14 September 2009

IBU TUA YANG BERTUTUR

"Aku ini seperti keranjang sampah. Yang hanya diingat saat dibutuhkan. Namun, saat aku tak diperlukan, tak seorang pun mengingatku. Tetapi tetaplah aku bersyukur. Karena masih dibutuhkan. Siapa yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Sesungguhnya dia telah mati....." Ibu tua itu mengatakan kalimat-kalimat ini dengan pelan. Dan tenang. Wajahnya tidak menyiratkan perasaan apapun. Aku mengagumi keteguhannya. Dan prinsip hidupnya. Kami terlibat dalam percakapan intens di suatu siang yang teduh di sebuah biara tua.

"Hidupku sudah panjang. Tujuh puluh empat tahun dalam waktu. Sepanjang itu, tetapi saat ini terasa, bagiku, hanya sekejap saja. Seakan mimpi. Ya, hidup itu bagaikan mimpi, nak. Kau hidup, kau mengalami berbagai pergumulan dalam perasaan dan pikiranmu. Kau menikmati hidupmu. Terkadang dengan tawa. Dan tak jarang penuh sesal dan kesedihan. Tetapi waktu lewat. Dan tepat di sinilah kau, sekarang, sambil memikirkan apa yang tersisa dari semua pengalaman itu. Dan bertanya-tanya dalam hatimu. Untuk apa semua itu? Untuk apa? Bukannya aku tidak percaya kepada Tuhan. Tetapi sungguh dulu sering, aku merasakan dan berpikir, bahwa dia menciptakan kita lalu lepas tangan begitu saja. Sebab dalam saat-saat krisis, Dia seakan-akan menghilang. Menghilang....."

"Justru yang paling kutakutkan, ya aku paling merasa takut, kepada mereka-mereka yang fanatik. Siapapun mereka. Yang menganggap bahwa semua bisa dijawab oleh Sang Pencipta lewat mereka. Seakan Kebenaran mutlak dimilikinya atas nama Tuhan. Siapakah mereka? Siapakah kita? Dapatkah kita memastikan kebenaran itu? Dalam usiaku yang panjang ini, pada akhirnya, aku sadar. Bahwa keindahan hidup ini bukan terletak karena kebutuhan kita. Tidak, bukan di sana keindahan itu. Kenikmatan hidup justru terletak saat kita merasa dibutuhkan. Kitalah yang harus terus belajar untuk memahami dan bukan untuk dipahami. Kitalah yang harus belajar untuk membahagiakan bukan untuk dibahagiakan. Kitalah yang harus berbagi, bukannya memaksa orang lain berbagi...."

"Kini aku menyadari. Dan percaya. Bahwa Tuhan sesungguhnya tidak pernah menjauh dari kita. Tuhan selalu ada dalam diri kita. Dalam hati kita. Saat kita menderita, Dia menderita. Saat kita berbahagia, Dia berbahagia. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah menghilang. Hanya sering kita tidak mengenal diri kita sendiri. Ya, kita sering lupa terhadap diri kita. Kita hanya tahu keinginan kita. Salah paham mengenai situasi. Tidak mengerti pada sikap orang lain. Dan tidak mau peduli akan kepentingan orang lain. Padahal, bukankah Tuhan yang ada pada kita juga Tuhan yang dimiliki oleh sesama kita? Tuhan itu satu, nak, hanya satu. Maka siapa pun yang memaksakan kebenarannya pada diri orang lain demi nama Tuhannya, berarti dia memaksakan keinginannya pada Tuhan yang Satu. Dia salah memahami dirinya. Dia tidak mengerti dirinya sendiri. Bukankah demikian, nak? Bukankah demikian?"

"Memang, terkadang aku merasa seperti keranjang sampah. Yang menjadi tempat pembuangan semua kesulitan sesamaku. Diingat saat dibutuhkan. Dilupakan saat tak diperlukan. Tetapi aku yakin, bahwa bukan itu sesungguhnya maksud mereka. Bukan. Hanya saat mereka mengalami kesenangan, mereka sedang menikmati diri mereka sendiri. Dan kita harus memahami hal itu. Kita perlu mengerti mereka sama dengan kita memahami diri kita sendiri. Sebab, bukankah sering kita juga melakukan hal yang sama, nak? Bukankah kita berbuat sama?"

Sambil menghirup segelas teh hangat manis yang dihidangkan padaku, aku memandang jauh ke halaman yang luas di depanku. Sebuah pohon beringin tua berdiri dengan teguh dan rimbun. Sebuah kapel kecil, seakan tersudut di keluasan halaman itu, nampak menyendiri dalam sepi. Waktu seakan berhenti di sini. Sayup-sayup, dari kejauhan aku mendengar alunan doa yang indah dan lembut, "Agnus Dei, Qui Tollis Peccata Mundi, Miserere nobis......"

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...