Siang menjelang sore. Jalanan sepi saat
aku melintas di pertigaan Tapal Kuda. Sebuah truk nampak berhenti di
tepi kiri jalan, tepat di depanku. Dan kubaca tulisan yang terpampang
di bak belakangnya. Mau pulang, malu. Tidak pulang, rindu. Tulisan
yang berwarna merah dengan gaya tetesan air mata nampak mencolok
namun sepi tanpa ornamen lain. Aku tak tahu siapa yang menulis
kalimat itu, tetapi terasa sangat menggigit kalbu. Sebuah jeritan
hati? Entahlah.
Rindu. Sebuah kata yang sering
menggugah mereka yang tinggal di perantauan. Jauh dari kampung
halaman. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang yang disayangi.
Sebuah kata yang mengandung rasa sepi dan pilu. Ketika kita tidak
mampu berbuat apa selain dari menerima keadaan tetapi tetap berharap.
Bahwa satu saat kelak, entah kapan, harapan itu dapat terwujud di
saat kita, dengan kepala tegak dan penuh kebanggaan, dapat pulang
kembali. Tanpa rasa malu. Tanpa rasa telah terkalahkan. Dan bahagia.
Berapa banyakkah dari kita yang dapat
meraih apa yang kita ingin wujudkan dalam hidup ini? Berapa banyakkah
dari kita yang mampu meraih semua yang kita harapkan dengan penuh
kebanggaan? Berapa banyakkah dari kita yang bisa menemukan
kebahagiaan diri dalam perjalanan hidup ini? Berapa banyak? Aku tak
tahu. Tetapi aku berpikir bahwa, sesungguhnya hidup ini juga
merupakan sebuah daerah perantauan. Setiap kelahiran adalah awal
langkah kita memasuki dunia nyata. Dunia yang tidak sepenuhnya indah.
Dan hidup ini sendiri tidaklah sempurna. Mutlak tidak sempurna.
Tetapi bagaimana pun juga, setiap
langkah yang telah kita mulai haruslah kita jalani dengan penuh
kepercayaan. Dan dalam kepercayaan juga berarti kita
bertanggung-jawab atas keberadaan kita. Walau kelahiran mungkin,
menurut kita, bukan atas kehendak kita karena siapakah yang dapat
berkata bahwa dia ada karena dia menghendaki keberadaannya, namun
keberadaan itu sendiri adalah sebuah kenyataan dalam dunia yang tidak
sempurna ini, maka kita tak dapat melarikan diri darinya. Atau
bersikap seakan-akan kita tidak ada.
“Mau pulang, malu. Tidak pulang,
rindu”. Tulisan yang terpampang di belakang bak truk, kalimat yang
terukir dalam warna merah membara dengan gaya air mata mengalir itu
tiba-tiba menjadi sebuah kalimat yang mengandung harapan, bukannya
kepedihan. Sebuah kalimat yang menyiratkan bahwa ‘kita harus pulang
di suatu waktu kelak tanpa merasa malu’. Tanpa merasa gagal dan
tidak berguna. Karena itu, kita mesti berjuang untuk menerima hidup
kita, berjuang untuk mengubah keadaan kita sebelum kelak kita pulang
dengan membawa kebanggaan dan patut bersyukur karena dapat
mempertanggung-jawabkan keberadaan kita sekarang.
Siang menjelang sore. Jalanan yang
sepi. Truk yang diam. Dan keberadaanku di antaranya menjadi satu
situasi yang nyata dan tak terpisahkan saat aku ada dan berada di
sini. Sekarang dan saat ini. Kenyataan ini haruslah diterima.
Dihadapi. Dan walau kita tak tahu kapan saatnya kita dapat pulang,
kita harus berupaya agar kita dapat pulang tanpa merasa malu. Dapat
pulang untuk melepaskan kerinduan kita. Sebab itu, hidup haruslah
dihadapi dengan penuh semangat juang. Tanpa rasa putus asa. Tanpa
rasa tak berdaya. Sebab kelak, kita akan pulang. Kita pasti pulang.
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar