27 Desember 2007

OPA

Gerimis telah tiba. Hari pertama di awal november tahun 2006. Kami melangkahi tepi selokan yang semennya terkelupas dan longsor disana sini. Kawasan yang sedemikian padat ini, nampak kumuh. Pondokan terbuat dari kayu dengan dinding tripleks bekas. Kadang ditempeli dengan kertas koran atau majalah bekas. Kami sedang mengunjungi sebuah keluarga yang sedang berduka. Opa tua, opa yang pada saat-saat kami datangi dulu untuk memberi komuni bagi oma kelihatan amat sehat dan tegar, telah dipanggil Tuhan. Opa yang nampak sehat, sedang oma yang sudah lama sakit-sakitan karena rematik, telah mendahului istrinya. Suatu kejutan juga bagi kami saat mendengar berita itu. Ketika aku dikabari lewat SMS, aku kira berita itu salah. Bahwa yang meninggal bukanlah opa melainkan oma. Tetapi ternyata memang, berita itu benar. Opa yang pergi.
Rumah itu nampak sederhana. Deretan kursi tamu yang lusuh dengan banyak tambalan di sana-sini. Mereka memang hanya tinggal berdua saja di rumah ini. Di salah satu sudut rumah nampak tertempel foto tua opa, gagah dalam seragam polisinya. Tubuhnya yang kini kaku, terbaring di atas dipan tua, nampaknya setua tubuh itu sendiri. Oma yang berdiri di samping jenasah, nampak pasrah dan tidak menyadari kehadiran kami. Oma berkata, bahwa bukan suaminya yang meninggal. Suaminya sedang keluar berbelanja kebutuhan mereka sehari-hari setelah menerima uang pensiunnya. Memang, kata berita yang kami terima, pagi hari opa masih pergi ke Bank untuk menerima uang pensiun lalu setelah tiba kembali di rumah, opa keluar lagi untuk berbelanja dan membayar utang mereka. Pulangnya, opa merasa tidak enak lalu berbaring di atas sofa tua itu dan meninggal di sana. Oma, yang sudah pikun, memanggil tetangga dan mengatakan bahwa dia takut karena ada seorang pria asing yang sedang tidur di ruang tamu rumahnya. Tetangga yang datang kemudian menemukan tubuh opa sudah terbujur kaku. Begitulah datangnya hari akhir bagi opa.
Dengan kenangan-kenangan akan hari yang telah lewat, kami mendoakan arwah opa. Waktu hidupnya telah usai. Dan alam pun seakan turut menyertai kepergiannya dengan gerimis membasahi bumi. Bagaimanakah kita renungkan masa yang telah lewat? Setiap kematian, pasti akan menimbulkan banyak pertanyaan yang tak mungkin lagi dapat dijawab. Opa, yang nampak jauh lebih sehat dari oma, sebagai purnawirawan polisi, ternyata dipanggil lebih dahulu. Kami mengenang opa oma ini sebagai sepasang suami istri yang nampak rukun. Dalam pertemuan-pertemuan di lingkungan, mereka selalu berjalan berdua. Opa selalu menuntun tangan oma yang tidak lagi kuat melangkah karena tulangnya yang rapuh akibat rematik. Mereka selalu jalan bersama. Maka rasa kehilangan oma, yang belum nampak saat kami datang ini, tentu akibat kepikunan oma, terasa bagi kami bagai sembilu menusuk hati.
Dan itulah kenyataan hidup. Itulah kebenaran yang pasti dan tidak terelakkan. Bagaimana nasib oma selanjutnya, belum kami ketahui saat itu. Tetapi kemudian, seorang keluarganya telah memutuskan untuk merawat oma di rumah mereka, cukup jauh dari lokasi kami ini. Kita. Kesedihan kita. Fakta-fakta yang tak terelakkan. Bagaimana pun kami sadar bahwa sesedih apapun juga, kami tidak langsung mengalami apa yang diderita oleh oma sepeninggal opa. Banyak hal di dalam kehidupan kita, ternyata jauh dari apa yang kita sendiri harapkan. Jauh. Terkadang kita merasa betapa tidak adilnya. Betapa Tuhan seakan telah melupakan keberadaan kita. Tuhan tidak ada saat kita sungguh-sungguh membutuhkan bantuanNya. Doa kita nampaknya tidak punya arti apa-apa lagi. Hampa. Semuanya hampa.
"Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku" (Mat 14:36a). Itulah kata Yesus saat menghadapi malam yang penuh tantangan dan rasa takut pada apa yang akan terjadi padaNya. Dan kita pun, selalu berdoa hal yang sama. Tuhan, janganlah Kau buat kami menderita. Luputkanlah kami dari segala bencana dan mara bahaya. Hindarkanlah kami dari segala cobaan. Tetapi kenyataannya, bencana dan musibah datang juga melanda kita. Dan kita pun lalu putus asa, merasa tidak berdaya dan malah menyalahkan Dia yang seakan-akan telah melupakan kita. Kita marah. Jengkel. Gusar. Dan tidak berdaya lagi untuk mengubah hidup kita. Kita lupa, bahwa kemudian Yesus pun menyambung permintaanNya kepada Bapa: “tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Mat 14:36b).
Janganlah apa yang aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki yang terjadi. Seperti kata Maria juga, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38) Itulah yang seharusnya membimbing kita saat menghadapi cobaan yang berat. Itulah yang kami hiburkan kepada oma. Tetapi, bagaimana pun juga, memang kenyataan adalah tetap kenyataan. Kepahitan, kesusahan dan kesedihan adalah tetap milik mereka yang mengalaminya. Dan kata-kata penghibur hanyalah teori belaka yang seringkali terasa hambar dan tidak bermakna. Tetapi apa lagi yang dapat kami lakukan saat itu? Apalagi?
Maka bagi kita, tentu bukan teori atau kata-kata indah tetapi tidak berarti, yang bisa kami rasakan saat menerima kenyataan hidup yang dialami oma. Pada hakikatnya, kita sendiri harus mengalami dan berupaya memahami penderitaan itu. Bahwa dukacita dan kemalangan, mungkin bukan sekedar dukacita dan kemalangan, tetapi sebentuk pengurbanan kita untuk tetap hidup. Untuk tetap punya makna di dunia fana ini. “Ternyata saya ada gunanya....” Itulah kata-kata indah yang diungkapkan oleh seorang bidan desa, Hetty Candra Kasih dalam harian Kompas Selasa 31 Oktober 2006. Ternyata saya ada gunanya...” Dan percayalah, bahwa kita semua ada gunanya. Kita semua, dapat berguna jika kita mau. Jika kita menerima segala bencana, musibah, kepahitan, kemalangan dan kesdihan kita dengan tabah, dengan berkata "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." Seperti kata Maria. Ya, kita semua, seharusnya masih dapat berguna jika kita tidak merasa kalah dan takluk pada kemalangan kita.
Sabtu 11 Nopember 2006. Cuaca cerah. Pagi-pagi sekali, kami mengunjungi oma yang kini tinggal di keluarganya, di daerah Antang. Rumah yang kami datangi tidak terlalu besar, sederhana walau kelihatan bersih dan apik. Sama seperti bangunan di perumahan sederhana lainnya. Ketika kami bertemu, oma nampak sedang menyuapi seorang bocah perempuan yang dengan lincahnya berlarian mengelilingi rumah. Oma nampak sabar walau terkadang suaranya terdengar keras memanggil bocah perempuan itu. Tangannya yang tua, kelihatan gemetar saat memegangi piring tetapi oma tetap tersenyum. Kami menyapa dirinya, tetapi oma nampak tenggelam dalam upayanya untuk menenangkan anak bandel itu. Ah, anak-anak, jika tidak bandel tentu bukan anak-anak, bukan? Nampaknya oma tidak lagi mengenali kami. Dia telah tenggelam dalam hidupnya sendiri. Bersama bocah kecil itu, dia telah menemukan ruang untuk kembali hidup sebagai manusia. Bahwa ternyata dia tetap berguna, walau mungkin untuk hal-hal yang sederhana. Tetapi sederhanakah menyuapi seorang anak? Tentu tidak. Pasti tidak. Kami merasa terkesan. Sudah bergunakah kami bagi kehidupan ini? Sudah bergunakah juga anda bagi kehidupan anda? Sudah bergunakah kita semua sama seperti oma? Sudahkah?
A. Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...