28 Desember 2007

DOMBA DAN SERIGALA

Ketika kegembiraan lenyap. Tawa ria menguap. Rasa sakit mengendap. Pedih. Luka. Sepi. Tak berdaya. Hidup pun kehilangan arti. Tanpa harapan. Hampa. Tak bermakna. Bayang-bayang kematian menghampiri. Kau pun mengatakan bahwa tak ada apapun yang dapat mengobati nasibmu. Tak ada seseorang pun yang mampu memahami hidupmu. Bahkan kau menjadi najis di hadapan keluarga. Masyarakat. Dunia. Dan Tuhan. Bahkan bagi dirimu sendiri. Ya, katamu, kau telah hancur dalam dosa. Kau telah tersisih dari kehidupan normal. Kau tak lagi punya harga. Dan mungkin, tulismu, mati adalah satu-satunya jalan keluar yang logis. Mati. Lalu usai.
Dapatkah aku memberi solusi padamu? Jujur saja, dalam suratmu yang panjang kau membeberkan perjalanan hidupmu yang menghentak hatiku, aku tidak tahu dan tidak mampu untuk memberikan jawab. Ya, aku tidak mampu. Saudariku, hidup memang merupakan rentetan pertanyaan yang, sebagai manusia biasa, sering tak mampu terjawab. Apalagi untuk memberikan solusi padamu. Terkadang bahkan, nasehat ataupun pandangan, bisa bias. Sebab duka, sakit hati, kepedihan, dan ketak-berdayaan menghadapi hidup hanya bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang mengalaminya sendiri. Ya, hanya kau sendiri yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu untuk menghadapi masa depan yang ada di depanmu.
"Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” Begitulah kata Yesus kepada para muridNya, ketika Dia mengutus mereka. Ya, lingkungan hidup kita, lingkungan masyarakat kita bukanlah sebuah tempat yang aman sentosa. Bahkan jauh lebih sering nampak sebagai liang yang berisi gerombolan serigala yang siap saling memangsa satu sama lain. Dan kita, kita semua, sadar atau tidak, terbentuk dari lingkungan demikian. Cara pikir kita, pola perbuatan kita, dan alur perasaan kita semua mengikuti apa yang kita lihat, kita alami dan kita rasakan di sekeliling kita. Ya, kita terbentuk dan dibentuk oleh lingkungan yang sama dan karena itu, apa yang dianggap salah oleh masyarakat, adalah juga salah oleh pikiran dan perasaan kita. Itu hal yang lumrah.
Maka, membaca riwayat yang kau tuliskan kepadaku, bagaikan membaca satu kehidupan yang telah pasrah lalu siap untuk menyerah. Menyerah untuk hidup. Tetapi haruskah itu? Saudariku, ingatlah bahwa tubuhmu, tubuh kita yang fana ini, hanyalah sebentuk mesin. Mesin yang terbuat dari daging dan tulang. Dan bahannya adalah sel-sel kecil yang dinamakan kromoson. Itu saja. Apa yang terjadi pada mesin itu - mesin akan usang, rusak dan mati suatu hari kelak - tidaklah perlu dirisaukan. Tetapi jiwa kita, jiwa yang berasal dari nafas hidup Allah sendiri, perlu dipertahankan sebagai anugerah terindah dari sang Pencipta sendiri. Tugas kitalah sebagai penerima talenta kehidupan ini, untuk mempertahankan dan memperjuangkan kegunaan dari tubuh yang telah diberikan kepada kita selama hidup di dunia ini. Mengapa harus merisaukan segala luka, siksa dan derita yang menimpa tubuh kita? Selama jiwa kita tetap tegar, selama itu pula kita akan mampu memperbaiki segala yang telah terjadi.
Dan tentang nama baik, apakah nama baik itu? Masyarakat cenderung dengan mudah mempersalahkan apa yang telah kita lakukan, baik secara sadar atau pun tidak, tanpa mempertanyakan atau menyelidiki alasan-alasan perbuatan itu. Masyarakat, termasuk kita juga, selalu berpikir pada akibat sesuatu perbuatan tetapi jauh lebih sulit untuk menyelidiki sebabnya. Karena apa yang terjadi sekarang jauh lebih mudah dilihat dari pada apa yang menjadi sebab di masa lampau yang luput dari perhatian kita. Oleh sebab itulah Yesus pernah menantang: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Ya, siapakah diantara kita yang tidak punya dosa? Siapa? Lagipula, sebab di masa lampau demikian mudah dilupkan. Jadi bukankah, masa sekarang, kelak pun akan menjadi masa lampau pula? Masa sekarang di masa depan pun hanya akan menjadi puing-puing yang terlupakan. Bahkan mungkin oleh kita sendiri.
Luka batin. Jerit tangis dalam hati. Kekecewaan. Kehancuran diri. Siapa yang tidak punya? Atau siapa yang luput dari hal-hal demikian? Jika kau bertemu seseorang, atau sekeluarga yang menampakkan senyum di wajah mereka, pastikah bahwa mereka berbahagia? Tidak mungkinkah, bahwa di balik senyum atau bahkan tawa riang yang demikian menyenangkan itu, tersembunyi duka lara yang tak terhapuskan? Saudariku, manusia adalah mahluk yang unik. Dia dapat terasing dari lingkungannya, bahkan dari dirinya sendiri tanpa menampakkan keterasingannya. Banyak, ya banyak orang yang mampu memakai topeng seumur hidupnya. Siapakah yang sungguh-sungguh bisa mengetahui isi hati seseorang? Tengoklah ke sekelilingmu, tataplah wajah-wajah yang berada di depanmu, dan cobalah meraba isi hati mereka. Isi hati dibalik senyum atau ke-sinis-an mereka. Mampukah kau menebaknya dengan tepat? Tidak, tak seorang pun sanggup. Bahkan mereka yang paling akrab sekalipun takkan sanggup menebak perasaan pasangan mereka dengan tepat. Jika demikian, masihkah kau menyerah? Masihkah kau merasa diperlakukan tidak adil? Masihkah kau merasa bahwa hanya kaulah satu-satunya di dunia ini yang paling menderita akibat kekerasan hidup?
Bahkan pun, jika kau menyerah untuk hidup, ingatlah bahwa di depan jasadmu yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi itu kelak, mereka-mereka yang pernah memandangmu dengan sinis akan mendapatkan pembenaran atas pendapat mereka. Bagi kita, manusia-manusia lemah ini, kebenaran adalah apa yang nampak. Padahal, kebenaran bisa tersembunyi jauh di lubuk hati seseorang. Tidak, saudariku. Kau tidak perlu melakukan itu. Kau harus berjuang, kau harus melawan, kau harus tetap memegang erat lilin pengharapan yang masih kau pegang saat ini. Dan lilin pengharapan itu adalah hidupmu sekarang. Dum spiro, Spero. Selama kita masih bernafas, kita tetap punya harapan. Ya, hidup memang adalah perjuangan. Dan di dalam perjuangan untuk hidup itu, kita mungkin kalah. Kita mungkin akhirnya tersingkir di dalam ketidak-berdayaan kita. Tetapi paling tidak, kita kalah setelah berjuang. Kita kalah setelah dengan gigih mempertahankan kehidupan dan kebenaran kita. Kita jangan kalah oleh rasa putus asa dan tidak berguna. Kita jangan takluk oleh rasa sakit ditinggalkan atau kecewa karena terlupakan. Tetapi takluklah setelah Tuhan memanggil kita pada waktunya kelak. Hanya pada waktunya kelak. Saudariku, kaulah domba yang diutus ke tengah-tengah serigala. Karena itu, bersikaplah cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.
Bangkitlah untuk hidup. Dunia itu indah. Berdirilah dengan tegak. Hidup itu ajaib. Berjuanglah dengan tegar. Tuhan Maha Pengasih. Dia menciptakanmu bukan untuk menyerah. Bukan untuk terus menerus menyesali masa lampaumu. Bukan untuk hanya mengeluh dan mengkambing-hitamkan sesama atau lingkungan hidupmu atau bahkan Tuhan, sebab Dia mencintaimu. Bukan pula untuk hanya duduk sambil menunggu suatu keajaiban tiba-tiba muncul lalu segala sesuatu dapat menjadi lebih baik. Bukan, bukan untuk itu kau hidup, saudariku. Kau hidup bukan untuk menerima keajaiban. Kau hidup untuk menjadi keajaiban itu sendiri. Dan kau wajib memberikan keajaiban untuk dunia. Itulah talentamu. Jangan sia-siakan. Kaulah mujizat itu.
Inilah catatanku untukmu saudariku. Sebuah catatan, tanpa solusi, sebab solusi sesungguhnya berada di dalam keputusanmu sendiri. Dan, sebagai penutup, inilah kutipan indah dari kata-kata Alexander Graham Bell: “Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Sayang, kadang kita terlalu terpaku melihat dan menyesali pintu yang telah tertutup itu, sedemikian lamanya, sehingga gagal melihat pintu lain yang telah terbuka...” Harapanku, semoga pintu lain yang telah terbuka dapat segera kau temukan. Bukan dalam mati. Tetapi dalam hidup. Agar kelak, kau bisa mempertanggung-jawabkan hidupmu kepada sang Pencipta. Di dunia ini, tidak ada kegagalan yang abadi. Tidak ada kesalahan yang abadi. Tidak ada dosa yang abadi. Selama kita hidup. Karena semua itu urusan Dia. Bagi kita, yang ada hanya keengganan kita untuk merubah hidup. Dan aku harap kau tidak enggan untuk merubah hidupmu sambil melihat ke pintu-pintu lain yang terbuka. Jangan pernah menyerah. Jangan.
Buat seseorang yang mengirimiku email yang indah
A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...