28 Desember 2007

KOKOLEH

Malam yang dingin. Aku berdiri bersama segerombol remaja di jalan yang sunyi di kampung ini. Langit malam tanpa bulan menampilkan ribuan atau bahkan jutaan percik-percik cahaya bintang. Gemerlapan bagai manik-manik pada sutera hitam. Kokoleh. Hanya ada satu dua rumah yang memancarkan cahaya listrik dari pendopanya. Kami saling bertutur tentang kehidupan. Kami saling melempar gurauan dan kisah yang sering terasa tak bermakna. Bahkan tolol. Tetapi inilah kami. Dan inilah aku, malam ini.

    Betapa anehnya. Di sini masa silam dan masa depan tidak punya arti apa-apa. Kami hidup sekarang dan saat ini. Tahu bahwa esok hari, mungkin penderitaan dan kekecewaan akan datang lagi menghampiri hidup, kami tidak peduli. Malam sungguh indah, jadi mengapa harus dilewatkan dengan kekhawatiran-kekhawatiran itu? Apakah jika kita khawatir kita lalu bisa mengubah hidup kita menjadi lebih baik? Tidak, malam ini kami berkumpul sambil melemparkan gurauan-gurauan semu. Seakan hidup ini menyenangkan belaka untuk dijalani. Mengapa tidak? Ya, mengapa tidak?

    Aku tiba-tiba teringat pagi hari tadi, saat masih di kota yang sibuk dengan lalu lalang kendaraan. Jalan-jalan yang macet dan bunyi klakson berdenging-denging di telingaku. Setiap kendaraan seakan ingin menyingkirkan lawan, ya lawan, di depan yang menghalangi jalannya. Betapa bedanya. Betapa bedanya. Dunia persaingan dan dunia keselarasan. Dunia kota dan dunia pedesaan. Kemoderenan seakan ingin mengajak kita untuk melepaskan segala kesabaran kita dalam menghadapi dunia ini. Seakan mengejar-ngejar kita agar dapat meraih segala ambisi, hasrat dan kenikmatan hidup hanya pada satu titik saja, kesenangan materi dan ragawi. Kita hidup bersama segala kemudahan serba instan dan remote-control yang bahkan lebih pelik dalam jiwa kita daripada kesederhanaan malam yang dingin dan indah saat ini.

    Kembali di sini, aku merasakan semilir angin meniup wajahku. Dan sayup-sayup suara gemericik air dari kali kecil yang mengalir di kejauhan. Kami berdiri bergerombol sambil berkisah tentang dunia, tapi tak pernah mengetahui apa kata dunia kepada kami. Karena tiba-tiba aku menyadari bahwa itu sama sekali tidak perlu. Karena kamilah dunia itu. Ya, kamilah dunia itu. Dunia yang berputar dengan sabarnya, pagi-siang-malam. Dan hidup yang mengalir tanpa ketergesaan. Karena bagi kami, waktu tidak memiliki kami. Sebaliknya, waktu adalah milik kami. Ya, di sini, di kampung yang sederhana ini, aku tersadar bahwa seharusnyalah waktu adalah milik kita semua. Kita tidak perlu mengejar-ngejar dia karena kita selalu bersama dia.

    Ada seseorang memetik gitarnya. Dan seseorang lagi melantunkan sebuah lagu. Tak berapa lama, kami pun ikut bernyanyi bersama. Ada yang bersuara indah. Ada yang bersuara fals. Tetapi siapa peduli? Hati kami dipenuhi musik indah. Hati kami larut bersama jejeran pepohonan palma dan diiringi jutaan cahaya bintang di atas kepala kami.

"And all I can do is hope and pray

Maybe my love will come back someday

Only heaven knows

And maybe our hearts will find a way

Only heaven knows

And all I can do is hope and pray

'cause heaven knows

Heaven knows

Heaven knows"

Ya, kami semua berharap dan berdoa, semoga suatu kelak, kami semua dapat berkumpul kembali bersama dalam suasana yang sama seperti dulu. Dan malam masih tetap bersama manik-manik selimut sutera hitamnya. Tidak dipenuhi pendaran cahaya buatan dari lampu-lampu jalan dan aneka papan reklame yang menghabiskan segala keindahan alami sang malam yang sedemikian sabar, indah lembut ini. Dan jejeran pepohonan di samping kami tidak berubah menjadi tembok-tembok beton yang kasar, kaku dan berdiri angkuh seakan menantang kehidupan. Kami semua berharap. Berharap.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...