11 September 2009

KESADARAN YANG TUMBUH

Dimanakah kita sebulan dari sekarang? Dimanakah kita seminggu dari sekarang? Apakah kita, dalam suatu pemikiran, masih punya prinsip yang sama dengan saat sekarang? Apakah kita, dalam kelakuan, masih tetap berbuat yang sama? Siapakah yang dapat memastikan, bahwa kita, saat itu, masih orang yang sama dengan kita saat ini? Waktu berubah, dan kita pun berubah bersamanya. Terkadang, waktu terasa berjalan lamban, amat lamban. Terkadang pula, waktu berjalan demikian gegasnya, sehingga tak terasa kita sudah melewati satu, lima, sepuluh bahkan puluhan tahun sejak kehadiran kita di dunia ini. Adakah kesadaran kita tumbuh kembang dengan kecepatan yang sama? Atau kita tetap berpegang teguh pada apa yang telah menjadi prinsip-prinsip kita sejak awal? Dan diantara keteguhan dan perubahan sikap kita itu, yang manakah dapat kita anggap sebagai kebenaran yang pasti? Dan jujurkah kita, paling tidak, pada diri kita sendiri? Mengapa kita berbuat begini dan bukan begitu? Mengapa kita harus berpikir seperti ini dan bukan seperti itu? Mengapa? Lalu, pada akhirnya, siapakah kita sebenarnya? Siapakah kita? Sadarkah kita bahwa kita ada, saat kita berbuat dan berpikir demikian? Pahamkah kita saat kita mengalami kehidupan kita? Mengapa kita harus ada? Mengapa kita harus hidup? Mengapa kita harus berpikir? Mengapa?

Aku melihat kelopak bunga yang perlahan tumbuh, berkembang dan membuka dirinya bagi kehidupan di dunia. Aku melihat betapa mawar yang indah itu mempersembahkan kecantikannya bagi kita semua. Aku mencium harum yang merebak bagi siapapun yang lewat di seputarnya. Aku merasa betapa seringnya aku tak mau mempersembahkan diriku bagi dunia ini. Aku sering merasakan betapa aku hanya ingin hidup hanya bagi diriku sendiri. Bagi kesenanganku. Bagi kenikmatanku. Bagi kepentinganku. Bagi kebahagiaanku sendiri. Bersalahkah aku? Tidakkah bunga itu pun tumbuh kembang bagi dirinya sendiri. Dan hanya kebetulan dapat dinikmati bagi mereka yang lalu lalang di dekatnya. Mungkinkah aku sendiri memiliki keindahan yang sama, yang tidak kusadari, yang telah membuat mereka-mereka yang berada di seputarku dapat memandangku dengan takjub? Apakah diriku pun demikian pula? Mengapa aku tak pernah menyadarinya? Aku, yang hidup bagi diriku sendiri, sesungguhnya telah memberikan hidupku bagi dunia ini, benarkah demikian? Mengapa kesadaran demikian terasa sulit merasuk dalam pemikiranku? Mengapa?

Matahari memberikan cahaya dan teriknya bagi siapa pun, tetapi toh ada yang menikmatinya dengan rasa syukur, namun tak sedikit yang mengeluh saat tersengat panas yang demikian menusuk kulitnya. Hujan yang turun dengan deras, membuat sebagian dari kita bergembira penuh harapan, namun tak sedikit pula yang mengeluh bahkan menyesalinya karena telah menimbulkan genangan air yang mengganggu kesenangan mereka. Jadi, yang manakah dapat kita namakan rasa syukur atas segala anugerah alam itu? Tidakkah kebenaran terasa samar-samar, bahkan tak ada sama sekali? Sebab semuanya tergantung dari apa yang kita pikirkan, rasakan dan lakukan dalam kehidupan yang hanya sejenak ini. Bahkan keindahan dan harum bunga yang demikian menakjubkan itu, mungkin dapat menjadi gangguan bagi sebagian mereka yang alergi terhadapnya. Dan tiba-tiba, semuanya menjadi relatip. Semuanya tergantung pada diri kita. Semuanya terpulang pada pemikiran kita. Pada kita semata.

Dan hidup, akhirnya, memang demikian adanya. Kita tumbuh bersama sikap kita. Kita berkembang bersama pemikiran kita. Kerelaan kita untuk menerima apa adanya. Penolakan kita terhadap perubahan. Tidakkah kita berpikir demikian? Apa yang ada, apa yang sekarang kita alami, apa yang saat ini kita pikirkan, mungkin berubah mungkin tidak, semua terpulang pada bagaimana kita menyadari keberadaan kita di dunia ini. Semuanya harus dicari dan ditemukan. Semuanya harus dipelajari dan dipahami. Semuanya mengandung kepastian yang demikian tak pasti. Kita berjalan dalam kehidupan kita, bagaikan seorang yang menjelajahi kegelapan sambil mengira-ngira apa yang ada di seputar kita. Dan perkiraan kita itu, siapa yang bisa memastikan kebenarannya, jika semuanya berjalan di tengah kegelapan yang sama? Siapa yang dengan keras hati memastikan pendapatnya, sambil mengibaskan pendapat yang lain, pada akhirnya akan terantuk pada ketidak-tahuannya sendiri mengenai hidupnya. Maka apapun yang terjadi dalam hidup ini, apapun yang kita alami dalam hidup ini, memang harus terjadi karena pilihan kita sendiri. Dan tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditangisi. Kita semua berjalan dalam kegelapan, dalam ketak-tahuan, dalam ketidak-pastian sambil mencoba mempelajari dan memahami hidup ini. Memahami dan menerimanya apa adanya. Demikianlah seharusnya kesadaran kita tumbuh. Demikianlah seharusnya perubahan kita berlangsung. Sebab tak ada yang pasti kecuali ketidak-pastian itu sendiri.

Maka inilah kita. Sosok-sosok lemah yang hidupnya terkungkung dalam pemikirannya sendiri yang terbatas pada apa yang mampu dilihat, dipelajari dan dipahaminya. Sambil berjalan dan mencoba untuk memahami, sambil merasakan keterbatasan raga ini, kita biarkan imajinasi kita menerobos segala kungkungan ini. Sebab kita adalah mahluk bebas tetapi sendirian. Sebab kita adalah mahluk yang terkurung dalam pikiran sambil berupaya mencapai keluasan alam dan memahaminya. Maka siapakah kita selain insan yang memilki kemampuan untuk membuat kesadaran kita tumbuh terus menerus, berubah terus menerus, tanpa perlu memastikan semua hal yang hanya membuat kemampuan kita berhenti dan mati beku. Mari belajar memahami. Mari mempergunakan kesadaran kita. Mari berubah. Jangan takut. Kita adalah mahluk bebas yang telah diberikan kemampuan oleh Sang Pencipta untuk mencari Dia. Maka "carilah maka kamu akan menemukan, ketuklah maka pintu akan dibukakan, mintalah maka kamu akan menerimanya...." Tanpa mencari, tanpa mengetuk, tanpa meminta, kita takkan kemana-mana kecuali menjadi insan tanpa rasa yang dengan bangga memastikan kebenaran namun tak tahu betapa nisbinya kebenaran itu. Betapa nisbinya.......

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...