ketika ingin diproses atas pelanggaran dan kesalahan yang kita
lakukan.
Kini kita
semua hidup di tengah masyarakat yang sangat menomor-satukan materi.
Dan dengan kekuasaan dan kekuatan itulah kita dapat meraup materi
sebanyak-banyaknya. Bahkan tidak hanya hukum saja yang tergantung
pada berapa banyak materi yang kita miliki dan mampu kita bagikan.
Juga gelar, kedudukan dan kehormatan semuanya dapat dibeli dengan
materi. Kebanggaan yang, walau terkadang sangat mahal harganya,
selalu ingin kita raih sebagai manusia yang hidup di tengah
masyarakat. Dan jika kita tahu atau bahkan mengenal mereka-mereka
yang korup tetapi ternyata sangat dihormati, bagaimana kita dapat
menerima saat kita dipersalahkan hanya karena kita merasa apa yang
kita lakukan itu hanya soal yang sepele saja? Apalagi jika kita punya
relasi yang mampu kita pergunakan juga? Relasi yang mungkin memiliki
kekuasaan-kekuatan-kekayaan yang serupa?
Maka siapapun
kita, pada akhirnya harus mengakui bahwa, kesalahan seseorang atau
sekelompok yang lalu membela diri seakan-akan tidak bersalah
merupakan cermin kondisi ketidak-adilan yang demikian nyata di
sekeliling kita semua. Ketidak-adilan karena semuanya bisa dan
tergantung pada materi. Pada kekayaan-kekuasaan-kekuatan yang kita
miliki. “You
tidak tahu siapa saya?...” Tetapi kita sendiri, tahukah kita siapa
mereka? Mereka yang tak berdaya dan hanya bisa menerima saja
ketidak-adilan yang terjadi. Karena mereka hanya orang-orang kecil,
tanpa materi, tanpa kekuasaan dan tanpa kekuatan untuk membantah dan
melakukan perlawanan. Mereka, orang-orang sederhana itu. Yang jujur,
yang patuh terhadap hukum, yang sadar akan keterbatasannya sendiri.
Siapakah mereka? Tahukah kita?
Tonny
Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar