10 September 2009

CERMIN

"Mengapa aku berbeda dengan orang lain? Mengapa aku tak sama dengan mereka? Mengapa aku harus menjalani kehidupan begini? Mengapa aku harus mengalami hal ini? Mengapa? Mengapa aku sendiri tak bisa menjawabnya? Mengapa tak seorang pun bisa memberi jawaban kepadaku? Mengapa semua hanya mau menuduhku? Memandangku dengan sinis? Mengapa? Mengapa? Ayo, jawablah aku! Tolong jawab aku..."

Dia memandang bayang wajahnya yang memantul dari cermin di depannya. Kesedihan, kegundahan dan kesepian mengurat pada kerut mukanya. Suasana siang yang gerah menusuk ke dalam kulitnya. Dan kesenyapan yang demikian hampa memenuhi hidupnya. Sampai kapankah kebenaran harus disembunyikan? Sampai kapankah kenyataan ini harus dibenamkan dalam hidupnya? Adakah kita memang harus hidup bersama alur yang telah ditentukan semata oleh orang lain? Jika harus demikian, mengapakah dia harus mengalami perbedaan demikian? Mengapa? Apa yang salah?

Waktu berjalan dengan sederhana. Tetapi pikiran membelit jiwa dengan segala kekusutannya. Maka berbahagialah mereka yang menerima hidup ini apa adanya. Tetapi terkadang, ada kenyataan yang demikian membuat kita takut. Membuat kita terpaksa hidup dalam kegelapan. Kebohongan-kebohongan yang susul menyusul dengan cepatnya sehingga kenyataan dan kepura-puraan tak sanggup lagi bisa dibedakan. Dan hiduplah kita dengan topeng-topeng kita masing-masing. Siapakah kita ini sebenarnya? Siapakah kita?

Dia menatap matanya sendiri yang membulat hampa dari cermin. Dia berusaha menangkap dirinya. Jiwanya. Rohnya. Tetapi hanya ada rasa sepi sisa. Hanya ada rasa sepi yang terus menerus memanggil. Siang yang panas dan sepi menyergap dirinya dengan satu pelukan, demikian ketatnya hingga dia seakan merasa tak mampu lagi untuk bernapas. Tak mampu lagi untuk hidup. Hidup adalah perjuangan, kata orang. Tapi apa yang harus diperjuangkan, jika yang ada hanya kesia-siaan? Apa yang harus dilawan jika itu adalah dirinya sendiri? Dirinya sendiri?

"Mengapa aku demikian lemah? Mengapa aku demikian tak sanggup untuk melawan perasaanku sendiri? Mengapa aku demikian tak mampu untuk menguasai segala emosi, hasrat dan keinginanku sendiri? Dan haruskah aku menjadi benda mati dengan menyapu habis segala gejolak jiwaku agar aku menjadi sama dengan orang-orang lain? Haruskah aku menjadi tidak ada demi untuk tidak berbeda dengan mereka? Haruskah aku? Tolong jawablah aku. Tolong..."

Siang hening. Pohon diam merangas. Matahari bersinar terik. Dan detik berjalan terus. Suasana yang mungkin bisa dia tuliskan dalam urutan kata dan kalimat indah. Tetapi dapatkah dia menyusun kata demi menggambarkan suasana hati sendiri? Bukankah seringkali dia kehabisan kata? Atau mungkin tak berani untuk menguakkan kebenaran hidupnya? Dia hidup bersama rahasia-rahasia yang pahit dan tak terperikan namun nyata. Yang harus disembunyikan di balik wajah yang tanpa ekspresi. Bersalahkah dia? Patutkah dia disudutkan terus menerus? Bersalahkah dia?

Pandanglah kehidupan di sekelilingmu. Pandanglah wajah-wajah yang lalu lalang di depanmu. Pandanglah mereka semua dan kenalilah mereka. Siapa sesungguhnya kita ini? Berupayalah untuk memahami mereka, maka akan kau pahami pula betapa tak mudahnya untuk mencari jawaban pasti kebenaran yang kau inginkan. Dan semakin kita merasa mudah untuk menuding seseorang, semakin nampak pula betapa kita sama sekali tak memahami kehidupan itu sendiri. Maka hidup memang seringkali merupakan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawab. Karena jawaban tidak tergantung pada kata atau pengertian kita, tetapi tertanam jauh dalam hati dan perasaan kita. Dan di sanalah kita bisa mencoba untuk mengenal kehidupan kita semua. Terima apa adanya, dan bertarunglah jika kau anggap layak. Tetapi jangan menyerah. Kita ada di sini bukan untuk tunduk pasrah, tetapi untuk menjalani hidup dengan gagah berani. Dengan gagah berani.

Perenungan untuk SAVING FACE

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...