“Anak-anak menemukan permainan mereka
di pantai-pantai dunia”
(Di Tepi Pantai – Rabindranath
Tagore)
Melihat
perkembangan seorang manusia seperti menyaksikan sebuah keajaiban.
Dari saat bayi itu lahir, demikian lemah dan tak berdaya, tumbuh dan
berkembang menjadi seorang anak yang lincah bergerak dan tak bisa
diam. Dari hanya mampu untuk tidur, bangun dan menangis hingga dapat
merangkak, berdiri dan mengoceh dengan suara keras dan tanpa henti.
Ya, melihat pertumbuhan seorang manusia ternyata seperti melihat
sebuah keajaiban. Dan untuk menikmati keajaiban itu, tidak cukup
dengan hanya tahu tetapi haruslah dengan mengalami sendiri.
Menyaksikan sendiri. Dan menikmatinya sepenuh jiwa.
Ternyata keajaiban itu bukan hal yang
besar. Ternyata keajaiban itu sesungguhnya sangatlah sederhana. Dan
dapat kita alami sehari-hari. Jika kita mampu merasakannya. Jika kita
mau mengalaminya. Sebab pada pengalaman itulah kita mampu menikmati
apa yang menjadi karunia terindah kehidupan. Betapa awalnya manusia
hanya mengenal kesederhanaan. Pada mulanya hidup itu hanya sebuah
permainan. Tak ada ambisi. Tak ada hasrat. Tak ada nafsu untuk
menguasai dan memiliki.
Mereka tak tahu bagaimana berenang,
mereka tak tahu bagaimana menebar jala. Pencari mutiara menyelam
untuk mendapatkan mutiara. Para pedagang berlayar untuk meraup laba.
Tetapi anak-anak mengumpulkan batu-batu kerikil dan menebarkannya
kembali. Mereka tak mencari sesuatu untuk dimiliki dan dikuasai.
Mereka bermain dengan apa yang ada lalu meninggalkannya begitu saja.
Dan, bukankah itu sebuah keajaiban yang menakjubkan? Terutama jika
kita bandingkan dengan kehidupan kita, orang-orang dewasa, ini?
Kehidupan yang demikian keras, penuh ambisi dan keinginan dan
semangat tak mau dikalahkan. Tak mau terkalahkan.
Melihat tumbuh kembang seorang manusia
sungguh seperti menyaksikan sebuah keajaiban sederhana tetapi juga
luar biasa. Keajaiban yang sering gagal kita tangkap saat kita hidup
hanya untuk diri sendiri saja. Saat kita hidup hanya demi memuaskan
hasrat kita saja. Maka kepada siapa pun yang menyangka bahwa hidup
ini menjemukan, atau mengira bahwa hidup ini hanya demi untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu saja – bahkan rela untuk
mengurbankan apapun juga demi tujuan itu – belajarlah kepada sang
bayi kecil itu. Sadarilah bahwa dulu kita pun pernah sama dengan
mereka. Bahwa dulu, kita adalah mereka juga.
Sebab tak seorang pun tidak melalui
jalan yang sama. Tak seorang pun langsung ada dalam situasi yang
sekarang ini. Kita pasti pernah menemukan barang-barang yang tak
harus untuk dikuasai. Kita pasti pernah menikmati betapa indahnya
permainan sebagai satu permainan, bukan sebagai satu pertarungan
untuk menang atau kalah. Tidak. Menang atau kalah sungguh tidak
sepenting bermain dan menikmati hidup ini. Dan lihatlah, anak-anak
yang mungkin merasa marah sejenak dan menangis dapat langsung tertawa
ria ketika menemukan sesuatu yang menyenangkan. Bagi mereka, tidak
ada yang penting. Bagi mereka, hidup selalu bermakna hidup. Yang
sesungguhnya. Yang senyatanya.
Maka kepada mereka yang berpendapat
bahwa keajaiban itu mustahil, saksikanlah tumbuh kembang seorang
manusia. Sebab kita semua pernah mengalami hal yang sama. Sebab dulu
kita sungguh adalah bayi-bayi kecil mungil yang selalu menyenangkan
mereka yang melihat kita. Sebab percayalah, kita pernah menjadi
pemilik surga yang sekarang kita tinggalkan dan lupakan. Hidup itu
indah jika kita mampu menyelaminya. Hidup itu sebuah keajaiban jika
kita mau menyadarinya. Jadi mari menyapa hidup kita dan berbisik
dalam hati. Kita lahir tanpa membawa apa-apa selain tubuh dan jiwa
kita. Kelak, kita pun akan pergi meninggalkannya tanpa mampu membawa
sesuatu, sebanyak apapun yang kita miliki sekarang. Percaya dan
hiduplah bersama keajaiban ini. Sungguh, keajaiban itu masih ada. Dan
selalu akan ada. Sebab Tuhan tidak pernah bosan terhadap manusia.
Tuhan tidak pernah bosan kepada kita. Dia mencintai kita seutuhnya.
Seutuhnya.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar