22 September 2009

DARI CINTA KE BENCI

"Aku benci dia. Aku benci gayanya saat menguap. Aku benci caranya makan. Aku benci melihatnya saat dia berbicara, nampak sinis dan tak pedulian. Aku benci dia. Sungguh...." kata seorang ibu kepadaku beberapa waktu lalu saat dia menceritakan krisis dalam rumah tangganya yang, katanya, disebabkan oleh kelakuan suaminya. "Aku benci padanya, dan rasanya aku ingin lari meninggalkannya. Biar dia tahu rasa. Tetapi, aku tak tahu akan kemana. Aku tak tahu. Juga takut...."

Benci. Dengan perasaan bingung, aku bertanya, apakah dulu suaminya tidak pernah menguap dengan gaya demikian? Apakah cara makannya telah berubah? Apakah gaya bicaranya memang telah berbeda dari saat-saat pacaran dulu? Ibu itu nampak bimbang. Nampak berpikir keras. Dan akhirnya, dia berkata: "Tidak, saya akui, sama saja dengan dulu...." Lalu mengapa kini dia membenci apa yang dulu dia bisa terima atau bahkan menikmati gaya suaminya saat masih pacaran? Siapakah yang berubah sekarang? Dia atau suaminya?

Sebuah perkawinan selalu dibayangi dengan perubahan dalam waktu yang berjalan. Tidak bisa tidak. Bukankah, di masa-masa pacaran dulu, kita hanya saling mengenal sebatas di ruang tamu saja? Bukankah, di saat pacaran, semua nampak indah dan menyenangkan karena masing-masing ingin saling menarik hati? Masa pacaran memang sering membuat kehidupan pribadi tersembunyi di balik topeng. Atau tertutup oleh hasrat senang dimanja, diutamakan dan disayangi. Tetapi ketika kita memasuki masa pernikahan, akan terkuaklah semua hal pribadi. Akan nampaklah semua kepentingan diri. Akan timbullah masalah dalam pertukaran ide dan kebiasaan. Jika kita tidak bisa menerima apa adanya, jika keinginan dan kepentingan diri lebih diutamakan, jika kita merasa kurang diperhatikan lagi, muncullah kebencian terhadap pasangan kita. Semuanya menjadi nampak buruk. Semuanya berubah menjadi serba salah.

Memang, tidak mudah untuk menyayangi seseorang tanpa kepentingan diri. Tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan dan gaya seseorang tanpa mau saling memahami. Apa yang pada mulanya nampak lumrah dan tak berarti, kelak mungkin bisa menjadi tidak menyenangkan. Apa yang pada mulanya kita anggap dapat diterima dan ditoleransi, kelak mungkin menjadi bom waktu yang akan meledak hanya karena soal sehari-hari yang sepele. Kita, manusia, memiliki perasaan yang mungkin bisa mengabaikan kebiasaan pasangan kita saat hidup kita masih berdiri sendiri. Saat itu kita masih merasa aman, terbiasa dengan diri dan keinginan kita saja. Namun, jika kita telah memasuki kebersamaan dalam hidup, saat kita setiap saat melihat dan merasakan kebiasaan tersebut, apa yang dulu kita anggap bisa kita terima, sekarang mulai menjadi ganjalan dalam hubungan dua insan, dua orang manusia yang kini saling terikat satu sama lain dalam satu keluarga.

Maka kejujuran, keterbukaan dan saling pengertian haruslah dipupuk sejak awal. Masa pacaran memang bukan hanya masa untuk bersenang-senang saja. Masa pacaran justru adalah masa untuk saling mengenal, saling menerima dan saling memahami tanpa ada tekanan dan paksaan, baik dari luar dan terutama dari dalam diri kita sendiri. Keinginan untuk, kelak siapa tahu bisa merubah sikap dan tabiat seseorang, haruslah dihindari. Adalah teramat sulit untuk merubah orang lain, jika merubah diri kita saja kita tak sanggup. Dan memang demikian adanya.

"Aku benci dia. Aku benci segala apa yang dilakukannya...." Mengapa dulu ibu bisa menerimanya? Ataukah saat itu ibu berpikir mampu untuk merubahnya? Dan jika ternyata sekarang gagal, ibu lalu merasa marah, jengkel dan menolak dia? Pernahkah dulu ibu memikirkan hal-hal itu sebelum memutuskan untuk memasuki dunia perkawinan, dimana satu sama lain harus bisa saling menerima dan saling memahami? Keputusan telah diambil. Dan tanggung jawab harus dilaksanakan. Jika ibu tak bisa merubah dia, bukankah ibu bisa merubah diri ibu? Jika itu tak bisa dilakukan, salah siapakah? Ya, salah siapakah?

Waktu mungkin bisa merubah sifat dan kebiasaan seseorang. Memang. Tetapi lebih sering lagi tidak. Apa yang telah tertanam dalam kebiasaan, bergerak secara otomatis dan sering tak dipikirkan lagi. Kita harus menyadari hal itu. Dan jika kita sendiri terbiasa dengan hidup kita serta tak mampu dan tak mau mengubahnya, bisakah kita memaksakan orang lain berubah sesuai dengan keinginan kita? Adilkah itu? Marilah kembali merenungkan masa lalu, marilah kembali mengenang saat-saat indah ketika masih pacaran, lalu bertanyalah dalam hati: apa yang kita inginkan saat itu? Apakah kita juga berpikir atau hanya bisa merasakan saja? Semoga dengan jawaban yang ibu dapat dari nurani ibu sendiri, ibu mampu mengubah kebencian itu menjadi suatu harapan baru. Ya, satu harapan baru.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...