18 September 2009

DI UJUNG HIDUP

Fajar mulai menyingsing. Di timur, langit mulai memerah. Semburat cahaya merah telah menebar pesona di atas gugusan pegunungan yang samar membentang sepanjang horison. Dia berdiri memandang keindahan itu sambil menghirup kesegaran udara yang mengalir ke dalam paru-parunya. Dia tergetar. Setelah tenggelam dalam kesibukan menghidupi diri, dia mengambil cuti panjang untuk mengenali kembali dunia yang seakan terasa menjauh selama ini. Untuk mengenali kembali dirinya sendiri. Hidup telah mengalir dalam waktunya. Hidup yang seringkali tak disadarinya sendiri. Hidup yang selama ini terlupakan. Ah, hidupkah dia? Atau hanya semacam perjalanan dalam waktu tanpa merasa dirinya sebagai siapa-siapa. Bukan siapa-siapa.

Siapakah kita? Adakah kegagalan atau keberhasilan mempunyai makna? Apakah hidup ini berguna atau hanya semacam keharusan yang tak dipahami? Mestikah kita berpikir atau hanya untuk dinikmati dan dirasakan begitu saja? Siapakah kita? Mengapa terkadang hati ini terasa hampa dan tak berarti? Mengapa terkadang jiwa ini terasa kosong dan tak berguna? Mengapa terkadang perbuatan yang kita lakukan hanya dengan semacam rutinitas yang tanpa makna? Haruskah kita ada di dunia ini? Siapakah kita? Mengapa terkadang kita tak merasakan apa-apa? Mengapa terkadang kita tak memikirkan apa-apa? Mengapa terkadang kita tak mampu berbuat apa-apa? Mengapa? Siapakah kita?

Di langit timur, perlahan sang surya menampakkan dirinya. Terang mulai menyentuh seluruh alam yang mampu dilihatnya. Beberapa anak gadis berjalan sambil bertutur dan bercanda. Beberapa penjual sayur mayur sedang memacu sepedanya untuk mulai mencari kehidupan mereka. Beberapa ekor camar nampak melayang di bawah serakan awan putih, sambil sesekali mengibaskan sayapnya. Dunia, hidup dan bergerak. Dunia, menyapa dirinya. Dan dia, ya, apakah yang dapat dia pikirkan saat ini? Apakah yang dapat dia rasakan kini? Apakah yang mampu dia lakukan sekarang? Apakah? Apa?

Hidup dipenuhi pertanyaan. Sering tak berjawab. Bahkan mustahil terjawab. Dia tahu itu. Dia sadar itu. Tetapi pertanyaan tetap mengalir dan mengusik dirinya. Setelah beberapa waktu lalu, dokter pribadinya telah memastikan carsinoma yang tumbuh dan berkembang di rahimnya, adalah jenis yang amat ganas. Dan waktu hidupnya tiba-tiba menjadi terbatas. Waktu akhir yang kian dekat. Kesadaran yang mendadak muncul, membuatnya menjadi gelisah, takut dan tak terpahami. Padahal, sebelumnya, dia adalah seorang wanita yang teramat aktip, bergerak dan bekerja tanpa batas waktu. Seakan-akan hidup ini abadi. Seakan-akan hidup ini tanpa akhir. Dihentak dari keterlenaannya sendiri, dia tiba-tiba sadar, betapa lemahnya tubuh ini. Betapa tak terduganya apa yang dialami oleh dagingnya sendiri. Tak terduga sama sekali.

Siapakah kita? Pentingkah kita? Bergunakah kita? Bukankah, jika suatu saat kelak, kita berlalu dan terlupakan, hidup tetap akan mengalir sebagaimana harusnya dia? Jika demikian, mengapakah terkadang kita harus ngotot dan memaksakan diri dan keinginan kita sendiri? Bukankah segalanya hanya sia-sia saja? Tapi, bagaimana mungkin hidup tak diisi dengan perjuangan? Dengan pemaksaan diri dan semangat yang berkobar? Bukankah karena itulah hidup kita menjadi menarik dan tak terasa hampa? Bukankah karena itulah, kita merasa ada dan hidup? Kita toh, tak harus pasrah diri dan menerima apa saja yang terjadi terhadap kehidupan kita? Kita toh, harus berjuang hingga titik terakhir dimana akan kita temui kesuksesan atau kegagalan. Kita toh, ingin tahu dan ingin diakui. Sebab itulah, hidup ini tak pernah tak berguna. Hidup ini tak pernah tak berharga. Kita berjalan bersamanya, membentuk dia dan mengisinya dengan keberadaan kita. Betapa tak menariknya hidup, jika kehilangan tantangan dan mesti diseragamkan demi keamanan dan ketenangan kita. Tidakkah demikian?

Dia menatap jauh ke depan. Dia menatap hari-harinya yang akan datang. Saat-saat terakhir itu, bagaimanakah nanti rasanya? Adakah dia akan mengalami rasa sakit yang tak tertahankan atau dapatkah dia menikmati penderitaannya itu sebagaimana dia menikmati hidupnya yang terasa sehat selama ini? Perlukah dia sesali masa lalunya yang telah bergulir lewat, atau dapatkah dia menerimanya sebagai sesuatu yang normal dan apa adanya? Mengapa harus ada kematian? Dan akan kemanakah dia sesudah itu? Dia merasa bimbang. Dia merasa tak berarti. Dia merasa terkucil. Dia merasa hampa. Dia takut. Dia bimbang. Dia bersedih. Dia menangis.....

Siapakah kita? Mampukah kita menerima dan menghadapi hidup kita sendiri? Mengapa keraguan seringkali menyerang kesadaran kita, terutama saat kita merasa lemah, sendiri, dan tak dipahami. "Allah, Allahku, mengapa disaat-saat demikian, Kau tidak hadir menghiburku?" jeritnya. "Tuhanku, mengapa sesal selalu datang terakhir?" renungnya. Mengapa? Bukankah hidup ini tak seharusnya disesali? Bukankah hidup ini selayaknya dijalani saja? Benar, atau salah, siapa yang dapat memastikannya? Siapa? Kesadaran ini, daya pikir ini, bukankah adalah diri kita sendiri? Tetapi mengapa kita pada akhirnya tak mampu untuk tersenyum dan tabah menerimanya? Mengapa? Bagaimana menjawabnya? Bagaimana?

Pagi telah tiba. Dan hari baru hadir. Dengan suatu keriangan. Dengan suatu elusan lembut dari sang surya yang mengelus pipinya. Tak berapa lama lagi, dia akan melupakan semua ini. Tak berapa lama lagi, semuanya akan usai. Apapun yang terjadi, apapun yang akan dihadapinya, dia harus siap. Dia harus menerimanya. Hidup tak mungkin berjalan mundur. Masa silam tak mungkin dijejaki kembali. Dan dia sadari itu. Akan disambutnya apa saja yang akan terjadi. Akan dihadapinya apa saja yang akan dialaminya. Setiap orang, siapa pun dia, harus belajar untuk hidup. Dan mati. Setiap orang, dan dia tahu bahwa tak ada yang perlu disesalinya. Tak ada. Dia hanya perlu tersenyum. Dia hanya perlu keberanian. Dia hanya perlu tekad. Bahwa hidup adalah suatu proses yang harus dipelajari terus menerus. Dipelajari terus menerus. Hingga akhir. Hingga usai.....

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...