27 Desember 2007

DEMI HIDUP

Hari menuju malam. Dari balik jendela hotel, tempatku bernaung sementara ini, aku menyaksikan sosok-sosok yang bergerak jauh di bawah sana. Sementara lampu-lampu jalan mulai menyala, bayang-bayang di atas aspal yang basah karena hujan sejak sore tadi, memantulkan ribuan ilusi ke dalam hatiku. Ribuan ilusi. Harapan-harapan yang telah terpantul oleh waktu. Dan usia. Siapakah yang dapat menahannya? Wajahku yang terpantul dari kaca jendela seakan ingin mengejek keperkasaan masa mudaku. Keperkasaan untuk apakah? Hujan rintik membasahi jalan. Dan hati yang sepi menjalin benang-benang rindu jauh di dalam hati yang merintih. Pada siapakah? Angin. Hanya angin yang tiba.
Siapakah yang dapat menyatakan kepadaku, untuk dan karena apakah segala bencana yang terjadi dalam hidup ini? Yang kubaca dari koran hari ini? Nasib? Takdir? KehendakNya? Ah bukan, kawanku. Jangan mencari kambing hitam. Jangan menyalahkan sosok-sosok tak jelas. Jauh di dalam lubuk hati, kita tahu, bahwa awal dan akhir hidup kita hanya berkubang pada keserakahan. Keserakahan kita terhadap hidup. Keserakahan kita untuk menguasai dan menaklukkan dunia. Demi kesenangan dan kebanggaan kita. Suatu kebanggaan yang semu. Dan samasekali tak berarti. Berartikah?
Dunia bergerak. Waktu bergegas. Dan kita, takut ditinggalkan, berusaha untuk meraih semua mimpi-mimpi dan harapan kita. Kita ingin menikmati. Kita ingin mereguk segala kesenangan dan kebahagiaan dunia. Kita ingin menang. Menang. Maka teori ekonomi pun kita ciptakan. Pengeluaran sesedikit mungkin untuk pemasukan yang sebesar-besarnya. Kita ingin memperoleh tanpa mau berkurban. Kita enggan untuk letih. Jika bisa, kita siap menghancurkan segala apa yang ada di depan kita: sesama, alam, dunia demi kejayaan kita. Demi kejayaan kita. Bukankah begitu? Jujurlah pada diri sendiri dan kita akan mendapatkan jawaban yang jujur pula.
Maka jika alam membalasnya beranikah kita untuk meyatakan siap untuk bertanggung jawab? Beranikah kita akui kesalahan dan kegagalan kita untuk memperbaiki apa yang telah kita hancurkan hanya demi keuntungan pribadi kita? Ketika lumpur menyembur dari bumi, ketika banjir dan longsor mendera kehidupan kita, ketika kapal dan pesawat tenggelam dan jatuh menghempas bumi, ketika bumi semakin gersang dan cuaca berubah kian ekstrem, dan ketika jiwa-jiwa berguguran satu persatu, pada siapakah kita harus mempersalahkan? Nasib? Takdir? Kehendak Tuhan? Bukankah seharusnya, pertama-tama kita harus meninjau diri kita sendiri? Ketamakan dan keserakahan kita? Kebuasan kita untuk merusak dan menghancurkan demi menciptakan kejayaan diri kita sendiri. Demi dompet dan kedudukan kita. Demi hasrat kita untuk berkuasa dan berjaya. Angin. Hanya angin yang datang menjawabnya. Dan kita tetap bersembuyi di balik jubahnya yang besar itu.
Hari menuju malam. Dari balik hotel berbintang ini, jauh, jauh tinggi dari atas jalan raya yang basah oleh hujan yang merintik, aku tiba-tiba merasa kesepian. Jauh di bawah, sosok-sosok asing dan tak kukenal berseliweran. Siapakah mereka? Siapakah aku? Siapakah kita? Dan dimanakah posisi kita semua dalam kehidupan yang berjalan dalam waktu ini? Dan apakah waktu itu? Tahun 2007, kini, tetapi apa yang beda dengan waktu sebelumnya? Tidakkah aku, jauh tinggi di atas, hanya menggenggam suatu ilusi tentang kekuasaan dan kekayaan. Dan sosok-sosok yang jauh di bawah, mungkin seorang ibu yang mengemis demi menghidupi anaknya, mungkin seorang ayah yang tertatih-tatih mendorong gerobak sampah untuk menghidupi keluarganya, mungkin seorang anak yang tahu bahwa pendidikan yanbg dirindukannya terletak jauh di atas awang-awang sementara dia sendiri untuk mengisi perutnya pun tak lagi mampu. Ah, siapakah kita ini, yang dalam suatu pertemuan dapat membicarakan nilai proyek ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah, sementara jauh di bawah sana sesosok tubuh hanya mampu berharap uang logam 500an?
Dan hujan deras pun membasahi bumi. Genangan air mulai memenuhi ujung ke ujung jalan di depan hotel yang megah ini. Sebuah sedan mewah meluncur cepat, sambil mengibaskan pancuran air ke sosok-sosok lemah di tepi jalan. Beberapa orang mungkin mengumpat. Tetapi dengan tenangnya, kaca mobil terbuka lalu melayanglah ke luar sebuah kaleng minuman ringan yang sudah kosong. Hebat. Aku mengguman. Hebat. Mendadak aku melihat cermin wajahku sendiri di atas ketidak-pedulian pada kehidupan lain. Hebat. Dan masih dengan tenangnya, sedan itu mengambil jalan di tengah sambil membunyikan klakson. Keras. Dan angkuh. Dan dingin. Dan tak peduli. Ah, siapakah yang peduli? Ya, siapakah yang peduli?
Malam pun tiba. Aku berbalik dan kembali memandang ruang temaram di dalam kamarku yang sejuk, aman dan terang ini. Tahun baru telah lewat. Dan aku pun tersenyum saat mengenang masa lalu dimana aku selalu memakai baju baru, bahkan rambut pun baru dicukur untuk menyambut tahun yang baru. Tetapi sayang, ya sayang, tiba-tiba aku merasa letih saat menyadari bahwa perbuatanku masih saja yang lalu. Kulit baru tetapi isi masih yang lama, tua dan telah usang. Seusang bumi kita yang kian tertatih-tatih mengikuti segala ambisi dan nafsu kita. Namun, walau menyadari bahwa seringkali ucapan hanya tampil di kulit muka, aku tetap mengikuti tradisi manusia untuk menyampaikan selamat kepada tahun baru yang hanya semu itu. Selamat Tahun Baru. Semoga kita semua mampu mengubah hidup kita di tahun yang mulai menua ini.....
Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...