
Entah mengapa, tetapi kadang-kadang aku
berpikir bahwa kita sering merasa seperti dewa atau dewi yang berhak
untuk memaksakan keinginan kita hanya agar kita dapat menikmati
hidup. Hanya agar kita senang karena segala keinginan kita dapat
terwujud. Padahal, siapa yang tahu hari esok yang akan kita hadapi
kelak? Siapa yang bisa memastikan masa depan yang akan kita terima?
Siapa? Tidakkah mendadak kita dapat hilang begitu saja dengan tanpa
kita sangka-sangka. Dan tanpa kita rencanakan sama sekali? Tidakkah
kita sungguh hanya debu yang sekali angin bertiup akan terbang
melayang entah kemana seturut angin yang berhembus itu?
Kesadaran akan keberadaan kita selalu
menyembunyikan satu kepastian yang berusaha atau mungkin memang
sengaja kita lupakan. Ujung hidup. Mati. Kita tidaklah abadi. Kita
tak pernah akan kekal. Sesekali mungkin kita menyadari hal itu.
Sesekali kita mungkin tahu tentang itu. Tetapi kita lebih senang
melupakannya dan hidup hanya untuk sekarang, hari ini, demi
kesenangan dan agar segala hasrat dan ambisi kita dapat teraih.
Tetapi siapakah kita? Mengapakah dalam kekuatan dan kekuasaan dan
kekayaan kita selalu bertindak seakan-akan kita ini jauh dari segala
kesia-siaan atas apa yang semua mampu kita miliki?
Mereka yang hidup dalam kesedihan akan
berpikir seakan-akan kesedihannya merupakan inti kehidupan. Dan
melupakan wajah-wajah lain yang berada bahkan tepat di depannya.
Seakan-akan semuanya bersenag hati kecuali dirinya. Mereka yang hidup
dalam kegembiraan akan berpikir sekan-akan semua orang pun bergembira
dan tak seorang yang nampak susah. Wajah-wajah berseliweran di
depannya. Datang dan pergi. Dikenal atau asing. Akrab atau hanya
lewat saja. Tetapi wajah-wajah itu bukan dia. Bukan dirinya. Dan itu
memang pasti. Tetapi siapakah kita? Apakah kita memang berbeda dengan
yang lain?
Kita. Aku. Diri ini. Sesungguhnya
adalah sebuah misteri terbesar yang enggan kita selami lebih dalam.
Kita. Aku. Seakan-akan pusat kehidupan dan selain dari diri ini
sering hanya berada dalam bayang-bayang keterasingan yang tak dikenal
dan tak ingin dikenali. Tetapi entah apa mereka memang asing, atau
justru diri ini yang terasing, kita sendiri adalah potret kehidupan
di dunia yang tidak sempurna. Dan dalam ketidak-sempurnaan itu, kita
selayaknya menyadari bahwa kita pun sama seperti dunia ini. Tak
sempurna. Dan takkan pernah sempurna.
Maka, sekali lagi, siapakah kita ini?
Suatu ketidak-pahaman? Suatu ambisi, hasrat dan keinginan belaka?
Waktu berlalu. Dan suatu hari kelak, saatnya akan tiba dan tiba-tiba
kita sadar betapa terbatasnya kita. Kita pun akan lewat. Lalu
menghilang dalam kenangan. Menghilang lenyap bersama satu kepastian.
Kita tak ada lagi disini. Kita tak akan ada lagi. Sirna dalam
keabadian. Jadi siapakah kita ini?
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar