31 Desember 2007

RUMAH DAGING

    Ada waktu. Ada tempat. Ada kisah. Ada seorang rahib paroh baya yang teramat mashyur namanya. Dia terkenal sebagai orang yang amat saleh dan teguh berpegang pada ajaran tertulis yang tercantum pada kitab suci agamanya. Dia menjadi langganan para raja, pangeran, pembesar dan saudagar-saudagar kaya untuk membagikan kekayaan imannya, berkhotbah di gedung-gedung megah, istana-istana yang indah gemerlapan bergelimang materi. Demikianlah dia hidup dalam dan bersama kalangan elit kerajaan.

Suatu hari terjadilah bencana alam dashyat: gempa menggoncang seluruh negeri, sendi-sendi bangunan terangkat, tembok dan langit-langit yang terbuat dari batu pualam runtuh. Sang rahib yang pada saat itu berada di aula suatu kuil indah terjebak di balik puing-puing batu raksasa dan pecahan kristal yang tumpang tindih memerangkapnya. Di dalam keterjepitannya itu, selain sajian persembahan yang berserakan di atas altar, tidak ada sesuatu yang lain yang dapat mengganjal perutnya. Tetapi, sesuai dengan nas pada kitab sucinya, adalah amat terlarang untuk menikmati sajian persembahan bagi para dewa-dewi: suatu dosa yang amat berat dengan hukuman pengucilan diri. Selama beberapa hari dan malam dia bertahan untuk tidak menyentuh persembahan itu tetapi pada akhirnya dia menyerah karena bantuan yang diharapkannya tidak juga tiba. Maka demikianlah, dia dapat memperpanjang hidupnya dengan hidangan tersebut hingga dia diselamatkan. Setelah dia kembali ke tengah masyarakat maka tersebarlah kabar di antara para raja dan bangsawan serta kalangan elit lainnya mengenai perbuatannya yang melanggar hukum agama. Namanya pun ambruk. Di mana-mana dia dinistakan, dianggap wabah dan dia pun ditolak di kalangan yang dulu demikian memujanya. Dia merasa sedih, putus asa dan bahkan pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya tetapi syukurlah dapat diselamatkan. Kemudian dia menghilang dan namanya tidak lagi disebut-sebut orang. Dia kemudian dilupakan.

    Belasan tahun kemudian, seorang pengembara tiba di suatu kota kecil di perbatasan kerajaan itu. Suatu kota yang sebagian besar penduduknya amat miskin, di mana orang-orang sakit dan orang-orang lapar bergelimpangan di sudut-sudut kota. Pengembara itu kemudian menemukan seorang tua yang rajin mendatangi dan memberi makan kepada rakyat miskin papa itu. Setelah menyelidiki dengan seksama sumber pangan yang dibagikan oleh orang tua tersebut maka gusarlah sang pengembara. Ternyata orang tua itu telah mengambil sajian persembahan dari kuil kota dengan pengetahuannya pada liku-liku kuil tersebut. Sajian persembahan yang diwajibkan oleh nas kitab suci dan merupakan makanan sakral bagi para dewa-dewi yang amat suci dan haram untuk disentuh. Hidangan tersebut harusnya dibiarkan membusuk sebagai tanda telah disantap oleh para dewa-dewi agar mereka yang memberikan persembahan itu dapat diberkati dan diberikan kemakmuran. Dengan berapi-api pengembara itupun datang menemui orang tua tersebut dan memaki-makinya. Orang tua itu diam saja. Setelah kegusaran pengembara itu agak reda maka berkatalah orang tua itu:"Makanan ini mungkin terlarang tetapi mati karena lapar jauh lebih berdosa lagi jika dibiarkan. Sebab itu nak, bagiku, jauh lebih berguna menghidupi orang-orang lapar dan sakit daripada para dewa-dewi itu karena mereka tidak, tidak akan pernah mengalami penderitaan demikian".

Kisah ini diilhami dari novel "Rumah Daging" karangan Yusef Idriss

A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...