20 September 2009

MANUSIA-MANUSIA TANPA DAYA

Hari masih pagi. Kepala wanita paruh baya itu terasa amat mumet. Sedih dan khawatir menyebar dalam hatinya. Dia memandang kepada suaminya yang sedang terbaring dengan tak berdaya di atas ranjang mereka. Sementara dua orang anaknya yang masih kecil kedengaran sedang bertengkar. Entah meributkan apa, dia tak mau lagi untuk mempedulikannya. Di kepalanya berputar jumlah uang yang dimilikinya. Dan dia sadar, dia tahu pasti, bahwa dia tak punya apa-apa saat ini. Hampir tak punya apa-apa. Dengan sedih dan perasaan tak berdaya, dia menatap ke tubuh suaminya, melihat dada suaminya yang sedang kembang-kempis dan sesekali terdengar sayup erangan saat menahan derita yang sedang menerpa tubuhnya. Apa yang harus dilakukannya? Tak ada sanak, tak ada keluarga, tak ada sahabat dan tak ada tetangga yang mampu membantunya lagi. Dia terkucil. Dan merasa terpencil seorang diri menghadapi kehidupan mereka. Hidup orang-orang kecil yang miskin dan tak memiliki daya untuk menentukan hidup mereka sendiri. Tak berdaya.

Siang tiba dalam udara yang teramat gerah. Membuat ruang sempit dalam kamar tidur keluarga itu terasa pengap. Dan berselimut bau keringat yang meruap dari tubuh-tubuh yang tak berdaya. Saat itulah, wanita itu melihat tubuh suaminya meregang sejenak, kemudian, usailah semuanya. Dia terpana dan kemudian meledaklah tangisnya. "Mengapa...mengapa kau tinggalkan aku di saat begini? Mengapa, bagaimana aku harus hidup dan menghidupi anak-anak kita? Bagaimana aku harus menghidupi diriku sendiri? Mengapa ini harus terjadi kepadaku? Tuhanku, ya Allahku, dimanakah Engkau? Mengapa Kau meninggalkan aku? Mengapa Kau menyiksa aku? Mengapa? Mengapa?" Udara dalam rumah sewaan yang sempit itu tiba-tiba menjadi beku oleh aroma duka yang sangat pekat. Seorang manusia lewat, dan manusia-manusia lain yang tergantung pada hidupnya pun terseret dalam suatu ketidak-pastian. Ketidak-pastian dalam hidup yang sering tanpa perasaan. Tanpa perasaan.

Malam membayang dengan udara yang menggantung luka dalam sukma. Beberapa tetangga hadir dan turut membantu wanita paruh baya itu. Membantu dengan sepenuh hati. Banyak hal yang harus diselesaikan. Surat-surat yang harus dibuat sebagai pelaporan. Mempersiapkan peti dan makam. Mengurus mobil jenasah. Mengatur jemaat yang akan berkumpul untuk melantunkan doa-doa bagi almarhum. Waktu terasa bergegas pergi. Seakan ingin melarikan diri dari ketak-berdayaan manusia-manusia yang tanpa daya. Dan segalanya seakan bergelombang susul menyusul. Datang dan pergi. Bagaikan hidup itu sendiri. Saat akhir tiba, siapakah yang dapat memastikannya? Saat akhir tiba, dapatkah kita melihat mereka-mereka yang bersedih dan menderita karena kehilangan sosok hidup yang pernah kita miliki? Apakah kita merasa hidup ini hanya milik kita saja? Hanya kita saja?

Lalu kami pun berdoa. Sebagian mungkin dengan penuh perasaan, ikut larut dalam duka yang sedang melanda janda paruh baya itu. Sebagian lagi mungkin sekedar untuk ikut merasa prihatin. Sebagian pula karena merasa bahwa itu sudah kewajiban mereka. Hal-hal yang sepantasnya dilakukan saat ada peristiwa kematian. Kami berdoa. Kami berkidung. Melantunkan nada-nada sendu. "Tuhan berikanlah istirahat, abadi dan tenang bagi yang wafat...." Namun, terasa betapa ada jarak antara kami dan wanita paruh baya itu. Terasa ada jarak. Lebar dan tak terjangkau. Walau kita mungkin mampu ikut larut dalam derita mereka-mereka yang sedang berduka dan menderita, namun derita sesungguhnya hanya bisa dirasakan oleh yang mengalaminya. Hanya oleh yang mengalaminya. Karena setelah itu, kami lalu pulang ke rumah masing-masing, tanpa merasa ada beban yang menggantung di hati. Semuanya telah kami laksanakan. Semuanya telah kami lakukan sesuai dengan kewajiban manusiawi kami...

Keesokan harinya, menjelang siang, bersama-sama jenasah itu diusung untuk dimakamkan di tempat terakhirnya. "...manusia berasal dari tanah dan kembali ke tanah..." Kembang dan tanah ditaburkan. Doa penutup kehidupkan diucapkan. Lalu usailah sudah segala prosesi yang layak bagi seorang manusia. Pulang ke rumah, mungkin ada tersisa sepenggal cerita tentang yang baru saja dikebumikan. Mungkin. Tetapi waktu lewat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya, dan kehidupan terus berlangsung normal bagi kita. Kita, yang hanya ikut sebagai pengiring dan pendoa bagi yang telah berpulang. Sebuah kehidupan perlahan terhapus dari ingatan. Sirna dalam kenangan. Terlupakan....

Malam tiba. Malam tiba dengan kegelapan yang bisu. Wanita paruh baya itu duduk di samping dua orang anaknya yang masih kecil. Menatap kedua tubuh mungil itu, tiba-tiba dia ingin menangis. Hatinya hampa. Dingin. Tak berdaya. Apa yang harus kulakukan selanjutnya? Apa yang akan kuhadapi di hari esok? Kehidupan apa yang mesti kujalani untuk tetap bertahan? Keragu-raguan, kekhawatiran, kesunyian dan perasaan tak memiliki siapa-siapa menyerang hatinya. Dia merasa sendirian. Mutlak sendirian di tengah hiruk-pikuk kehidupan milyaran manusia. Siapakah dia sehingga pantas diperhatikan? Siapakah dia sehingga pantas menjadi kisah dalam riwayat kehidupan? Ah, dia bukan apa-apa. Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya kita yang tak punya apa-apa, selain detak jantung dan otak yang masih bisa berpikir. Dialah kita, manusia-manusia lemah, tanpa daya, tanpa kekuasaan, tanpa kekayaan, tanpa kekuatan. Dialah kita, dan ini hanya sekedar kisah dan saksi mata kehidupan orang-orang yang tak memiliki apa-apa selain hidup mereka. Tak memiliki apa-apa selain kehidupan itu sendiri. "Ya, Tuhanku, dapatkah Kau menolong kami? Dapatkah?"

Buat C

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...