23 Februari 2013

RINDU


Siang menjelang sore. Jalanan sepi saat aku melintas di pertigaan Tapal Kuda. Sebuah truk nampak berhenti di tepi kiri jalan, tepat di depanku. Dan kubaca tulisan yang terpampang di bak belakangnya. Mau pulang, malu. Tidak pulang, rindu. Tulisan yang berwarna merah dengan gaya tetesan air mata nampak mencolok namun sepi tanpa ornamen lain. Aku tak tahu siapa yang menulis kalimat itu, tetapi terasa sangat menggigit kalbu. Sebuah jeritan hati? Entahlah.

Rindu. Sebuah kata yang sering menggugah mereka yang tinggal di perantauan. Jauh dari kampung halaman. Jauh dari keluarga. Jauh dari orang-orang yang disayangi. Sebuah kata yang mengandung rasa sepi dan pilu. Ketika kita tidak mampu berbuat apa selain dari menerima keadaan tetapi tetap berharap. Bahwa satu saat kelak, entah kapan, harapan itu dapat terwujud di saat kita, dengan kepala tegak dan penuh kebanggaan, dapat pulang kembali. Tanpa rasa malu. Tanpa rasa telah terkalahkan. Dan bahagia.

Berapa banyakkah dari kita yang dapat meraih apa yang kita ingin wujudkan dalam hidup ini? Berapa banyakkah dari kita yang mampu meraih semua yang kita harapkan dengan penuh kebanggaan? Berapa banyakkah dari kita yang bisa menemukan kebahagiaan diri dalam perjalanan hidup ini? Berapa banyak? Aku tak tahu. Tetapi aku berpikir bahwa, sesungguhnya hidup ini juga merupakan sebuah daerah perantauan. Setiap kelahiran adalah awal langkah kita memasuki dunia nyata. Dunia yang tidak sepenuhnya indah. Dan hidup ini sendiri tidaklah sempurna. Mutlak tidak sempurna.

Tetapi bagaimana pun juga, setiap langkah yang telah kita mulai haruslah kita jalani dengan penuh kepercayaan. Dan dalam kepercayaan juga berarti kita bertanggung-jawab atas keberadaan kita. Walau kelahiran mungkin, menurut kita, bukan atas kehendak kita karena siapakah yang dapat berkata bahwa dia ada karena dia menghendaki keberadaannya, namun keberadaan itu sendiri adalah sebuah kenyataan dalam dunia yang tidak sempurna ini, maka kita tak dapat melarikan diri darinya. Atau bersikap seakan-akan kita tidak ada.

“Mau pulang, malu. Tidak pulang, rindu”. Tulisan yang terpampang di belakang bak truk, kalimat yang terukir dalam warna merah membara dengan gaya air mata mengalir itu tiba-tiba menjadi sebuah kalimat yang mengandung harapan, bukannya kepedihan. Sebuah kalimat yang menyiratkan bahwa ‘kita harus pulang di suatu waktu kelak tanpa merasa malu’. Tanpa merasa gagal dan tidak berguna. Karena itu, kita mesti berjuang untuk menerima hidup kita, berjuang untuk mengubah keadaan kita sebelum kelak kita pulang dengan membawa kebanggaan dan patut bersyukur karena dapat mempertanggung-jawabkan keberadaan kita sekarang.

Siang menjelang sore. Jalanan yang sepi. Truk yang diam. Dan keberadaanku di antaranya menjadi satu situasi yang nyata dan tak terpisahkan saat aku ada dan berada di sini. Sekarang dan saat ini. Kenyataan ini haruslah diterima. Dihadapi. Dan walau kita tak tahu kapan saatnya kita dapat pulang, kita harus berupaya agar kita dapat pulang tanpa merasa malu. Dapat pulang untuk melepaskan kerinduan kita. Sebab itu, hidup haruslah dihadapi dengan penuh semangat juang. Tanpa rasa putus asa. Tanpa rasa tak berdaya. Sebab kelak, kita akan pulang. Kita pasti pulang.

Tonny Sutedja

Tidak ada komentar:

HIDUP

    Tetesan hujan Yang turun Membasahi tubuhku Menggigilkan Terasa bagai Lagu kehidupan Aku ada   Tetapi esok Kala per...