Katamu dulu, kau takkan meninggalkanku
Omong kosong belaka
Yang tersisa kini hanya rembulan
Bersinar purnama malam itu
Sama seperti saat ini
(Katamu Dulu – haiku Jepang)
Aku punya dua nama. Satu nama berada di desa kelahiranku. Satu nama lagi di kota yang gemerlap ini. Aku punya dua nama. Dua nama dengan dua kehidupan yang berbeda. Satu nama dikenal akrab. Satu nama lagi bukan siapa-siapa. Salahkah aku? Sementara ada yang mesti dihidupi di desa kelahiranku, nama yang satu berkeliaran di kota tanpa mengenal dirinya sendiri. Sesali apa yang harus disesali, namun hidup tak bisa kuhentikan.
Aku punya dua dunia. Satu putih bersinar. Satu kelam berkabut. Dan keduanya berada dalam satu tubuh. Dalam satu kehidupan. Munafikkah aku? Bukankah dalam menjalani hidup ini, aku mesti berjuang untuk menghidupi hidup? Bukankah, dalam menjalani hidup ini, aku mesti mengurbankan diri agar keluargaku tidak terpuruk semakin dalam dan kehilangan harapan untuk bertahan? Dan, jika aku adalah milik dunia ini, apa yang istimewa pada diriku sehingga aku harus disesali?
Nama dan dunia. Apakah artinya sekarang? Sedang dalam sejarah, kita semua hanyalah debu dalam angin. Berputar mengikuti gelombang waktu. Sering tanpa daya untuk menolak kepahitan dan keputus-asaan. Kita semua berjuang agar dapat tetap bertahan. Kadang dengan cara apa saja. Sering dengan cara apa saja. Sebab jika tidak, kita terpaksa harus mengaku kalah. Dan terlunta-lunta dalam dunia yang semakin melupakan kita. Kita hanya seorang diri. Kita cuma seorang diri saja.
Tangis, adakah gunanya lagi? Tawa, berartikah itu? Betapa sering tangis bersembunyi di balik tawa. Kata-kata indah. Nasehat-nasehat bijak. Semua rontok menghadapi kerasnya hidup. Ah, bukankah tak ada yang memberiku makan saat aku lapar? Dimanakah engkau saat aku haus? Bahkan kau menjadikanku seorang asing setelah menggusur kediamanku. Dan menjadikanku telanjang setelah kau rampas seluruh upayaku untuk tetap bertahan hidup. Sehingga sisa tubuh ini yang ada. Hanya tubuh ini yang tertinggal. Sesali apa yang mesti disesali, tetapi jangan salahkan aku. Sebab kini aku harus hidup dan menghidupi. Tidakkah demikian juga dengan engkau?
Maka janganlah menghakimi siapa-siapa, sebelum mampu untuk menghakimi ketak-berdayaan kita terhadap kehidupan ini. Sebelum kita mampu untuk memberi makan kepada yang lapar. Sepanjang kita gagal memberi minum kepada yang haus. Saat kita tak mau memberi tumpangan kepada yang terasing. Dan bahkan kita tak bisa memberi pakaian kepada yang telanjang serta pengobatan kepada yang sakit dan tak berdaya. Sebab mereka juga mesti hidup. Mereka juga harus hidup.
Dua nama. Dua dunia. Dua kehidupan. Pantaskah kita salahkan? "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Sabda Yesus.
A. Tonny Sutedja
Vita Brevis. Hidup itu singkat. Maka jangan pernah berputus harap. Dum Spiro, Spero. Selama aku bernafas, aku berpengharapan. Tetaplah berjuang!
27 Desember 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
WAKTU
Sering, saat malam kelam, aku menatap puluhan, ratusan bahkan ribuan bintang yang kelap-kelip di langit di atas kepalaku. Panorama yang ha...
-
Kita tahu bahwa kita ini hanya setitik debu di lautan sejarah yang tak terbatas Kita tahu bahwa rasa sering tak bisa kita sampaikan ...
-
Adalah menakjubkan, hanya dengan 26 huruf, begitu banyak kata dan kalimat tersusun, begitu banyak buku tercipta, begitu banyak kata terpaha...
-
Perlahan-lahan kendaraan yang kami tumpangi melewati jalanan yang berliku, rusak parah dan dipenuhi dengan lumpur kecoklatan. Di sebelah kir...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar