Seorang yang
berbohong pasti akan tahu. Bahwa sebuah kebohongan pasti akan
diikuti oleh kebohongan lain. Dan sekali dia berbohong, dia pun akan
hidup dalam dan bersama kebohongan itu. Akibatnya seorang pembohong
akan kehilangan kenyataan yang sebenarnya dan bisa tidak menyadari
dirinya sendiri. Dan tidak seperti seorang aktor di dalam film atau
sinetron, yang setelah pertunjukan usai kembali akan menemukan
kenyataan hidupnya, seorang pembohong terpaksa setiap saat harus
berada dalam kesiagaan penuh agar kebohongannya tidak terbongkar.
Maka dia harus memakai topeng dan perlahan-lahan kehilangan dirinya
sendiri. Dia yang sesungguhnya menghilang dan kepekaan pada kenyataan
pun lenyap.
Di sini, dengan segala bantahan tentang
kebenaran yang sungguh terjadi, dia menjadi sosok yang lain. Pribadi
yang dibayangkan, bukan pribadi yang nyata yang hidup. Tetapi hidup
setiap saat bersama topeng kebohongan itu melelahkan. Dia kehilangan
orientasi pada apa yang sungguh terjadi. Dia kehilangan kepekaan pada
kehidupan. Dan yang lebih menyedihkan lagi apabila dalam
kebohongannya itu, dia menyeret orang-orang yang sangat meyakininya
dalam dunianya yang tidak nyata sehingga sering terasa betapa
kebohongan itu perlahan-lahan menjadi dunia yang nyata. Baginya. Bagi
orang-orang di lingkungannya. Bagi siapa saja yang percaya kepadanya
dan karena itu selalu sanggup untuk membela kebohongannya. Maka bagi
mereka itu, dunia kebohongan itu adalah kenyataan walau tak pernah
terjadi.
Berapa banyakkah di antara kita yang
hidup dalam dunia itu? Setiap saat, setiap kesempatan, hidup terpaksa
dijalani dengan penuh kewaspadaan agar kebohongan kita tidak
terungkap. Setiap kesempatan kita memakai topeng agar kenyataan yang
sesungguhnya tidak tersingkap. Setiap kali aku membaca berita, atau
menonton mereka yang berkata-kata, setiap kali pula aku
bertanya-tanya dalam hati: “Jujurkah mereka?” Tetapi jika semua
jujur dalam perkataannya, mengapa semua kenyataan itu nampak saling
bertolak belakang? Nampak saling bertentangan? Dan berkesan bahwa ada
yang berkelit, ada yang membela diri, ada yang mengingkari kenyataan.
Lalu siapakah yang sungguh menyadari dirinya sendiri? Siapa?
Menyaksikan setiap peristiwa sungguh
berbeda dengan mengalami peristiwa itu. Setiap individu pasti
memiliki pandangan yang berbeda mengenai satu kejadian. Tetapi jika
kenyataan itu sendiri telah terjadi, bagaimana dapat kita berkata
bahwa kenyataan itu seakan-akan sebuah kenyataan yang tidak nyata?
Dan mempertanyakan motip kenyataan itu. Seakan-akan sebuah kenyataan
yang telah terjadi adalah sebuah peristiwa yang dibuat-buat untuk
merugikan diri kita. Sementara kita melupakan bahwa sesungguhnya
sebuah kenyataan bisa terjadi akibat dari rencana dan perbuatan kita
sendiri. Kita melupakan rencana dan perbuatan kita. Kita berlaku
seakan-akan semua hal yang merugikan kita, sebuah bencana atau
musibah, tidak pernah terjadi karena kita, tetapi karena orang-orang
yang mungkin tidak menyukai kita. Tetapi bukankah jika semua berjalan
seperti biasa dan mengutungkan hidup kita, kita tetap menikmatinya
sendiri?
Berawal dari sinilah kita lalu hidup
dengan memakai topeng tebal demi untuk melupakan apa yang telah kita
susun sendiri, sambil menyalahkan mereka-mereka, yang mungkin bahkan
sama sekali tidak tahu menahu apa yang terjadi, yang kita anggap
telah membuat diri kita dalam kondisi yang sulit. Dan siapakah yang
dapat melihat isi hati kita selain dari diri sendiri? Bagaimanakah
dapat diketahui kejujuran kita yang sebenarnya jika kita sendiri
menampik kenyataan yang terjadi? Mungkin suatu ketika nanti ada
orang-orang yang mampu untuk membuka topeng di wajah kita dan
memperlihatkan rupa kita yang sesungguhnya, tetapi dapatkah kita
sendiri untuk jujur terhadap hidup kita? Mampukah kita untuk
melepaskan topeng yang kita kenakan sambil berkata tegas: “Inilah
aku?”.
Barangkali tidak semudah itu. Dan
memang tidak semudah itu. Setiap kebohongan pasti akan disusul dengan
kebohongan lain. Setiap alasan pasti akan diikuti alasan lain. Dan
ketika itu berlanjut terus, sadar atau tidak, kita lalu tenggelam
dalam kehidupan yang tidak nyata. Dunia dimana kebenaran hanya milik
kita dan mereka yang berupaya untuk membuktikan kebenaran yang
sesungguhnya justru bagi kita adalah mereka yang hidup di dunia yang
tidak nyata pula. Kita hidup dalam ketidak-nyataan. Kita
masing-masing. Sebab, bukankah ada yang pernah menyanyikan dengan
indahnya, dunia ini panggung sandiwara belaka......
Tonny Sutedja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar