21 September 2009

HIDUPLAH DENGAN PERCAYA PADA SESAMA

Walau kematian adalah suatu kepastian, kehidupan selalu penuh kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa dipastikan. Dan disanalah letak keindahan hidup ini. Kita tak pernah bisa menebak masa depan. Kita bahkan tak pernah mampu memastikan apa yang akan kita alami beberapa jenak di depan. Sebab bisa saja terjadi sesuatu yang tak pernah kita harapkan sebelumnya. Rencana dapat kita tata dengan rapi, tetapi siapakah yang dapat menyakini dengan pasti akan terjadi apa yang kita harapkan? Bahkan jika pun itu terlaksana juga, dapatkah kita memastikan bahwa rancangan kita itu adalah rancangan yang sunggu benar? Tak seorang pun mampu. Tak seorang pun.

Maka kita, yang sedang kehilangan kepercayaan terhadap hidup, kehilangan pegangan dan merasa betapa suramnya hari ini dan hari esok, ingatlah, bahwa tak ada suatu kepastian apa yang akan kita temui nanti. Mungkin akan ada penderitaan, tetapi mungkin pula akan muncul sukacita dan keberuntungan. Siapa yang bisa memastikannya? Yang terutama adalah, kita harus menjalani hidup kita dengan penuh keteguhan. Percaya terhadap diri kita sendiri, percaya terhadap orang lain dan percaya pada masa depan kita.

Sebab jika kita tak sanggup mempercayai, kita pun akan merumitkan kehidupan kita sendiri. Tak seorang pun yang hidup hanya dengan diri dan pemikirannya sendiri. Kehidupan saling terkait. Saling tergantung. Dan ada banyak kejutan yang akan kita temui, jika saja kita mau belajar untuk saling mengenal, saling memahami dan tidak hanya terpaku pada apa yang kita rasa dan pikirkan saja. Demikianlah, hidup itu sebenarnya indah, jika kita mau memaklumi kelemahan-kelemahannya. Hidup itu indah, jika kita mau memaklumi kesalahan-kesalahannya.

Setiap hari, mungkin kita melewati rimbun semak depan rumah kita. Bahkan mungkin kita pernah merasa kesal dengan tumbuhnya semak-semak itu. Namun, pernahkah kita memperhatikan saat semak itu mulai berbunga? Dari sebuah kelopak kecil yang tak berarti, perlahan berproses dan membuka kelopak-kelopaknya menjadi bunga kecil mungil yang menakjubkan keindahannya. Setiap hari, mungkin kita menyaksikan rombongan semut kecil yang berbaris beriringan di dapur kita. Bahkan, terkadang kita merasa jengkel saat melihat barisan semut itu sepanjang dinding kita. Tetapi pernahkah kita memperhatikan betapa hebatnya barisan semut itu dalam memperjuangkan hidupnya? Kerjasama mereka yang mampu untuk mengangkat dan membawa makanan sebesar apapun, sungguh luar biasa. Ah, tetapi jauh lebih sering kita, dengan perasaan sedikit jengkel, mencabuti rumpun semak itu. Dan menyemprot barisan semut itu dengan racun serangga. Padahal, ada banyak hal yang bisa kita pelajari jika saja kita meluangkan waktu sejenak, tidak hanya sibuk dengan perasaan dan urusan kita saja, untuk melihat dengan seksama kehidupan mereka.

Bahkan kita pun sering tak mampu mempercayai orang lain, sesama kita. Namun, bukankah kita selalu harus tergantung pada orang lain? Pada pengemudi kendaraan umum dan kendaraan pribadi kita? Pada tukang sampah yang mengangkuti kotoran kita? Pada polisi yang menjaga keamanan dan kenyamanan hidup kita? Pada mereka-mereka yang tidak kita kenal, dan tak pernah mengenal kita, yang dengan tulus berjuang demi keselamatan dan kenikmatan kita? Sementara itu kita hanya dapat mengeluh dan merasa tidak percaya terhadap sesama kita lagi. Siapakah kita? Bukankah ketidak-percayaan kita terhadap sesama berarti ketidak-percayaan kita terhadap diri kita sendiri? Dan ketidak-percayaan kita terhadap diri sendiri berarti ketidak-percayaan kita terhadap Sang Pencipta yang telah membuat kehidupan ini? Hidup itu indah, selalu indah, jika kita mau meluangkan waktu untuk mencoba memperhatikan sekeliling kita. Dan betapa kita akan terkejut saat sadar, betapa selama ini kita selalu tergantung satu sama lain. Ya, tak seorang pun yang bisa hidup sendiri. Tak seorang pun.

Dan masa depan kita. Apa yang kita khawatirkan? Mengapa kita selalu merasa takut terhadap derita yang kita rasa akan tiba, namun tak pernah mempersoalkan kebahagiaan yang mungkin akan hadir? Kita takut terhadap hari esok berarti kita takut karena ketidak-pastiannya. Ketidak-pastian yang berujung nestapa. Bukan ketidak-pastian berujung gembira. Kita sering tidak adil menilai kehidupan ini. Padahal, kehidupan adalah kepastian yang sungguh tak pasti. Apa yang kita anggap benar saat ini, akankah kita tetap anggap benar di hari esok? Kita telah belajar dari sejarah betapa nisbinya kebenaran itu. Dan betapa banyaknya kehidupan yang dikurbankan akibat apa yang kita anggap kebenaran itu. Kebenaran di masa lampau yang mendadak bisa berubah menjadi kesalahan di masa sekarang. Jadi, apa tidak mungkin jika kebenaran saat ini berubah menjadi kesalahan di masa depan?

Maka jika kita merasa sempurna, apalagi jika memaksakan anggapan kesempurnaan kita terhadap orang lain, pahamilah sejarah. Pahamilah kehidupan. Pahamilah juga orang lain. Sebab tak ada sesuatu pun sempurna di alam ini. Kita yang merancang apa yang kita anggap sempurna dan memaksakannya terhadap kehidupan sesama, hanya akan menimbulkan kekecewaan bagi diri sendiri, dan duka lara bagi orang lain. Kita yang merasa benar dalam pemikiran kita dan karena itu memaksakan kebenaran kita terhadap sesama, hanya akan membuat bencana bagi kehidupan itu sendiri. Kehidupan kita, kehidupan sesama bahkan kehidupan di alam raya ini.

Hidup sesungguhnya adalah kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti. Memang begitu adanya. Kita hadir di dunia ini untuk memperbaiki dan menyempurnakan apa yang mungkin salah, namun kapasitas kita tetaplah terbatas. Sebab itu kita membutuhkan sesama kita, bukan sebagai lawan, tetapi sebagai anugerah bilamana kita tersesat dan tak tahu arah. Setiap orang, setiap pemikiran, berkembang sesuai dengan keterbatasannya dalam menjalani hidup. Bukan dengan pemaksaan. Bukan dengan keinginan untuk menundukkan orang lain demi apa yang kita anggap benar, tetapi dengan memahami dan menyertakan pemikiran mereka dalam kebenaran kita sendiri.

Maka, walau kematian adalah suatu kepastian, hidup selalu penuh kemungkinan. Salah atau benar. Gagal atau sukses. Semuanya tidak punya makna jika kita kehilangan prosesnya. Hidup ini tidak pernah bisa kita harapkan langsung jadi dengan sekali sentak. Kita harus menitinya langkah demi langkah, mengalami derita dan kekecewaan, frustrasi dan sakit hati, namun janganlah kita kehilangan kepercayaan terhadapnya. Lalu ingin menghancurkannya. Mengapa kita yang terkadang demikian meyakini kebenaran pemikiran kita atas nama Sang Pencipta, lalu ingin menghancurkan hasil ciptaan-Nya? Bukankah jika kita menghancurkan ciptaan-Nya berarti kita juga ingin menghancurkan Dia yang menciptakan kehidupan itu? Sebab siapa yang menolak menerima ciptaan-Nya, ciptaan yang diberikan anugerah untuk berpikir secara bebas – ciptaan yang telah diberi anugerah untuk memilih jalan hidupnya sendiri – berarti tidak menerima Dia yang menciptakannya. Bukankah demikian adanya?

Manusia memang tidak sempurna. Dan tak mungkin kita harapkan menjadi sempurna. Tidak! Lihatlah ke wajah orang-orang yang kita temui setiap hari. Lihatlah ke dalam mata mereka. Dapatkah kita memahami mereka? Tahukah apa yang sedang mereka alami? Apa yang sedang mereka pikirkan? Apa yang akan mereka lakukan? Bahkan, cobalah melihat wajah kita sendiri dalam cermin. Tataplah mata kita sendiri. Dan tanyalah pada diri kita, siapakah kita? Dan jika kita melakukannya dengan jujur, kita pasti akan terkejut saat menemukan betapa tak sempurnanya kita. Betapa tak sempurnanya. Dan jika demikian, masihkah kita yakin dengan anggapan-anggapan kita sendiri lalu berkeras memaksakan anggapan itu terhadap orang lain, sesama kita? Masihkah kita yakin?

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...